- Back to Home »
- Umum »
- Aliran dan Genre Sastra
Posted by : alifinunk
Selasa, 02 September 2014
ALIRAN DAN GENRE SASTRA*)
A. Aliran Sastra
Kata mazhab atau aliran berasal dari kata stroming (bahasa
Belanda) yang mulai muncul di Indonesia pada zaman Pujangga Baru. Kata itu
bermakna keyakinan yang dianut golongan-golongan pengarang yang sepaham,
ditimbulkan karena menentang paham-paham lama (Hadimadja,1972:9). Dalam bahasa
Inggris, terdapat dua kata yang maknanya sangat berkaitan dengan aliran, yaitu periods, age,school,
generation dan movements.
Aliran sastra pada dasarnya berupaya menggambarkan prinsip (pandangan
hidup, politik, dll) yang dianut sastrawan dalam menghasilkan karya sastra.
Dengan kata lain, aliran sangat erat hubungannya dengan sikap/jiwa pengarang
dan objek yang dikemukakan dalam karangannya.
Pada prinsipnya, aliran sastra dibedakan menjadi dua bagian besar, yakni
(1) idealisme, dan (2)materialisme. Idealisme adalah
aliran romantik yang bertolak dari cita-cita yang dianut oleh penulisnya.
Menurut aliran ini, segala sesuatu yang terlihat di alam ini hanyalah merupakan
bayangan dari bayangan abadi yang tidak terduga oleh pikiran manusia. Aliran
idealisme ini dapat dibagi menjadi (a) romantisisme, (b) simbolik,
(c) mistisisme, dan (d) surealisme.
- Romantisisme adalah aliran karya sastra yang
sangat mengutamakan perasaan, sehingga objek yang dikemukakan tidak lagi
asli, tetapi telah bertambah dengan unsur perasaan si pengarang. Aliran
ini dicirikan oleh minat pada alam dan cara hidup yang sederhana, minat
pada pemandangan alam, perhatian pada kepercayaan asli, penekanan pada
kespontanan dalam pikiran, tindakan, serta pengungkapan pikiran. Pengikut
aliran ini menganggap imajinasi lebih penting daripada aturan formal dan
fakta. Aliran ini kadangkadang berpadu dengan aliran idealisme dan
realisme sehingga timbul aliran romantik idealisme, dan romantik
realisme.
- Romantik idealisme adalah aliran kesusastraan yang
mengutamakan perasaan yang melambung tinggi ke dalam fantasi dan
cita-cita. Hasil sastra Angkatan. Pujangga Baru umumnya termasuk aliran
ini. Sementara romantik realism mengutamakan perasaan yang bertolak dari
kenyataan (contoh: puisi-puisi Chairil Anwar dan Asrul Sani).
- Simbolik adalah aliran yang muncul
sebagai reaksi atas realisme dan naturalisme. Pengarang berupaya
menampilkan pengalaman batin secara simbolik. Dunia yang secara indrawi
dapat kita cerap menunjukkan suatu dunia rohani yang tersembunyi di
belakang dunia indrawi. Aliran ini selalu menggunakan simbol atau
perlambang hewan atau tumbuhan sebagai pelaku dalam cerita. Contoh karya
sastra yang beraliran ini misalnya Tinjaulah Dunia Sana, Dengarlah
Keluhan Pohon Mangga karya Maria Amin dan Kisah Negara Kambing karya
Alex Leo.
- Mistisisme adalah aliran kesusastraan yang
bersifat melukiskan hubungan manusia dengan Tuhan. Mistisisme selalu
memaparkan keharuan dan kekaguman si penulis terhadap keagungan Maha
Pencipta. Contoh karya sastra yang beraliran ini adalah sebagaian besar
karya Amir Hamzah, Bahrum Rangkuti, dan J.E.Tatengkeng.
- Surealisme adalah aliran karya sastra yang
melukiskan berbagai objek dan tanggapan secara serentak. Karya sastra
bercorak surealis umumnya susah dipahami karena gaya pengucapannya yang
melompat-lompat dan kadang terasa agak kacau. Contoh karya sastra aliran
ini misalnya Radio Masyarakat karya Rosihan Anwar, Merahnya
Merah karya Iwan Simatupang, dan Tumbang karya
Trisno Sumardjo.
- Materialisme berkeyakinan bahwa segala
sesuatu yang bersifat kenyataan dapat diselidiki dengan akal manusia.
Dalam kesusastraan, aliran ini dapat dibedakan atasrealisme dannaturalisme.
- Realisme adalah aliran karya sastra yang
berusaha menggambarkan/memaparkan/ menceritakan sesuatu sebagaimana
kenyataannya. Aliran ini umumnya lebih objektif memandang segala sesuatu
(tanpa mengikutsertakan perasaan). Sebagaimana kita tahu, Plato dalam
teori mimetiknya pernah menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan/
realitas. Berangkat dari inilah kemudian berkembang aliran-aliran,
seperti: naturalisme, dandeterminisme.
- Realisme sosialis adalah aliran karya sastra
secara realis yang digunakan pengarang untuk mencapai cita-cita perjuangan
sosialis.
- Naturalisme adalah aliran karya sastra yang
ingin menggambarkan realitas secara jujur bahkan cenderung berlebihan dan
terkesan jorok. Aliran ini berkembang dari realisme. Ada tiga paham yang
berkembang dari aliran realisme (1) saintisme (hanya sains yang dapat
menghasilkan pengetahuan yang benar), (2) positivisme ( menolak
metafisika, hanya pancaindra kita berpijak pada kenyataan), dan (3)
determinisme (segala sesuatu sudah ditentukan oleh sebab musabab
tertentu).
- Impresionisme adalah aliran kesusastraan yang
memusatkan perhatian pada apa yang terjadi dalam batin tokoh utama.
Impresionisme lebih mengutamakan pemberian kesan/pengaruh kepada perasaan
daripada kenyataan atau keadaan yang sebenarnya. Beberapa pengarang Pujangga
Baru memperlihatkan impresionisme dalam beberapa karyanya.
B. Genre Sastra
Karya sastra menurut genre atau jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan
drama. Pembagian tersebut semata-mata didasarkan atas perbedaan bentuk fisiknya
saja, bukan substansinya. Substansi karya sastra apa pun bentuknya tetap sama,
yakni pengalaman kemanusiaan dalam segala wujud dan
dimensinya. Pengenalan terhadap ciri-ciri bentuk sastra ini memudahkan proses
pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula komponen–komponen yang turut
membangun karya sastra tersebut. Berikut ini dipaparkan ketiga bentuk karya sastra
tersebut.
1. Puisi
Puisi adalah karya sastra yang khas penggunaan bahasanya dan memuat
pengalaman yang disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang terkandung
dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan
secara estetik.
Susunan kata dalam puisi relatif lebih padat dibandingkan prosa. Kehadiran
kata-kata dan ungkapan dalam puisi diperhitungkan dari berbagai segi: makna,
citraan, rima, ritme, nada, rasa, dan jangkauan simboliknya. Sebagai alat,
katakata dalam puisi harus mampu diboboti oleh gagasan yang ingin diutarakan
penyair. Di samping itu, kata-kata puisi harus pula mampu membangkitkan
tanggapan rasa pembacanya. Kebebasan penyair untuk memperlakukan bahasa sebagai
bahan puisi itu dalam istilah kesusastraan dikenal sebagai lisentia
poetica. Istilah ini menyiratkan adanya semacam kewenangan bagi
penyair untuk mematuhi atau menyimpangi norma ketatabahasaan. Pematuhan dan
penyimpangan ini haruslah mempertimbangkan tercapainya kepuitisannya.
Dari segi bentuknya kita mengenal puisi terikat dan puisi bebas. Puisi
terikat dapat dikatakan sebagai puisi lama, puisi yang diciptakan oleh
masyarakat lama, seperti pantun, syair,dan gurindam.
Puisi baru, puisi bebas atau yang lebih dikenal sebagai puisi modern yang
mulai muncul pada masa Pujangga Baru dan dipopulerkan oleh Angkatan 45 yang
dipelopori oleh Chairil Anwar. Puisi modern dilahirkan dalam semangat mencari
kebebasan pengucapan pribadi. Puisi modern dapat dianggap sebagai bentuk
pengucapan puisi yang tidak menginginkan pola-pola estetika yang kaku atau
patokan-patokan yang membelenggu kebebasan jiwa penyair. Dengan demikian, nilai
puisi modern dapat dilihat pada keutuhan, keselarasan, dan kepadatan ucapan,
dan bukan terletak pada jumlah bait dan larik yang membangunnya.
Sebagai sistem tanda, karya sastra puisi dapat disikapi sebagai salah satu
ragam penggunaan bahasa dalam kegiatan komunikasi. Akan tetapi, bentuk
komunikasi dalam sastra juga bersifat khas karena (1) tidak mempunyai bentuk
hubungan timbal balik antara penutur dan penanggap secara langsung, (2)
pemahaman pesannya telah mengalami otonomisasi karena pemahaman pesan tidak
terjadi secara otomatis, dan (3) berbeda dengan komunikasi lisan, karena
komunikasi sastra tidak lagi terikat oleh konteks hubungan langsung, misalnya
tempat, waktu, dan peristiwa.
Untuk mengapresiasi suatu puisi seorang pembaca harus menciptakan kontak,
dalam arti membaca teks sastra dan melakukan penghayatan. Kontak ini bisa
terjadi apabila pembaca memahami kode kebahasaan ataupun sistem tanda dalam puisi
yang diapresiasi. Hanya melalui hubungan yang demikian komunikasi dapat
berlangsung dan karya sastra mendapatkan maknanya.
Gejala komunikasi seperti di atas dapat dihubungkan dengan sejumlah fungsi
bahasa seperti fungsi (1) emotif, (2) referensial, (3) puitik, (4) fatis, (5)
metalingual, dan (6) konatif (Jacobson, dalam Teeuw, 1984).
Fungsi emotif mengacu pada fungsi bahasa untuk
menggambarkan, membentuk dan mengekspresikan gagasan, perasaan, pendapat, dan
sikap penyair.
Fungsi referensial mengacu pada fungsi bahasa untuk
menggambarkan objek, peristiwa, benda ataupun kenyataan tertentu sejalan dengan
gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap yang kita sampaikan, contoh dari
pernyataan tersebut, misalnya dalam pernyataan Aku ini binatang jalang
di tengah kumpulan terbuang.
Fungsi puitik yakni fungsi bahasa untuk menggambarkan
makna sebagaimana terdapat dalam lambang kebahasaan itu sendiri. Untuk memahami
makna binatang jalang misalnya, pembaca dapat menggambarkannya
sebagai (mahluk bernyawa, kuat, liar, tidak terikat, tidak tergantung pada
yang lain) dan sebagainya sebagai pemaknaan dari binatang jalang.
Fungsi fatis, mengacu pada konsepsi bahwa bentuk kebahasaan
yang digunakan dalam komunikasi juga bisa digunakan untuk fungsi mempertahankan
hubungan. Hal ini berguna untuk menciptakan kesan keakraban ataupun menciptakan
bentuk-bentuk hubungan tertentu. Contoh dari pernyataan di atas misalnya,
ketika kita membawa keranjang belanjaan, kita mungkin mendapat pertanyaan, “Dari
pasar?” Kita tentunya hanya menjawab “Ya!” karena ujaran
tersebut hanya untuk menciptakan keakraban atau hubungan sosial dan tidak
mempunyai gagasan atau konsepsi apapun. Di dalam karya sastra penggunaan bahasa
yang berkaitan dengan fungsi fatis bisa juga muncul apabila
penggunaan bahasa itu hanya sekedar hiasan, sarana pemandu bunyi, atau sekedar
kelayakan saja.
Fungsi konatif berisi konsepsi bahwa peristiwa bahasa
dalam komunikasi berfungsi menimbulkan efek, imbauan, ataupun dorongan tertentu
penanggapnya. Contoh dari pernyataan di atas, misal ketika kita membaca tulisan
“Awas jalan licin” mungkin secara refleks kita akan mengurangi
kecepatan dalam berkendaraan atau berjalan. Dalam membaca karya sastra, fungsi
konatif itu berkaitan dengan efek pemahaman, misalnya, tentang nilai kehidupan
yang mendorong kesadaran batin pembaca untuk melakukan ataupun menghayati
pemahaman yang diperoleh itu dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita pahami bahwa puisi sebagai suatu
struktur makro keberadaannya terkait dengan penyair, konteks, gagasan, sistem
tanda yang terwujud dalam bentuk teks yang menjadi sarana kontak dengan pembaca
(penerima). Selain komponen makro kita juga mendapatkan komponen mikro, yakni
komponen yang membentuk puisi sebagai teks secara internal. Jelasnya suatu
puisi akan memanfaatkan (1) bunyi bahasa, (2) katakata atau diksi, dan (3)
penggunaan gaya bahasa untuk menciptakan kontak dengan pembacanya.
Unsur keindahan bunyi dalam puisi juga ditunjang oleh penggunaan unsur
bunyi yang juga mempunyai berbagai macam karakteristik, seperti asonansi,
disonansi, aliterasi, rima, dan irama.
Untuk memahami makna puisi, kita akan menemukan makna literal, pengertian
tersirat, dan nilai kehidupan. Makna literal merupakan makna yang digambarkan
oleh kata-kata dalam puisi seperti lazim dipersepsikan dalam kehidupan
sehari-hari. Ketika membaca larik puisi Aku ini binatang jalang,misalnya,
kata aku akan memberikan gambaran seseorang sebagai persona,
misalnya penyair. Sementara kata binatang jalang membentuk
gambaran dari sesuatu yang disebut binatang jalang. Dalam kesadaran
batin pembaca mungkin akan muncul gambaran hewan yang disebut singa, harimau,
atau hewan yang dapat dikategorikan sebagai binatang jalang.
Larik puisi Aku ini binatang jalang, tentu saja tidak
memuat informasi ataupun pengertian bahwa ’aku ini merupakan hewan
harimau”. Gambaran bahwa aku merupakan binatang jalang hanya merupakan
perbandingan atau metafora aku layaknya atau bagaikan binatang
jalang. Dengan kata lain, menggambarkan aku seperti singa atau harimau memuat
pengertian yang tersirat. Guna memahami pengertian tersiratnya kita mestilah
memahami gambaran ciri singa ataupun harimau yang layak diperbandingkan atau
dihubungkan dengan ciri yang tedapat pada manusia. Dengan begitu, kita tidak
akan mengangkat ciri singa yang mempunyai kaki empat, suka makan daging mentah,
telanjang, tetapi mengambil ciri singa yang menggambarkan kekuatan, keberanian,
berkeliaran, dan sebagainya.
Untuk memahami nilai kehidupan tentu saja kita harus memahami makna yang
terdapat dalam puisi tersebut. Apabila hal tersebut dilaksanakan dan dihayati
dalam kehidupan sehari-hari, manfaat itu berlaku juga bagi kehidupan manusia
pada umumnya. Jadi jelas pemahaman nilai-nilai kehidupan memang benarbenar
memiliki relevansi dengan kenyataan kehidupan sehari-hari.
2. Prosa
Prosa merupakan jenis karya sastra dengan ciri-ciri antara lain (1)
bentuknya yang bersifat penguraian, (2) adanya satuan-satuan makna dalam wujud
alineaalinea, dan (3) penggunaan bahasa yang cenderung longgar. Bentuk ini
merupakan rangkaian peristiwa imajinatif yang diperankan oleh pelaku-pelaku
cerita, dengan latar dan tahapan tertentu yang sering disebut dengan cerita
rekaan. Bentuk ini terbagi atas kategori cerita pendek, novelet, dan novel.
Sebagai cerita rekaan, ia juga harus memiliki unsur-unsur, seperti
pengarang, isi cerita, bahasa dan unsur-unsur fiksi. Unsur-unsur cerita rekaan
antara lain sebagai berikut (a) tokoh dan penokohan, (b) alur, (c) latar, (d)
tema, (e) amanat, (f) sudut pandang, (g) dan gaya bahasa, yang semuanya saling
berhubungan sehingga membentuk satu cerita yang utuh.
Pembagian bentuk prosa seperti yang dikemukakan oleh H.B.Yassin adalah
cerpen, novel, dan roman. Menurutnya, cerpen adalah cerita fiksi yang habis
dibaca dalam sekali duduk. Novel adalah cerita fiksi yang mengisahkan
perjalanan hidup para tokohnya dengan segala liku-liku perjalanan dan perubahan
nasibnya. sedangkan roman adalah cerita fiksi yang mengisahkan tokoh-tokohnya
sejak kanak-kanak sampai tutup usia. Jadi, panjang pendeknya cerita tidak dapat
dijadikan patokan. Namun, sekarang ini istilah roman sudah jarang digunakan
karena dianggap sama dengan novel.
Cerpen biasanya memiliki alur tunggal, pelaku terbatas (jumlahnya sedikit),
dan mencakup peristiwa yang terbatas pula. Kualitas tokoh dalam cerpen jarang
dikembangkan secara penuh. Karena serba dibatasi, tokoh dalam cerpen biasanya
langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, karakter tokoh langsung ditunjukkan
oleh pengarangnya melalui narasi, deskripsi, atau dialog. Di samping itu,
cerita pendek biasanya mencakup rentang waktu cerita yang pendek pula, misalnya
semalam, sehari, seminggu, sebulan, atau setahun.
Novel memiliki durasi cerita yang lebih panjang dibandingkan dengan cerpen.
Novel memiliki peluang yang cukup untuk mengeksplorasi karakter tokohnya dalam
rentang waktu yang cukup panjang dan kronologi cerita yang bervariasi (ganda).
Novel memungkinkan kita untuk menangkap perkembangan kejiwaan tokoh secara
lebih komprehensif dan memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar
mengenai permasalahan manusia. Itulah sebabnya, permasalahan yang diangkat
menjadi tema-tema novel umumnya jauh lebih kompleks dan rumit bila dibandingkan
dengan cerpen. Permasalahan hidup manusia yang menjadi sumber inspirasi penulis
sangatlah rumit dan kompleks. Jika dipetakan pemasalahan itu meliputi hubungan
antarmanusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia dengan
masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Peranan tokoh tidak statis,
tetapi bergerak dalam pergerakan waktu. Keterbatasan dan keleluasaan juga
membawa konsekuensi pada rincian-rincian yang sering menjadi bumbu cerita.
Demikianlah sebuah karya sastra, sebagaimana rumah, juga dibangun oleh
unsur-unsur yang mendukung keberadaannya. Unsur-unsur pembangun karya sastra
lazim disebut dengan unsurintrinsik dan unsur ekstrinsik.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1985) yang dimaksud dengan unsur intrinsik
adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri, seperti:
tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Unsur-unsur
ini harus ada karena akan menjadi kerangka dan isi karya tersebut. Sementara
itu, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari luar karya sastra,
misalnya sosial, budaya, ekonomi, politik, agama, dan filsafat. Faktor
ekstrinsik tidak menjadi penentu yang menggoyahkan karya sastra. Akan tetapi,
bagi pembaca, hal tersebut tetap penting untuk diketahui karena akan membantu
pemahaman makna karya sastra, mengingat tidak ada karya sastra yang lahir dari
kekosongan budaya.
3. Drama
Pada dasarnya drama tidak jauh berbeda dengan karya prosa fiksi. Kesamaan
itu berkaitan dengan aspek kesastraan yang terkandung di dalamnya. Namun, ada
perbedaan esensial yang membedakan antara karya drama dan karya prosa fiksi,
yakni pada tujuannya. Tujuan utama penulisan naskah drama adalah untuk
dipentaskan. Semi (1988) menyatakan bahwa drama adalah cerita atau tiruan
perilaku manusia yang dipentaskan.
Jika dicermati secara saksama, drama
memiliki dua aspek esensial, yakni aspek cerita dan aspek pementasan yang
berhubungan dengan seni lakon atau teater. Drama sebenarnya memiliki tiga
dimensi, yakni (1) sastra, (2) gerakan, dan (3) ujaran. Oleh karena itu, naskah
drama tidak disusun khusus untuk dibaca seperti cerpen atau novel, tetapi lebih
daripada itu dalam penciptaan naskah drama sudah dipertimbangkan aspek-aspek
pementasannya. Dalam hampir setiap naskah drama selalu ditemukan narasi,
dialog, dan arahan tentang petunjuk lakuan atau akting.
*) Dikutip dari berbagai sumber
terima kasihsudah berbagi informasi. sangat bermanfaat
BalasHapusHarrah's Casino Las Vegas - MapYRO
BalasHapusHarrah's Casino Las Vegas map with photos, videos, driving directions 여주 출장샵 and 춘천 출장마사지 311 reviews of Harrah's 제천 출장안마 Casino Las Vegas. 부산광역 출장마사지 Rating: 3.7 익산 출장샵 · 311 reviews