Popular Post

Posted by : alifinunk Selasa, 01 April 2014

 SEJARAH SASTRA

Dosen Pengampu :
Mega Aprita Sari, S.Pd., M.Pd.


 













AINUR RAHMAN
(2012610037)



PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MADURA PAMEKASAN
2013

PENDAHULUAN

A.      Cabang-Cabang Ilmu Sastra dan Hubungan Timbal Baliknya
            Ilmu sastra memiliki tiga cabang ilmu, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Teori sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari dasar-dasar pengertian tentang hal-hal yang berhubungan dengan sastra, misalnya hakikat sastra, genre sastra, aliran-aliran dan lain-lain. Sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan  sastra sejak lahir (awal) hingga sekarang. Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang memberikan penilaian terhadap  kualitas/mutu sebuah karya sastra.
            Ketiga cabang ilmu sastra tersebut mempunyai hubungan yang erat sekali dan saling melengkapi.
1. Hubungan Sejarah Sastra dan Teori Sastra
            Penyelidikan tentang sejarah sastra banyak memerlukan bahan-bahan pengetahuan tentang teori sastra. Pembicaraan mengenai suatu angkatan tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang tema, gaya bahasa, aliran, genre sastra, dsb.
            Sebaliknya, teori sastra pun membutuhkan bahan-bahan dari hasil penyelidikan sejarah sastra. Pembicaraan tentang gaya bahasa atau suatu aliran tidak akan dilepaskan dari perkembangan  sastra secara keseluruhan. Suatu pengertian dalam teori sastra dimungkinkan mengalami perubahan dan  perkembangan sesuai dengan data yang diperoleh dari sejarah sastra.
2. Hubungan Sejarah Sastra dan Kritik Sastra
            Penyelidikan sejarah sastra memerlukan bantuan juga dari kritik sastra karena tidak semua karya sastra yang pernah terbit dijadikan  bahan penyelidikan sejarah sastra, tetapi terbatas pada sejumlah karya sastra tertentu.
            Untuk memilih dan menentukan karya sastra yang menjadi objek penyelidikan sejarah sastra itu diperlukan bahan-bahan dari kritik sastra karena tugas kritik sastralah yang  menentukan nilai suatu karya sastra. Sebaliknya, kritik sastra pun membutuhkan bahan-bahan dari sejarah sastra, terutama di dalam usaha menentukan asli tidaknya suatu karya sastra atau ada tidaknya pengaruh dari sastra lain.
3. Hubungan Kritik Sastra dan Teori Sastra
            Usaha kritik sastra tidak akan berhasil tanpa dilandasi oleh dasar-dasar pengetahuan tentang teori sastra. Misalnya, jika kita hendak mengadakan telaah/kritik terhadap sebuah novel, maka kita harus memiliki pengetahuan tentang apa yang disebut novel, unsur-unsur pembentuk novel, dsb. Jadi, teori sastra merupakan sebagian modal bagi  pelaksanaan kritik sastra.
            Sebaliknya, teori sastra pun memerlukan bahan-bahan dari kritik sastra, bahkan sebenarnya kritik sastra merupakan pangkal teori sastra. Teori tanpa data merupakan teori yang kosong.

B.       Masa Permulaan Sastra Indonesia Modern
            Sastra (kesusastraan) suatu bangsa dari waktu kewaktu selalu mengalami perkembangan, begitu juga dengan kesusastraan Indonesia. Dengan demikian, sejarah sastra  itu tidak lain dari rangkaian atau jajaran periode-periode sastra. Pengertian periode di sini ialah yang seperti dikemukakan oleh Wellek (dalam Pradopo, 2005:2) yaitu sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh sesuatu sistem norma-norma sastra, standar-standar, dan konvensi-konvensi sastra yang kemunculannya, penyebarannya, keberagaman, integrasi, dan kelenyapannya dapat dirunut. Periode-periode sastra ini erat hubungannya dengan angkatan-angkatan sastra yang menempati periode-periode tersebut. Itulah sebabnya mengapa masalah angkatan tidak dapat  dihindari dalam penulisan sejarah sastra Indonesia, atau penulisan sejarah sastra tidak lepas  dari pembicaraan masalah angkatan dan periodisasi.
            Pengertian sastra Indonesia, tentulah menunjuk pada pengertian sastra Indonesia modern atau sastra Indonesia baru. Istilah modern atau baru ini sesungguhnya merupakan penegasan saja, sebab sesungguhnya, sepertiyang dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto (dalam Pradopo, 2005:6) bahwa sastra Indonesia itu lain dari sastra Melayu yang merupakan sastra daerah, yang biasa disebut sastra Indonesia lama. Dengan demikian, penulisan sejarah sastra Indonesia dimulai dengan lahirnya, latar belakang lahirnya, dan sebab-sebab lahirnya kesusastraan Indonesia tersebut.
            Mengenai kapan lahirnya sastra Indonesia modern tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti, para ahli hanya mengatakan sebatas kira-kira. Oleh karena itu, dalam menentukan masa permulaan (lahirnya) sastra Indonesia modern memunculkan beberapa pendapat/versi, di antaranya:
1.    Versi Bahasa
Ø  Tokoh : Umar Junus
Umar Junus  berpendapat lahirnya sastra Indonesia modern  mulai berkembang pada sekitar 28 oktober 1928, yaitu bersamaan dengan lahirnya Sumpah Pemuda. Beliau berpendapat bahwa sastra erat sekali dengan bahasa, tidak ada bahasa maka sastrapun tidak akan ada juga. Oleh karena itu, penamaan suatu hasil sastra harus terutama berdasarkan media bahasa yang  digunakan. Suatu hasil sastra disebut sastra X karena bahasa yang digunakan adalah bahasa X. Menurut pemikiran Junus, perkembangan sastra Indonesia dimulai sejak adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
2.    Versi Bangsa
Ø  Tokoh: Nugroho Notosusanto
Nugroho Notosusanto berpendapat bahwa berbicara  tentang sastra Indonesia, bukan berarti berbicara  tentang bahasa Indonesia, melainkan tentang sastra Nasional Indonesia. Dengan demikian, prinsip sastra Indonesia adalah prinsip kebangsaan. Kita sudah menetapkan tanggal 20 Mei 1908 sebagai hari Kebangkitan Nasional, sebagai tonggak bangkitnya kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia. Hal itu berarti  bahwa setiap kegiatan bangsa Indonesia sejak saat itu sudah didorong oleh aspirasi nasional. Sastra Indonesia sebagai bagian kebudayaan bangsa Indonesia, seharusnya sudah pula  memancarkan unsur kebangsaan itu. Dengan demikian, sastra Indonesia modern sebagai sastra Nasional Indonesia sudah berkembang sejak permulaan abad ke-20 (tahun 1908).  Suatu hasil sastra disebut sastra X karena dihasilkan oleh bangsa X.
3.    Versi Politik/Pemerintah
Ø  Tokoh: Slamet  Muljana
Slamet Muljana berpendapat bahwa sastra Indonesia modern dimulai pada tahun 1945. pengertian tentang sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari Indonesia sebagai nama suatu negara. Negara Republik Indonesia baru ada sejak diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945 dan baru pada tahun itu pulalah bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara.
4.    Versi terakhir menyatakan bahwa sastra Indonesia moder mulai berkembang sekitar tahun 1920-an. Tokoh-tokohnya: Ajip Rosidi, H.B. Jassin, A. Teeuw, dan Fachruddin A. Enre. Mereka berpendapat demikian dengan dua pertimbangan alasan, yakni:
a.    Media bahasa yang digunakan.
Meskipun bahasa Indonesia secara formal  diakui sebagai bahasa persatuan pada tahun 1928, namun realitasnya bahasa Indonesia sudah berkembang pada tahun-tahun sebelumnya. Bahasa Indonesia sudah ada sekitar tahun 1920-an.
b.    Corak isi yang terdapat di dalam karya sastra.
Corak isi karya –karya sastra pada sekitar tahun 1920-an sudah mencerminkan sikap watak bangsa Indonesia, artinya sudah mengandung unsur kebangsaan, misalnya: Tanah Air (1922) karya Muh. Yamin.
            Dalam beberapa buku kesusastraan, kita mengenal pembabakan/periodisasi sastra Indonesia yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu terjadi karena masing-masing ahli/tokoh sastra mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam menentukan kapan mulai berkembang (lahirnya) sastra Indonesia.

C.      Periodisasi Sastra Indonesia
            Periodisassi sastra Indonesia adalah pembabakan (pembagian ke dalam beberapa babak) sejarah sastra Indonesia. Penyusunan periodisasi sastra Indonesia didasari oleh beberapa hal, diantaranya:
  1. Bahasa yang digunakan
  2. Bentuk sastra yang muncul dalam kurun waktu tertentu.
  3. Tema yang digunakan dalam karya sastra yang ada pada kurun waktu tertentu.
  4. Pengarang yang menulis karya sastra, menyangkut bentuk, karakter, atau berdasarkan karakter umum pengarang yang muncul.
  5. Keadaan masyarakat pada kurun waktu tertentu.
Penyusunan periodisasi sastra memunculkan nama angkatan. Angkatan adalah sekelompok sastrawan yang mempunyai konsepsi/ ide, gagasanyang sama yang ingin diperjuangkan bersama. Namun, tidak semua periode memunculkan nama angkatan.
Adapun beberapa periodisasi yang pernah dikemukakan oleh beberapa tokoh sastrawan, diantaranya:
1.Periodisasi Bujung Saleh
2. Periodisasi H.B. Jassin
  1. Sebelum tahun 1920-an
  2. Antara tahun 1920-an hingga tahun 1933
  3. Tahun  1933 hingga Mei 1942
  4. Mei 1942 hingga sekarang
I. Sastra Melayu Lama
II.Sastra Indonesia Modern
1.      Angkatan 20
2.      Angkatan 33 atau Pujangga Baru
3.      Angkatan 45 mulai sejak 1942
4.      Angkatan 66 mulai kira-kira tahun 1955
3. Periodisasi Nugroho Notosusanto
4. Periodisasi Ajip Rosidi
I.                   Sastra Melayu Lama
II.                Sastra Indonesia Modern
A.    Masa Kebangkitan
1. Periode ’20
2. Periode ’33
3. Periode ’42
B.     Masa Perkembangan
1. Periode ’45
2. Periode ’50
I. Sastra Nusantara Klasik (sastra dari berbagai bahasa daerah di Nusantara)
II. Sastra Indonesia Modern
A.    Masa Kelahiran (Masa Kebangkitan)
1.      Periode awal-1933
2.      Periode 1933-1942
3.      Periode 1942-1945
B.     Masa Perkembangam
1.      Periode 1945-1953
2.      Periode 1953-1961
3.      Periode 1961-sekarang

          Dari beberapa versi periodisasi sastra Indonesia di atas, dapat disusun periodisasi sastra Indonesia modern sebagai berikut:
  1. Sastra Periode 1920-an
  2. Sastra Periode 1930-an
  3. Sastra Periode 1942
  4. Sastra Periode 1945
  5. Sastra Periode 1950-an
  6. Sastra Periode 1960-an
  7. Sastra Periode 1970-an
  8. Sastra Periode 1980-an
  9. Sastra Periode 1990-an
  10. Sastra Periode 2000-an
SASTRA PERIODE 1920-AN
A.      LATAR BELAKANG
Pada  tahun 1884, pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dari Ratu Belanda untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun untuk keperluan sekolah-sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak orang-orang bumiputera, terutama para priyayi yang akan dijadikan pegawai setempat. Pegawai-pegawai setempat itu diperlukan oleh pemerintah Belanda untuk kepentingan eksploitasi kolonialnya, karena biaya-biaya untuk membayar para pegawai setempat jauh lebih murah daripada mendatangkan tenaga-tenaga dari negeri Belanda Jadi, ada dua tujuan pemerintah Belanda membuka sekolah untuk bumiputera, yaitu (1) mendidik pegawai-pegawai rendah yang dibutuhkan oleh pemerintah Belanda, dan (2) agar politik pengajaran tetap dikuasai oleh Belanda.
Akan tetapi, dengan didirikannya sekolah-sekolah itu, meningkatlah pendidikan dan timbul kegemaran membaca, dan melalui bacaan-bacaan dalam bahasa Belanda, bangsa Indonesia pun mulai mengerti akan kedudukan dirinya sebagai bangsa yang dijajah. Beberapa orang berbakat yang menyadari hal ini mulai menulis rupa-rupa karangan, baik yang berbentuk cerita yang sifatnya memberi penerangan kepada rakyat. Surat kabar-surat kabar mulai dicetak bukan saja dalam bahasa Belanda melainkan juga dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah. Surat kadar surat kabar dalam bahasa Melayu terbit tidak hanya di Jakarta saja, melainkan juga tersebar di berbagai kota lain. Misalnya, pada abad ke-19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (mulai 1862), di Padang terbit Pelita Ketjil (mulai tahun 1882), dan di Jakarta sendiri terbit Bianglala (mulai tahun 1867), dll.
Sejalan dengan Politik Etis yang dilaksanakan oleh Belanda yang ketika itu menjadi kebijakan umum dalam menghadapi tanah jajahannya, maka sampailah pada pikiran untuk membendung bangkitnya kesadaran nasional dengan memberikan semacam bimbingan dalam hal bacaan rakyat. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda ternyata semakin luas sehingga banyak bangsa Indonesia yang pandai membaca dan menulis. Pemerintah Belanda khawatir terhadap kegemaran membaca di kalangan rakyat pada waktu itu. Maka pada tanggal 14 September 1908, Belanda mendiririkan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang dipimpin oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Komisi ini makin lama makin luas dan bertambah kegiatannya, sehingga pada tahun 1917 diubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) yang diberi nama Balai Pustaka.
Tujuan mula-mula didirikannya Komisi Bacaan Rakyat ialah untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada kepala pengajaran dalam hal memilih karangan-karangan yang baik untuk dipakai di sekolah bumiputera dan buku-buku yang akan dijadikan bacaan rakyat. Karangan yang baik di sini tentulah yang baik bagi pemerintah Belanda, yaitu isinya tidak mennyebabkan bangkitnya semangat rakyat, tidak membangkitkan kesadaran nasional sebagai bangsa yang dijajah.
Adapun tugas Komisi Bacaan rakyat Rakyat ialah:
1)      Membendung karangan-karangan cabul/liar (bersifat politik) yang diedarkan pihak partikulir atau penerbit swasta.
2)      Mencegah adanya bacaan yang membahayakan kedudukan pemerintah Belanda
3)      Menjual buku-buku bacaan tersebut dengan harga yang semurah-murahnya supaya usaha partikulir itu bangkrut.
4)      Menerbitkan buku bacaan yang bermanfaat bagi rakyat dan kepentingan pemerintah Belanda di Indonesia.
Pada tanggal 22 september 1917 Komisi Bacaan Rakyat diganti namanya menjadi Balai Pustaka (BP) sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan usahanya. Balai Pustaka berada di bawah kepemimpinan Dr. D.A. Rinkes, Dr. K.A. Hidding, dan  Dr. G.J.W. Drewes. Sedangkan tokoh-tokoh sastrawan Indonesia yang menjadi pegawai Balai Pustaka antara lain: S.T. Alisyahbana, Adinegoro, Nur Sutan Iskandar, H.B. Jassin, Idrus, W.J.S. Purwadarminta, Armyn Pane.
Adapun tugas-tugas Balai Pustaka adalah:
1)      Mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita rakyat asli dan  dongeng-dongeng yang tersebar di masyarakat untuk dijadikan bacaan rakyat.
2)      Menerjemahkan sastra Eropa yang dipandang bermutu dari segi sastra, dengan demikian kita dapat berkenalan dengan sastra asing
3)      Menerbitkan buku-buku bacaan yang sehat bagi rakyat Indonesia (tentu saja ditinjau dari segi kepentingan penjajah), juga buku-buku yang dapat menambah ilmu pengetahuan dan kecerdasan rakyat.
Tujuan utama didirikannya Balai Pustaka adalah untuk memberi konsumsi bacaan kepada rakyat yang isinya cocok dengan garis politik pemerintah kolonial. Jadi, bukan untuk mendorong perkembangan sastra Indonesia. Oleh karena itu, karya-karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka harus memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Nota Rinkes yang dikeluarkan oleh Dr. D.A. Rinkes.  Adapun isi Nota Rinkes sebagai berikut:
1)      Karangan tidak boleh mengandung unsur politik.
2)      Karangan harus dapat memberikan pendidikan budi pekerti dan membawa kecerdasan.
3)      Karangan harus netral terhadap agama .
Karangan-karangan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut, pastilah tidak akan diterbitkan oleh Balai Pustaka, kecuali jika pengarang mau menerima pengubahan-pengubahan yang dilakukan oleh Dewan Redaksi Balai Pustaka. Sedangkan bila pengarang keberatan menerima pengubahan-pengubahan itu, pastilah karangan tersebut ditolaknya.

B.       KARAKTERISTIK
Adapun karakteristik yang muncul pada sastra periode 1920-antara lain:
1.      Dikeluarkannya Nota Rinkes yang akhirnya dapat membatasi ide dan gagasan para pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra.
2.      Muncul nama angkatan Balai Pustaka, yang mempunyai konsepsi/ide ingin mendirikan pendidikan budi pekerti dan mencerdaskan kehidupan bangsanya melalui bacaan.
3.      Isi karya sastranya:
a.   Bertemakan masalah kawin paksa.
b. Mengungkapkan masalah pertentangan adat antara golongan tua dan golongan muda. Golongan tua cenderung untuk lebih mempertahankan adat sedangkan golongan muda         menentang adat karena menurut mereka adat dapat membawa kemunduran.
c.  Tidak boleh melanggar ketentuan Balai Pustaka (Nota Rinkes)
4.   Bahasa yang digunakan dalam karya-karya sastranya adalah bahasa Melayu, Bahasa Indonesia, dan bahasa daerah.
5.      Jenis sastranya:
a.    Prosa yang umumnya berbentuk roman bertendens.
b.    Puisi yang masih memakai bentuk-bentuk puisi lama.
6.      Aliran sastranya: Romantisme sentimental

C.       PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Tokoh / pengarangnya yaitu:
Siti Nurbaya (1922)
La Hami (1924)
Salah Pilih (1928)
Karena Mentua (1932)
Cinta Tanah Air
Pengalaman Masa Kecil (kumpulan cerita)
Tak Disangka (1923)
Darah Muda (1927)
Asmara Jaya (1928)
Melawat ke Barat (1928)
Falsafat Ratu Dunia
Revolusi dan Kebudayaan (esai)
Pertemuan (1927)
Dengan Melarat (1926)
Salah Asuhan (1928)
Surapati
Robert Anak Surapati
Menebus Dosa (1932)

SASTRA DI LUAR BALAI PUSTAKA
            Sastra pada tahun 1920-an tidak terbatas pada kegiatan dan usaha Balai Pustaka saja. Pada periode yang sama, muncul sastra di luar Balai Pustaka. Periode sastra di luar Balai Pustaka sama dengan periode sastra Angkatan Balai Pustaka, yaitu antara tahun 1920-an sampai dengan tahun 1930-an, namun kriteria-kriteria yang ada pada sastra di luar Balai Pustaka berbeda dengan angkatan Balai Pustaka. Hal itu terjadi sebagai wujud penentangan terhadap keberadaan Nota Rinkes yang dianggap membatasi ide pengarang.  Berdasarkan hal di atas banyak pengaruh yang terjadi dimana banyak pengarang yang tidak memasukkan karyanya ke dalam Balai Pustaka. Di samping untuk tetap mempertahankan kandungan politik, mereka juga ingin mempertahankan keutuhan naskah.
            Sastra di luar Balai Pustaka dibedakan  menjadi dua, yaitu:
1.    Sastra yang bersifat politik.
            Maksudnya, karya-karya sastra yang dihasilkan isinya bertujuan untuk menghasut rakyat dan ingin memberontak melawan penjajah. Karena sifat dan isi karangannya yang seperti itu, maka karangan-karangan yang dihasilkan disebut dengan ”karangan liar” dan pengarangnya pun disebut ” pengarang liar”. Adapun semboyan yang dimiliki adalah ”Politik adalah Panglima” yang berarti bahwa segala sesuatu itu berdasarkan politik dan ditujukan kepada politik, dan hal ini juga berlaku pada hasil-hasil karya sastranya.
Karakteristik sastra yang memiliki tujuan politik, antara lain:
a.       Sastra digunakan sebagai media perantara untuk menyampaikan tujuan politiknya
b.      Berisikan tentang kritik terhadap feodalisme dan kolonialisme
c.       Bahasa yang dipergunakan sangat kacau, baik ejaan dan tata bahasanya
Tokoh-tokohnya:
a.       Mas Marco Kartodikromo, karyanya:
    (1) Mata Gelap (1914)
    (2) Syair Rempah-Rempah (1919)
    (3) Student Hidjo (1919)
    (4) Rasa Merdeka (1924)
b.      Semaun, karyanya:
                (1) Hikayat Kadirun (1924)
2.    Sastra yang bersifat sastra.
            Maksudnya, karya-karya sastra yang dihasilkan isinya sesuai dan mematuhi kaidah sastra. Adapula yang menyebutnya dengan sastra pra Pujangga Baru, karena para pengurusnya nanti aktif dalam Pujangga Baru dan karakteristik karya-karya sastranya mendekati karaktertistik karya sastra angkatan Pujangga Baru.
Karakteristik sastra yang bersifat sastra, antara lain:
a.       Memiliki unsur-unsur nasionalisme
b.      Banyak mengeluarkan puisi-puisi modern dimana sudah terdapat pemisahan dari karya sastra masa silam, yaitu telah meninggalkan tradisi pantun dan syair. Hal tersebut banyak terdapat dalam puisi-puisi Muh.Yamin.
c.       Adapula yang mempertahankan bentuk tradisi pantun dan syair. Hal itu masih terlihat dalam puisi-puisi Rustam Efendi.
     Tokoh-tokohnya:
a)      Moh. Yamin
Beliau adalah tokoh yang mengadakan pembaharuan sastra, khususnya di bidang puisi yang berbentuk Soneta, dan sekaligus sebagai perintis berdirinya satra Pujangga Baru. Adapun karya-karyanya:
(1)     Tanah Air (kumpulan puisi)
(2)     Indonesia Tumpah Darahku (puisi)
(3)     Ken Arok dan Ken Dedes (drama)
(4)     Gajah Mada (roman sejarah)
(5)     Tan Malaka (biografi)
(6)     Menantikan Surat dari Raja (prosa terjemahan), dsb.
b)      Rustam Efendi, karya-karyanya:
(1)     Bebasari (drama bersajak)
(2)     Percikan Permenungan (kumpulan puisi)
(3)     Air Mata Seni (roman)
c)      Sanusi Pane, karya-karyanya:
(1)     Puspa Mega (kumpulan puisi)
(2)     Pancaran Cinta (prosa berirama)
(3)     Airlangga (drama)
(4)     Madah Kelana (kumpulan puisi)
(5)     Manusia Baru (drama)
SASTRA PERIODE 1930-AN
A.      LATAR BELAKANG
            Balai Pustaka mengadakan sensor terhadap karangan-karangan yang dicetak dan diedarkan menjadi bacaan masyarakat. Hal-hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan, yang berhubungan dengan penderitaan rakyat Indonesia atau hal-hal yang mungkin membahayakan politik kolonial pemerintah Belanda di Indonesia tidak boleh diterbitkan. Karena beberapa kekangan ketidakbebasan itu, maka berkumpullah pengarang-pengarang muda untuk memperbaharui sastra Indonesia, yaitu: Sutan takdir Alisyahbana, Sanusi Pane dan Armyn Pane. Mereka berusaha memperbaharui sastra dan kebudayan Indonesia menuju yang ’baru’. Mereka bersama-sama berusaha memajukan kebudayaan dan sastra Indonesia.
            Angkatan mereka disebut Angkatan Pujangga Baru atau angkatan 33 dan mempunyai Badan Penerbit sendiri pada tanggal 29 Juli 1933 dan majalahnya dinamakan ’Pujangga Baru’. Maka dari itu, tahun 1933 dijadikan tahun permulaan berdirinya ”Angkatan Pujangga Baru”. Angkatan Pujangga Baru lebih dapat memenuhi hasrat pujangga-pujangga, bebas dari sensor dan pengaruh-pengaruh luar yang mengikat.
Ada 3 semangat yang mendorong lahirnya sastra Pujangga Baru :
1.      Semangat persatuan dan kesadaran nasional yang hendak mempersatukan bangsa dan membentuk bahasa persatuan..
2.      Adanya keinginan untuk bebas dari segala ketentuan ikatan serta kekangan-kekangan dalam melahirkan perasaan, gagasan, dan kehendak menurut cetusan rasa dan kedinamisan jiwa masing-masing.
3.      Tujuan hendak mengadakan pembaharuan dan memajukan bahasa, sastra dan kebudayaan Indonesia.

Bersama dengan lahirnya Pujangga Baru ada dua pengertian nama Pujangga Baru, yaitu:
1.      Pujangga Baru sebagai nama majalah
a.       Terbitan pertama kali pada Juli 1933 – Maret 1942
Majalah Pujangga Baru sebelum perang bersifat homogen yaitu majalah Pujangga Baru merupakan pembawa semangat dan satu cita-cita. Pujangga Baru bertujuan sebagai wadah sikap apresiasi, ide, maupun gagasan dari sekelompok pengarang. Majalah ini berakhir pada 1942 karena pada saat itu Jepang datang dan melarang penerbitan Pujangga Baru.
b.      Terbitan kedua pada Maret 1948 – Maret 1953
Majalah Pujangga baru telah diijinkan lagi untuk terbit. Majalah Pujangga Baru sesudah perang bersifat heterogen, yaitu membawa semangat Angkatan Pujangga Baru dan membawa suara angkatan sesudahnya. Pujangga Baru bertujuan sebagai wadah aspirasi, ide, gagasan, perasaan dari berbagai pengarang.
                Adapun tujuan penerbitan majalah Pujangga Baru adalah:
(1)    Sebagai wadah berkumpulnya para sastrawan yag sebelumnya tercerai-berai menulis dalam beberapa majalah.
(2)    Sebagai terompet dalam melahirkan perasaan, pikiran, dan pandangan mereka sesuai dengan zamannya.
(3)    Untuk memberikan apresiasi/penghargaan terhadap kesusastraan.
(4)    Untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi para pengarang-pengarang muda.
(5)    Untuk memberikan pandangan mengenai kesusastraan
(6)    Untuk memberikan kritik-kritik yang membangun.
2.      Pujangga Baru sebagai nama angkatan dalam sastra Indonesia.
Pujangga Baru sebagai nama sebuah angkatan merupakan tempat berkumpulnya sekelompok pengarang yang memiliki berbagai keanekaragaman. Walaupun para pengarang Pujangga Baru memiliki keanekaragaman, namun mereka memiliki, yaitu cita-cita mewujudkan kebudayaan baru, yakni kebudayaan persatuan Indonesia.
Dalam menentukan arah kebudayaan Indonesia yang baru nantinya muncul perbedaan pendapat diantara para sastrawan. Pengertian Kebudayan Baru menurut masing-masing tokoh Pujangga Baru sebagai berikut :
a.       Sutan Takdir Alisyahbana
            Menurut STA, sejarah Indonesia dibedakan antara zaman pra Indonesia (sebelum tahun 1926) yang disebut zaman jahiliah Indonesia, yang ditandai dengan kebudayan ekspresif, yang didasarkan pada perasaan, intuisi, dan tradisi sehingga cenderung bersifat statis, lamban tradisional. Kebudayaan ekspresif ini kaya rohani tetapi terbelakang teknologi dan materi. Adapun zaman Indonesia (setelah tahun 1926) STA mulai berpikir mengapa bangsa Barat dapat maju dan berhasil? Menurut STA, hal itu disebabkan oleh adanya kebudayaan yang progresif/dinamis yang ditandai sifat-sifat individualistis, materialistis, dan intelektualistis, yang disebut juga kebudayaan modern.
            Berdasarkan pemikiran itu, STA menganalogikan bahwa bangsa Indonesia harus berani mengambil unsur-unsur kebudayaan Barat jika ingin maju. Pemikiran itu oleh STA disebut dengan membentuk Kebudayaan Baru, yaitu memajukan kebudayaan ekspresif dan kebudayaan progresif.
b.      Sanusi Pane
                  Yang dimaksud kebudayaan Baru oleh Sanusi Pane adalah perpaduan kebudayaan Barat dan Timur, yaitu mempertemukan Faust (seorang tokoh mitologi sastra Barat yang rela berkorban demi materi) dan Arjuna (seorang tokoh yang rela berkorban demi kebaikan ). Unsur-unsur kebudayaan Barat yang dilambangkan Faust ini memiliki unsur individualistis, materialistis, dan intelektual. Adapun unsur-unsur budaya Timur yang dilambangkan dengan Arjuna adalah rela mengorbankan diri sendiri untuk keluhuran budi, perasaan, kolektivitas, dan spiritualisme.
c.       Armyn Pane
            Menurut Armyn Pane, sifat dinamis itu bukan hanya milik bangsa Barat saja, tetapi dapat dimiliki oleh setiap bangsa. Setiap bangsa mempunyai garis pertumbuhan kebudayaan masing-masing dan memiliki unsur-unsur kebudayaan sendiri yang belum tentu dapat diambil oleh bangsa lain. Sehingga Armyn Pane lebih cenderung mempertahankan kebudayan sendiri . Kita hanya dapat mengambil unsur kebudayaan bangsa lain yang sesuai dengan garis pertumbuhan kebudayaan sendiri, baik dari Barat, dari Timur, maupun dari mana saja.
                        Pertentangan antara yang pro Barat dan yang pro Timur ini terus berkembang dan meluas di lingkungan Pujangga Baru. Polemik itu kemudian oleh Achdiat Kartamihardja pada tahun 1948 dikumpulkan dan dibukukan menjadi sebuah buku yang diberi judul ”Polemik Kebudayaan”.

PAHAM SENI ATAU ASAS SENI PUJANGGA BARU
            Paham seni atau sering disebut sebagai asas seni. Paham seni yang terkenal adalah seni bertendens dan seni untuk seni. Asas Seni Bertendens adalah suatu paham yang berpendapat bahwa penciptaan seni harus mempunyai tujuan tertentu. Keindahan merupakan alat semata supaya isi seni lebih menarik dan mudah dimengerti. Asas ini lebih megutamakan isi dan kegunaan daripada bentuk. Sedangkan Asas Seni untuk Seni adalah suatu paham yang berpendapat bahwa setiap penciptaan seni bertujuan untuk keindahan. Asas ini lebih mengutamakan bentuk daripada isi. Keindahan  merupakan tujuan dalam penciptaan seni. Dalam mengungkapkan  asas seni ini, para pengarang Pujangga Baru mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Pendapat- pendapat mereka dapat dilihat pada uraian berikut ini:
1.      Sutan Takdir Alisyahbana
Pedoman  yang digunakan oleh STA adalah seni bertendens. Hal ini didasarkan pada realita yang pada masa itu Indonesia masih dalam perjuangan untuk membentuk kebudayaan baru maka setiap seniman harus terlibat dalam perjuangan itu. Menurut STA, perjuangan bangsa lebih penting nilainya daripada cita-cita seni yang hanya mengabdi keindahan. Keindahan dalam seni hanya digunakan sebagai alat agar isi lebih menarik dan mudah dipahami oleh pembaca. Oleh sebab itu, STA lebih suka menghasilkan seni-seni bertendens dengan tujuan memberikan manfaat bagi masyarakat dan bangsanya. Lebih mengutamakan isi dan kegunaan daripada bentuk.Contoh: Layar Terkembang.
2.      Sanusi Pane
Pendapatnya cenderung ke asas seni untuk seni. Ia menegaskan bahwa seni itu bersifat otonom. Dalam menciptakan seni, seorang pujangga harus bersatu dengan alam dan kemanusiaan. Seniman tidak mempedulikan moral dan kegunaan hasil ciptanya karena ia merasa menyatu dengan alam dan kemanusiaan.  Sanusi Pane dipengaruhi oleh faham filsafat unio mistika, yakni filsafat yang menghendaki adanya kemanunggalan yang mesra antara manusia dengan seluruh alam semesta ini. Pada mulanya Sanusi Pane mementingkan masalah keindahan bentuk, tetapi pada perkembangannya ia mengutamakan kesesuaian/keserasian antara bentuk dan isi. Contoh: Sajak Puspa Mega dan drama Manusia Baru.
3.      Armyn Pane
Dalam menciptakan seni, ia tidak semata-mata mengabdi pada keindahan, tetapi keindahan itu sendiri yang harus bermanfaat bagi masyarakat. Selaras dengan pernyataannya tersebut, ia menganut asas seni bertendens yang lebih mengutamakan isi daripada bentuk. Bentuk hanya sebagai penolong untuk menyatakan dan menarik perhatian pada isinya, karena isi itu tidak akan berharga apabila rupa atau bentuk tidak sepadan. Pendapat Armyn Pane ini lebih dekat dengan pendapat STA. Contohnya: Roman Belenggu.
4.      J.E Tetangkeng
Y.E Tetangkeng lebih condong pada asas seni untuk seni. Seni harus tinggal seni karena dalam menciptakan seni itu lahir dan tumbuh dalam masyarakat dan alam. Pendapat ini lebih dekat dengan Sanusi Pane yang lebih mengutamakan bentuk daripada isi. Contoh: Buah Rindu (kumpulan puisi).

Uraian di atas merupakan penjabaran dari aliran kebudayaan dan paham seni dalam Angkatan Pujangga Baru. Pujangga Baru pada perkembangannya dipengaruhi oleh sastra angkatan ’80 (De Tachtiger Beweging) yang berada di Belanda. Penamaan angkatan/gerakan ’80 disebabkan karena angkatan tersebut munculnya pada tahun 1880. Angkatan ’80  merupakan suatu gerakan yang berkembang di Belanda pada tahun 1880 yang hendak mengadakan pembaharuan di bidang kebudayaan. Gerakan ini ingin mengubah berlakunya kebudayaan  yang dipelopori oleh pendeta. Dalam penciptaan seni, pikiran harus berkembang bukan hanya fisiknya saja. Gerakan ini dimotori oleh W. Kloos, Herman Gorter, Lodewijk van Deysel, Albert Verwey, dan F. Van Eiden. Mereka mendobrak pemikiran pendeta yang dianggap lamban. Angkatan ’80 ini memunculkan majalah yang diberi nama De Nieuwe Gids yang artinya Pandu Baru dan terbit pada tahun 1885. Sebelumnya  sudah terbit majalah dengan nama De Gids yang artinya Pandu. De Gids dipandang sebagai jembatan antara sastra pendeta (sastra domine) dengan sastra angkatan ’80. Gerakan ’80 bertentangan dengan sastra pendeta yang pada waktu itu dinilai lamban/statis. Tokoh-tokoh angkatn ’80 mencari ilmu untuk mengembangkan karyanya dan mereka mendapat pengaruh dari Inggris dan Perancis. Hasil karya berupa prosa mendapat pengaruh dri Perancis, yaitu aliran Naturalisme, sedangkan puisinya mendapat pengaruh dari Inggris, yaitu aliran Romantik-Inggris. Begitu pula dengan angkatan Pujangga Baru yang mendapat pengaruh dari angkatan ’80. Dalam  perkembangannya angkatan ’80 terjadi perpecahan antara golongan W. Kloos dengan golongan A. Verwey. Golongan Albert Verwey menganggap seni harus sesuai dengan tujuan kehidupan, tidak memisahkan diri dari masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Van Eiden bahwa seorang penyair yang tidak berbicara kepada orang banyak dia bukan apa-apa. Sedangkan golongan W. Kloos menganggap seni merupakan ungkapan yang paling individual. Dalam penciptaan seni harus bersifat individual, objektif, dan asosial.
Dari uraian di atas, maka tampak persamaan dan perbedaan angkatan ’80 dan angkatan Pujangga Baru. Persamaan angkatan Pujangga Baru dengan angkatan ’80: (1) sama-sama ingin mencari bentuk pengucapan yang baru dalam karya sastra dan menentang angkatan sebelumnya. Pujangga Baru ingin menentang sastra Balai Pustaka yang dinilai statis dan terikat oleh Nota Rinkes, sedangkan angkatan ’80 ingin menentang keberadaan sastra pendeta yang dianggap statis. (2) Kedua angkatan tersebut sama-sama mendapat pengaruh,yaitu angkatan ’80 dipengaruhi oleh Naturalis Perancis dan Romantik Inggris, sedangkan angkatan Pujangga Baru dipengaruhi oleh angkatan ’80. Perbedaan keduanya, yakni: (1) angkatan Pujangga Baru bertujuan lebih menekankan pada persoalan kemasyarakatan dan mengutamakan unsur tujuan sosial yang jelas. Sedangkan angkatan’80 bertujuan pada seni itu sendiri, dan mengutamakan  estetis murni. (2) angkatan Pujangga Baru mempunyai keinginan bahwa seni harus diabdikan pada masyarakat dan mengubah sastra yang bersifat statis menjadi dinamis, sedangkan angkatan ’80 bersifat individualisme dan naturalisme.

B.     KARAKTERISTIK
Karya sastra Pujangga Baru mempunyai karakteristik sebagai berikut;
  1. Semangat nasionalisme sudah mulai menggelora. Dalam karya sastra sudah mulai mengangkat unsur nasionalisme. Contohnya: karya Asmara Hadi yang berjudul Penyair Api.
  2. Tema yang diangkat lebih beragam daripada angkatan Balai Pustaka. Contohnya: Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana yang mengangkat tema persoalan emansipasi wanita. Belenggu karya Armyn Pane yang mengangkat tema tentang persoalan suami istri.
  3. Bentuk karya sastranya sudah lebih luas karena merasa sudah tidak terikat oleh adanya Nota Rinkes dan pengarang bebas mengungkapkan ide atau gagasannya. Karya sastra yang muncul diantaranya: esai, kritik sastra, roman, cerpen, drama, dan puisi. Muncul puisi Soneta yang berasal dari Italia, yang dipelopori oleh Muh. Yamin.
4. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
  1. Prosa / puisinya bersifat romantik. Contohnya: Madah Kelana, Puspa Mega, Nyanyi Sunyi (ketiga karya ini berbentuk puisi) dan drama yang berorientasi pada masa silam, seperti cerita Ken Arok dan Ken Dedes, Erlangga, dan Singosari.
  2. Pengarang berasal dari daerah yang berbeda, misalnya; I Gusti Nyoman Putu Tisna (Bali), Marius Ramis Dayoh (Sangihe), dll. Pengarang berasal dari kepercayaan yang berlainan. Misalnya, Amir Hamzah (Islam), J.E Tetangkeng (Kristen), dll.
  3. Angkatan  Pujangga Baru dipengaruhi oleh angkatan ’80 karena pada waktu itu Indonesia dijajah oleh Belanda.
C.      PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Tebaran Mega - kumpulan sajak (1935)
Belenggu (1940)
Jiwa Berjiwa (1939)
Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960)
Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)
Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)
Puspa Mega (1927)
Madah Kelana (1931)
Amir Hamzah
         Nyanyi sunyi (kumpulan puisi 1937)
         Setanggi Timur (1939)
         Buah Rindu ( Kumpulan puisi 1941)
Kertajaya (1932)
Nyanyi Sunyi (1937)
Begawat Gita (1933)
Rindoe Dendam (1934)
Palawija (1944)
Hamidah
         Kehilangan Mustika (1935)
Suman Hasibuan
         Percobaan Setia (1931)
         Mencari Pencuri Anak Perawan (1932)
         Kasih tersesat (1932)
         Tebusan Darah (1939)
M.R. Dayoh
         Pahlawan Minahasa (1935)
         Syair untuk ASIB (1935

SASTRA DI LUAR PUJANGGA BARU
a.        Roman Picisan
         Sastra di luar Pujangga Baru ini umumnya berupa cerita seri, cerita-cerita roman yang diterbitkan di kota-kota besar, seperti Semarang, Padang, Solo, dan Surabaya. Penerbitan yang  paling banyak ada di kota Medan, sehingga sering disebut sebagai sastra Medan. Seri cerita roman ini banyak yang menyebutnya sebagai roman picisan dan menganggap rendah. Jika dilihat dari pengertiannya, roman picisan adalah jenis bacaan dalam bentuk buku-buku kecil yang berisi cerita roman yang dipandang dari sudut sastra mempunyai nilai rendah. Selama ini memang ada anggapan bahwa seri cerita roman picisan itu rendah, tetapi kenyataannya tidak  semua roman picisan itu bernilai rendah karena tidak semua pengarang menulis cerita yang tidak bernilai. Diantaranya ada Matu Mona yang menulis cerita roman picisan yang bernilai sastra dengan judul Panggilan Tanah Air.
            Penerbitan roman berbentuk buku-buku kecil yang berjilid-jilid dengan judul yang bermacam-macam, antara lain: Seri Roman di Padang, Dunia Pengalaman, Lukisan Pujangga di Medan, Seri Suasana Baru, Seri Kejora, Seri Cerita Roman Indonesia di Padang. Roman picisan ini mengandung kelemahan dari sudut penceritaan dan hanya terbit di kota-kota besar sehingga yang dapat menikmati hanya masyarakat di kota.
            Dr. R. Roolvink menulis tentang Roman Picisan Bahasa Indonesia yang dimuat dalam lampiran Pokok dan Tokoh Kesusastraan Indonesia Baru karangan Prof. Dr. A. Teeuw adalah sebagai berikut:
(1)    Penerbitan roman picisan umumnya bersifat perdagangan sehingga isi dan sifat cerita lebih diarahkan pada selera pembaca.
(2)    Lukisan watak tokohnya kurang mendalam dan tidak cocok dengan kenyataan hidup. Seakan-akan hanya menampilkan dua sifat tokoh, yaitu baik dan buruk saja.
(3)    Isi cerita berupa pertentangan antara budaya modern dan budaya lama.
(4)    Dalam cerita sering disisipkan reklame atau propaganda suatu badan usaha.
(5)    Komposisi cerita kurang terpelihara.
            Para pengarang sastra di luar Pujangga Baru mempunyai visi dan misi yang berbeda dengan pengarang di luar Balai Pustaka. Telah diuraikan sebelumnya mengenai sastra di luar Balai Pustaka dan para pengarangnya yang mempunyai tujuan untuk mendobrak aturan Belanda yang tidak boleh memasukkan politik dalam karya-karyanya serta ingin menentang adanya Nota Rinkes yang dianggap membatasi ide atau gagasan para pengarang. Sedangkan para pengarang sastra di luar Pujangga Baru ingin memperdagangkan karya-karyanya melalui cerita roman berseri.
            Beberapa pengarang yang sebagian karyanya termasuk roman picisan, yaitu:
1.Matu Mona (nama sebenarnya Hasbullah Parinduri), hasil karyanya:
-          Harta yang Terpendam
-          Spionagendiest
-          Rol Pacar Merah Indonesia
-          Panggilan Tanah Air
-          Ja Umenek Jadi-Jadian
-          Zaman Gemilang ( merupakan karya Matu Mona yang terbaik yang sebenarnya kurang tepat jika disebut roman picisan).
2.A. Damhuri, hasil karyanya:
-          Mayapada
-          Bergelimang dosa
-          Depok Anak Pagai
-          Mencari Jodoh
-          Terompah Usang yang Tak Sudah Dijahit
3.Yusuf Sou’yb, hasil karyanya:
-          Elang Emas ( terdiri atas beberapa jilid)
4.Imam Supardi, hasil karyanya:
-          Kintamani
b.        Hamka ( Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
Dalam sastra di luar Pujangga Baru selain ada karya-karya yang bersifat komersial dan diterbitkan dengan cerita berseri ada pula karya-karya yang  bernilai tinggi dari segi sastranya dan tidak diterbitkan berseri, yaitu karya-karya Hamka. Hamka tidak digolongkan ke dalam salah satu angkatan manapun karena: (1) karya-karyanya memiliki corak dan gaya tersendiri, yaitu bersifat religius (Islam), filosofis, didaktis, dan mengharukan (sehingga ada yang menyebutnya sebagai  ”Pujangga Air Mata”), (2) isi ceritanya memperlihatkan ruang lingkup yang luas dan moden, walau gaya bahasanya masih memperlihatkan gaya lama.
            Hamka lahir di Sungai Batang, Muninjau, 16 Februari 1908, putra seorang ulama besar yang bernama Dr. H. Abdul  Karim Amrullah. Ia sering menggunakan nama samaran: A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki. Adapun karya-karyanya:
-          Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
-          Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939)
-          Laila Majnun (1933)
-          Di dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen)
-          Ayahku (biografi)
-          Kenang-Kenangan Hidup ( autobigrafi)
-          Merantau ke Deli (kisah perjalanan)
-          Mandi Cahaya ke Tanah Suci (kisah perjalanan), dsb.
            Pada tahun 1962, roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dihebohkan oleh masyarakat, terutama oleh Lekra sebagai karya plagiat (jiplakan) dari novel dalam bahasa Perancis yang berjudul Sous Les Tilleuls ( Di Bawah Naungan Pohon Tila) karya Alphonse Karr(1808-1890). Novel A. Karr tersebut sebenarnya pernah disadur dalam bahasa Arab oleh Mustafa Luttfi al-Manfaluthi (1876-1924) dengan judul Majdulin. Al-Manfaluthi adalah seorang pujangga Mesir yang sangat dikagumi oleh Hamka. Karena muncul heboh tersebut, Majdulin kemudian oleh A.S. Alatas ditejemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Magdalena (1963). Akhirnya, H.B. Jassin sebagai kritikus sastra yang terkenal menegaskan bahwa roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah hasil jiplakan karena di dalamnya ada pemikiran, penghayatan, dan pengalaman Hamka sendiri. Adanya pengaruh bukan berarti plagiat.

SASTRA PERIODE 1942 (Zaman Jepang)
A.     LATAR BELAKANG
            Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942, setelah berhasil mengusir Belanda yang sebelumnya telah menduduki atau menjajah Indonesia selama tiga setengah abad. Kedatangan Jepang pada mulanya disambut gembira oleh sebagian rakyat Indonesia. Kegembiraan tersebut tidak lain karena Jepang berjanji akan memberi kemerdekaan kepada Asia Timur termasuk Indonesia.
            Tahun 1942 merupakan tahun penting bagi perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia termasuk juga kesusastraannya. Masa penjajahan Jepang secara tidak langsung ikut mengubah kesusastraan Indonesia melalui kebijakan Jepang pada waktu itu. Salah satu bentuk kebijakan Jepang yang sangat mempengaruhi  perkembangan kesusastraan  kita adalah dijadikannya bahasa Indonesia  sebagai  satu-satunya bahasa yang harus dipergunakan di seluruh Nusantara dan di seluruh bidang kehidupan. Tentu  saja hal ini  hanya merupakan taktik Jepang yang ingin menghapus pengaruh Belanda di Indonesia. Dengan makin intensifnya penggunaan  bahasa Indonesia di semua bidang kehidupan, maka kesusastraan Indonesia juga mengalami intensifikasi pula.
            Di bidang kebudayaan, pada bulan April 1943 Jepang mendirikan suatu lembaga, yakni Keimin Bunka Shidoso atau Pusat Kebudayaan Jepang. Lembaga ini diketuai oleh Armyn Pane dengan penasihat bangsa Jepang yang bernama Sakai. Anggota-anggota lembaga tersebut: Sutomo Jauhar Arifin, Usmar Ismail, dan Inu Kertapati. Adapun tujuan pembentukan Pusat Kebudayaan Jepang ini adalah:
a.    Sebagai wadah berkumpulnya para sastrawan Indonesia.
b.    Sebagai badan sensor.
c.    Sebagai pusat pengetahuan kebudayaan .
            Melalui pusat ini dikenakan penyaringan yang sangat ketat yaitu penyaringan yang bukan saja melarang segala sesuatu yang dianggap bermusuhan atau berbahaya terhadap perjuangan Jepang, tetapi juga menuntut hasil kesusastraan yang mendorong cita-cita peperangan Jepang yang dengan pintar sekali diperkenalkan dengan nama ”Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Raya”.
            Terlepas dari propaganda Jepang di atas, masa penjajahan Jepang merupakan tonggak awal lahirnya kesusastraan Indonesia yang baru yang sangat berbeda warnanya, baik dalam isi, bentuk, maupun gaya bahasa yang digunakan dibandingkan dengan dua periode sebelumnya. Kita dapat menyebut bahwa sastra zaman Jepang merupakan embrio sastra angkatan ’45 yang melahirkan karya-karya sastra dan sastrawan sekelas Chairil Anwar dan kawan-kawan karena karya-karya mereka memang ditulis pada zaman Jepang, namun baru bisa diterbitkan pada periode 1945.

B.       KARAKTERISTIK
            Adapun secara umum karakteristik karya sastra pada zaman Jepang adalah :
1.      Kebanyakan karya sastra ingin menggambarkan  keadaan masyarakat yang sebenarnya (realistis).
2.      Dalam menciptakan karangan-karangannya para seniman banyak menggunakan simbol-simbol, sebagai salah satu cara untuk melepaskan diri dari sensor Jepang
3.      Kebanyakan karangan-karangannya harus mengandung pujian-pujian terhadap pemerintah Jepang
4.      Banyak karya sastra berbentuk sajak, cerpen, dan drama sandiwara. Sedangkan roman jarang ditulis. Drama berkembang pesat pada waktu itu karena: (a) drama merupakan media propaganda Jepang yang paling tepat sehingga Jepang tak segan-segan untuk membiayai segala pementasan drama,(b) film-film asing  dilarang masuk ke Indonesia, (c) drama menyerupai kesenian ketoprak yang sangat digemari oleh rakyat, dan (d) situasi ekonomi yang serba sulit membutukan hiburan langsung yang sesuai dengan lingkungan kehidupan rakyat.
5.      Bahasa yang digunakan dalam karya sastra adalah bahasa Indonesia .
6.      Muncul dua sebutan karya sastra, yaitu karya sastra tersiar dan karya sastra tersimpan. Karya sastra tersiar adalah karya-karya  ditulis pada zaman Jepang dan berhasil diterbitkan pada waktu itu karena isinya yang sesuai dengan visi dan misi Jepang atau memiliki tendens membantu perang Jepang. Sedangkan karya sastra yang tersimpan adalah karya sastra yang ditulis pada zaman Jepang dan baru bisa diterbitkan setelah Indonesia merdeka karena isinya yang berisi kritikan, kecaman, dan sindiran terhadap ketidakadilan di masyarakat. Misalnya: Corat-Coret di Bawah Tanah karya Idrus, drama Tuan Amin karya Amal Hamzah.
7.      Tidak muncul  angkatan.

C. PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Usmar Ismail
         Pancaran Cinta dan Gema Tanah Air (Cerpen)
         Puntung Berasap (sajak 1949) dan kumpulan sajak (1945-1947)
         Sedih dan Gembira (Drama 1943) yang berisi tiga drama : Citra, Api, Liburan Seniman
         Saudaraku
Tanahku
Kebangunan
Cahaya Merdeka
Kita Berjuang
Amal Hamzah
         Pembebasan Pertama
Melaut Benciku (sajak)
Buku dan Penulis (kritik roman dan drama, 1950)
Rosihan Anwar
Radio Masyarakat (cerpen)
Radio Kecil (roman)
Bajak Laut di Selat Malaka (roman)
Dr. Abu Hanifah atau El Hakim
Rogaya
Mambang Laut
Dokter Rimbu
Taufan di Atas Asia













SASTRA PERIODE 1945 (Angkatan ’45)
A.      LATAR BELAKANG
Munculnya angkatan ’45 diawali dari adanya sikap dan cita-cita para pengarang yang akan diperjuangkan, yaitu ingin membentuk kebudayaan yang universal. Angkatan ’45  merupakan suatu angkatan yang mempunyai konsepsi humanisme universal dan menuju ke arah pembentukan kebudayaan universal. Selain itu, pengarang pada saat itu adalah pengarang yang revolusioner dalam kesusastraan. Penamaan angkatan ’45 membuat pengarang adu pendapat sehingga ada pro dan kontra dengan penamaan tersebut.
Nama angkatan ’45 sebenarnya baru terkenal mulai tahun 1949 pada saat Rosihan Anwar melansir istilah angkatan ’45 dalam suatu uraiannya dalam majalah Siasat tanggal 9 Januari 1949. Dalam tulisannya tersebut ia mengatakan bahwa kemerdekaan adalah syarat mutlak untuk perkembangan-perkembangan kebudayaan yang sejati suatu bangsa. Pengenalan istilah angkatan ’45 itu menandai peristiwa kemerdekaan yang terjadi pada tahun tersebut. Sebelum nama angkatan ’45 muncul, orang-orang menyebutnya dengan sebutan :
1)      Angkatan Chairl Anwar, karena pelopor angkatan ’45 Chairil Anwar yang berpengaruh besar terhadap karya-karya sastrawan lainnya.
2)      Angkatan perang, karena pada saat itu tokoh masyarakat berperang dalam memperebutkan kemerdekaan
3)      Angkatan sesudah perang, karena pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan hari proklamasi kemerdekaan
4)      Angkatan sesudah Pujangga Baru, karena angkatan ’45 ada setelah angkatan Pujangga Baru yang lahir tahun 1930-an
5)      Generasi Gelanggang, karena adanya surat Kepercayaan Gelanggang
6)      Angkatan Pembebasan, karena sastrawan bebas mengapresiasikan perasaannya.
Chairil Anwar dikenal sebagai pelopor berdirinya angkatan ’45. Hal ini diperkuat oleh beberapa faktor, yaitu ;
1)      Adanya perubahan dalam bentuk dan isi perpuisian Indonesia Modern
2)      Bentuk puisi yang ditampilkan bebas dan tajam dengan pemikiran unik dan kemampuan memilih kata yang padu
3)      Sajak-sajaknya bernafaskan pemberontakan jiwa terhadap penindasan dan penjajahan
4)      Chairil Anwar adalah seorang penyair yang penuh vitalitas
5)      Chairil Anwar menganut aliran ekspresionisme (letupan jiwa yang meluap-luap)
Telah di jelaskan di awal, ada pro dan kotra dengan penamaan angkatan ’45. Beberapa sastrawan yang kontra  dengan penamaan tersebut adalah Asrul Sani, Idrus, dan beberapa pengarang lainnya. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh para sastrawan yang kontra, antara lain :
1)       Tahun 1945 yaitu tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, tidak sepenuhnya berhubungan dengan hal-hal yang mulia dan baik, karena pada saat itu terjadi pembunuhan dan penculikan pada kedua pihak yang bertempur. Dengan demikian penamaan angkatan ’45 dapat mengingatkan kita terhadap hal-hal yang keji dan kotor.
2)       Para sastrawan diragukan sahamnya bagi perjuangan  merebut dan mempertahankan kemerdekaan, sehingga timbul kesangsian apakah mereka berhak menggunakan nama keramat angkatan ’45. keraguan itu didasarkan atas adanya beberapa karangan Chairil Anwar yang terlalu bersifat individualistis
3)       Tahun 1945 adalah suatu kesatuan waktu yang sangat singkat dan relatif terlalu fana, sehingga penamaan angkatan ’45 akan dengan cepat menimbulkan sifat kekolotan pada beberapa tahun sesudah itu.
 Para sastrawan yang tergolong pro dengan penamaan tersebut, antara lain: Mochtar Lubis, Pramudya Ananta Toer, dan Sitor Sitomurang. Beberapa tanggapan mereka adalah sebagai berikut:
1)      Dalam menilai suatu peristiwa, kita harus dapat membedakan yang pokok dengan yang tidak. Pembunuhan dan penculikan adalah soal kecil jika dibandingkan dengan masalah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kemerdekaan adalah syarat mutlak untuk perkembangan-perkembangan kebudayaan suatu bangsa, termasuk perkembangan sastra itu sendiri. Dengan demikian, penamaan angkatan dengan nama tahun ’45 tetap memiliki nilai yang luhur, tidak perlu harus dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang rendah
2)      Walaupun memang ada puisi-puisi ciptaan penyair bangsa kita yang pada saat itu memiliki interpretasi negatif, akan tetapi apabila kita teliti benar-benar dan kita resapkan sungguh-sungguh banyak ciptaan Chairil Anwar dan beberapa penyair lain yang mengandung pikiran-pikiran yang dalam dan tidak sedikit peranannya bagi perjuangan kemerdekaan. Kita ingat saja Krawang Bekasi karya Chairil Anwar. Di samping itu, perlu diingat bahwa perjuangan kemerdekaan tidak harus selalu dalam hubungan dengan perjuangan fisik atau senjata,melainkan dalam pengertian yang luas.
3)      Tidak hanya penamaan yang menggunakan angka tahun yang mudah menimbulkan sifat kekolotan, akan tetapi setiap penamaan akan menjadi bersifat kolot apabila sudah timbul angkatan atau generasi yang baru.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka mereka berpendapat bahwa tahun ’45 adalah tahun yang mulia bagi sejarah perjuangan bangsa yaitu tahun berhasilnya bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan. Oleh karena itu, kemerdekaan adalah syarat mutlak untuk perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Maka tepat dikatakan bahwa angkatan sastra di Indonesia sesudah perang dunia II mempergunakan nama angkatan ’45.
Pada hakikatnya setiap manusia itu sama, yaitu setiap manusia pasti memiliki sikap rasional, etis, dan estetis. Manusia adalah makhluk berpikir yang berkeadaan dan memiliki rasa keindahan. Setiap manusia mendambakan nilai-nilai yang luhur dalam berkeadilan, kemerdekaan, kejujuran, kebebasan, dan persamaan derajat dalam kedudukan. Berdasarkan hal tersebut, maka angkatan ’45 menganut konsep Humanisme Universal yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yang berlaku bagi setiap manusia dari setiap bangsa. Menurut H.B. Jassin konsepsi angkatan ’45 tersebut tidak mengabdi pada sesuatu yang isme, tetapi mengabdi kepada kemanusiaan yang mengandung segalanya baik dari segala yang isme. Akibat konsepsi ini maka titik berat perhatian angkatan ’45 dalam kebudayaan terletak pada pembentukan kebudayaan yang bersifat universal yang muncul dengan corak Indonesia. Konsepsi ini tercantum dalam pernyataan mereka yang terdapat dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.
            Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan pernyataan sikap dan pendirian angkatan ’45 yang dibuat tanggal 18 Februari 1950 dan disiarkan pada tanggal 22 Oktober 1950. pernyataan sikap ini dikemukakan oleh perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka, yaitu suatu perkumpulan yang didirikan pada tahun 1947. Perkumpulan ini tidak terbatas hanya pada sastrawan saja, tetapi juga berkumpul para pelukis, musikus, dan seniman. Perkumpulan ini didirikan sebelum Chairil Anwar  meninggal dunia, namun Surat Kepercayaan Gelanggang dibuat setelah beliau meninggal (28 April 1949). Isi lengkap Surat Kepercayaan Gelanggang sebagai berikut:
SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG
                Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkkan.
                Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami, kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha-usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai.
                Revolusi bagi kami adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikianlah kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
                Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu aseli; yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam cara mencari, membahas, menelaah kami membawa sifat sendiri.
                Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
       Jakarta, 18 Februari 1950.

            Inti pokok dari Manifest adalah menitikberatkan perhatian angkatan ’45 terletak pada ”Pembentukan kebudayaan baru dunia yang bersifat universal”, dan menurut mereka seniman-seniman Indonesia adalah ”manusia universal” yang muncul dengan corak Indonesia.
            Akibat adanya konsepsi angkatan ’45 karya-karya para sastrawan tidak lagi mempermasalahkan Barat dan Timur. Mereka serius mempelajari sastra dunia dengan studi pada karya-karya sastrawan Perancis, Rusia, Inggris, dan lain-lain. Namun dari sisi lain kebudayaan daerah kurang bahkan tidak mendapat perhatian.

B.       KARAKTERISTIK
Karya sastra angkatan ’45 mempunyai karakteristik sebagai berikut;
1)      Bentuk yang muncul adalah prosa (novel,cerpen), puisi, dan sajak
2)      Gaya yang digunakan dalam prosa adalah realistis, naturalis, aliran romantis realistis. Dan dalam puisi menggunakan individualistis, ekspresionistis.
3)      Bahasa yang digunakan sederhana (menggunakan bahasa sehari-hari), tidak memperhatikan aturan-aturan dalam bahasa bahkan bentuk bahasa harus tunduk pada isi, kalimat-kalimatnya padat dan penuh isi
4)      Isi cerita dalam karya sastra bersifat realistis, naturalis, dan kritis, terkadang sinis, serta berjiwa revolusioner
5)      Karya yang dihasilkan sudah mendapat pengaruh dari Eropa

C.      PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Kerikil Tajam (1949)
Asrul Sani, bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar
Aki (1949)
Atheis (1949)
Tambera (1949)
Awal dan Mira - drama satu babak (1962)
Mochtar Lubis
         Tak Ada Esok
Jalan Tak Ada Ujung
Senja di Jakarta
Pramoedya Ananta Toer
         Cerita dari Blora
Perburuan







SASTRA PERIODE 1950-an
A.      LATAR BELAKANG
Munculnya periode 50-an ini karena memasuki tahun 1950. Maka para sastrawan sepakat untuk memberikan nama periode 50-an. Pada periode ini tidak muncul adanya angkatan karena tidak ada cita-cita yang akan diperjuangkan.
Periode ini ditandai dengan banyak peristiwa, diantaranya meninggalnya Chairil Anwar, sebagai seorang sastrawan yang cukup idealis dalam karya-karyanya dan berpengaruh besar dalam sastra Indonesia. Sepeninggalnya banyak sastrawan yang kehilangan vitalitas dan kreatifitas dalam berkarya, sebab Chairil Anwar juga sangat berpengaruh terhadap vitalitas karya dalam lingkungan budaya ” Gelanggang Seniman Merdeka”, dimana pengarang yang berada di dalamnya merupakan tumpuan harapan pelopor penerus Chairil Anwar.
Periode 50-an ini juga ditandai dengan adanya krisis sastra. Krisis sastra terjadi akibat gagalnya revolusi karena memerintah mementingkan diri sendiri tanpa menghiraukan kepentingan bangsa dan negara, bahkan timbul kesewenang-wenangan. Krisis yang muncul pada saat itu adalah krisis sastra, krisis moral, krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial, dan krisis akhlak.
Munculnya krisis sastra dapat dilihat dari dua faktor :
1)      Faktor intern:
a.       Adanya sikap statis (tidak ada perkembangan) terhadap diri sastrawan terutama golongan muda.
b.      Adanya kemunduran kualitas dan kuantitas dalam berkarya
2)      Faktor ekstern :
Gagalnya revolusi akibat acuhnya pejabat yang mengakibatkan adanya krisis ekonomi (banyak pejabat yang melakukan penyelewengan, korupsi, manipulasi), sehingga menyebabkan krisis ekonomi, sosial, politik, dan akhlak.
Pada tahun 1953 di Amsterdam telah diselenggarakan simposium tentang sastra Indonesia. Dalam simposium itu telah tampil beberapa pembicara, antara lain Prof. Dr.  Werthein, Sutan Takdir Alisyhbana, dan Asrul Sani. Pada simposium tersebut untuk pertama kalinya terdengar suara pembicara yang menyatakan bahwa krisis sastra disebabkan oleh gagalnya revolusi Indonesia. Selanjutnya masalah krisis sastra mulai ramai dibicarakan setelah terbit majalah Konfrontasi pada pertengahan tahun 1954.
Penamaan atau istilah krisis sastra dalam periode 50-an ini membuat adanya pro dan kontra. Para sasatrawan yang pro dengan dengan nama krisis sastra, antara lain:
1)      Sudjatmoko
Dalam esainya yang berjudul ”Mengapa Konfrontasi” 1954, dia mengatakan dengan tegas bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis. Krisis itu terjadi karena adanya krisis kepemimipinan politik. Selain itu, krisis terjadi karena para sastrawan hanya menulis cerpen-cerpen kecil yang permasalahannya hanya berkisar pada psikologis perseorangan. Sedangkan roman-roman besar tidak dihasilkan dan kurangnya buku yang terbit.
2)      Sutan Takdir Alisyahbana
Dia mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan Indonesia terancam dari dua pihak, yaitu statisnya golongan tua dan tidak ada pertumbuhan yang dinamis dari golongan muda sehingga terjadi impasse pada masyarakat dari segi jasmani dan rohani.
3)      Ir. Dr. Udin
Dia mengatakan bahwa jaman revolusi suara sastrawan hanya untuk melawan Belanda, sehingga setelah merdeka mereka kehilangan tujuan dan muncul kemunduran kualitas dan kuantitas karya sastra.
4)      Rifai Apin
Dia mengatakan bahwa keadaan krisis sastra sesungguhnya setelah meninggalnya Chairil Anwar sehingga menimbulkan kendornya ikatan antar penyair dan orang-orang yang mengkonsumsi sastra, artinya ada pengasingan sastra
5)      Asrul Sani
Dia menyebut sebagai krisis sementara. Hal ini dinyatakan karena putusnya hubungan pedesaan dengan kekotaan pada nilai-nilai yang benar.

Para sastrawan yang kontra dengan penamaan krisis sastra :
1)      H.B. Jassin
Dalam simposiumnya di Fakultas Sastra UI tahun 1954, yang berjudul ’Kesusastraan Indonesia Modern Tidak Ada Krisis”, dengan menunjukkan bukti-bukti yang lengkap dari dokumennya dia menolak terjadinya krisis dan impasse dalam sastra Indonesia.
2)      Nugroho Notosusanto
Dia mengungkapkan bahwa istilah krisis atau impasse itu tidak benar. Krisis itu merupakan satu sikap pesimisme dari orang-orang tertentu sesudah pengakuan kedaulatan
3)      Buyung Saleh
Dia berpendapat bahwa krisis sastra tidak terjadi karena sastra Indonesia masih tumbuh subur.
4)      Sitor Situmorang
Dia berpendapat bahwa pada saat itu yang muncul bukanlah krisis sastra tetapi krisis ukuran menilai sastra.

Pada periode 50-an ini telah lahir peristiwa sastra ditandai dengan lahirnya sastra majalah yang dinyatakan pertama kali oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya yang berjudul ’Situasi 1945’ yang dimuat dalam majalah kompas. Majalah pada periode ini berkembang pesat. Hal ini merupakan jawaban yang tepat bahwa sastra Indonesia tidak mengalami krisis. Lahirnya sastra majalah merupakan lahirnya suatu proses baru dalam sastra Indonesia sesudah Chairil Anwar meninggal. Dalam Simposium yang diselenggarakan di Universitas Indonesia pada tahun 1955, Haridjadi S, Hartowardoyo telah mengisyaratkan adanya suatu periode sastra baru setelah Chairil Anwar.
Munculnya sastra majalah karena macet atau pasifnya penerbitan Balai Pustaka yang bernaung di bawah balai Pustaka. Sejak tahun 1953 Balai Pustaka mengalami kemacetan karena berkali-kali berubah status dan dipegang oleh orang yang bukan ahlinya sehingga anggaran yang tersedia tidak cukup. Aktivitas sastra hanya dimuat dalam majalah-majalah, seperti majalah Gelanggang, Siasat, Mimbar Indonesia, Pujangga Baru, Kisah, Kompas (Majalah mahasiswa UI), Prosa, Konfrontasi, Seni dan Budaya (Jogja). Para pengarang hanya menulis cerpen, sajak, dan karangan lainnya yang dibutuhkan di majalah. Penyaluran karya sastra para pengarang hanya pada majalah sehingga muncul adanya sastra majalah.

B.       KARAKTERISTIK
1)      Tidak muncul istilah ’angkatan’
2)      Muncul sastra majalah
3)      Karya sastra yang muncul berupa cerpen, sajak, drama, dan sedikit novel
4)      Tema yang diangkat tentang kehidupan masyarakat sehari-hari bahkan tentang masalah kedaerahan. Contoh: ”Pulang” karya Toha Mochtar.
5)      Para sastrawan umumnya tidak berguru pada pengarang asing, melainkan berguru pada pengarang asli Indonesia.

C.      PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Rasa Sajangé (1961)
Tiga Kota (1959)
Robohnya Surau Kami - 8 cerita pendek pilihan (1955)
Bianglala - kumpulan cerita pendek (1963)
Hujan Panas (1964)
Kemarau (1967)
Dua Dunia (1950)
Dalam Sadjak (1950)
Tak Ada Esok (1950)
Tanah Gersang (1964)
Si Djamal (1964)
Putra Budiman (1951)
Cari Muatan (1959)
Etsa sajak-sajak (1956)
Suara - kumpulan sajak 1950-1955 (1958)
Yerma Saja (1959)
Simphoni (1957)
Angin Laut (1958)
Pulang (1958)
Datang Malam (1963)
Iwan Simatupang
         Siasat Baru (1959)
         Petang di Taman (1966)
         Merahnya Merah (1968)





SASTRA PERIODE 1960-an
A.      LATAR  BELAKANG
Pada periode 1960-an dalam sejarah kesusastraan Indonesia lahir angkatan 66. Peristiwa yang menyebabkan lahirnya angkatan 66 ini ialah pendobrakan terhadap kebobrokan yang disebabkan oleh penyelewengan yang  membawa negara pada jurang kehancuran total.
Kebangkitan semangat 1966 menjelajah tradisi baru, disini semua bentuk Lekra dan neolekranisme, yaitu dominasi kebudayaan oleh politik secara tegas ditolak karena menganut seni untuk rakyat yang jelas-jelas ini menentang seni untuk seni angkatan 1945. Secara terbuka angkatan 66 menyatakan menganut cita-cita kebangsaan dan kebebasan bukan hanya kebebasan politik, tetapi kebebaban pada umumnya nilai kemanusiaan yang hakiki dan kebebasan menyeluruh (Humanisme Universal). Dari kelompok inilah majalah Horison segera terbit sebagai suara sastranya. Faktor penentu yang mendorong lahirnya angkatan ’66 ialah karena pada tahun itulah pertama kali segolongan luas masyarakat yang selama beberapa tahun yang lalu ditindas,dapat menyuarakan perasaan mereka yang terpendam.
Nama ’Angkatan 66’ mulai dikenal melalui majalah Horison dan menjadi populer setelah H.B Jassin mengumumkan karangannya yang berjudul ”Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi” dalam Horison pada bulan Agustus 1966. Angkatan 66 bertujuan membawa kesadaran nurani manusia yang bertahun-tahun mengalami kezaliman dan perkosaan terhadap kebenaran dan rasa keadilan, kesadaran moral dan agama.
Ada beberapa hal pula yang melatarbelakangi munculnya angkatan 66 yaitu karena adanya protes sosial yang dipelopori KAMI-KAPPI yang menuntut hal berikut:
1.    Bubarkan PKI dan antek-anteknya
2.    Laksanakan pancasila secara murni dan konsekuen
3.    Adakan mobilisasi umum
Pada tahun 1968 majalah Sastra terbit lagi padahal majalah ini pernah ditutup oleh LEKRA setelah penerbitan yang pertama pada tahun 1963. Majalah Horison pun pernah dilarang terbit karena dianggap sensornya kurang baik terutama dalam karya ”Langit Makin Mendung” hasil ciptaan dari Ki Panji Kusmin.
Manifes Kebudayaan
            LEKRA yang lahir tanggal 17 Agustus 1950 di Jakarta merupakan bagian dari PKI. Lembaga ini selalu menghantam, membujuk, dan menyerang sastrawan yang menganut paham ’Seni untuk seni’. Karena terus mendapat tekanan dari LEKRA, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1963 sejumlah seniman dan budayawan mengumumkan pernyataan sikap mereka dengan judul ”Manifes Kebudayaan” yang berbunyi:
1.        Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah manifes kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan nasional kami.
2.        Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan satu sektor kebudayaan di atas kebudayaan yang lain, setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
3.        Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
4.        Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami
Jakarta, 17 Agustus 1963

            Pernyataan ini mendapat sambutan spontan dari budayawan dan seniman karena merupakan penyelamat dari teror yang dilakukan oleh LEKRA. Pada tanggal 6 Mei 1984, Presiden Sukarno melarang Manifes Kebudayaan dengan alasan bahwa manifesto politik Indonesia sebagai Pancasila telah menjadi GBHN, dan tidak mungkin didampingi dengan manifesto yang lain. Larangan ini merupakan pukulan hebat bagi budayawan dan seniman, dan menguntungkan bagi LEKRA. LEKRA menghantam orang-orang manikebuis dan lawan-lawan politiknya dengan tuduhan kontrarevolusi, anti manipol, dan anti nasakom. Para budayawan dan seniman penanda tangan Manifes Kebudayaan disingkirkan dalam setiap kegiatan dan tertutup kemungkinan bagi mereka untuk mempublikasikan hasil karyanya. Para pengarang ini terpaksa menggunakan nama samaran agar hasil karyanya dimuat dalam majalah dan surat kabar. Majalah sastra yang menjadi terompet golongan manikebuis dituntut untuk dilarang terbit.
            Puncak dari pertentangan politik dan sosial budaya itu adalah gerakan 30 September 1965/ Gestapu PKI yang melancarkan Coup d’ Etat terhadap pemerintahan yang sah dan berakhir dengan segala kegagalan total. Sedangkan puncak dari sastra perlawanan terhadap pemerintahan tirani dan gestapu PKI adalah sajak Taufik Ismail, Mansur Samin, Slamet Sukirnanto, Bur Rasuanto, dan lain-lain, yang ditulis di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar (KAMI dan KAPPI) pada awal 1966. Ada beberapa kumpulan sajak pada tahun 1966 selama demostrasi itu, yaitu ’Tirani’ dan ’Benteng’, keduanya karya Taufik Ismail yang pertama memakai nama samaran Nur Fajar.

B.       KARAKTERISTIK
1)      Munculnya istilah angkatan ’66
2)      Konsepsi angkatan 66 adalah Pancasila
3)      Adanya Manifes Kebudayaan
4)      Ciri khas hasil karya angkatan 66 adalah ’protes sosial’ dan ’protes politik’
5)      Di samping unsur politik, satrawan juga memperhatikan unsur estetis
6)      Arti penting sajak angkatan 66 merupakan curahan hati khas anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan
7)      Banyak lahir sajak-sajak keagamaan
8)      Dalam prosa muncul warna lokal, yaitu ciri khas suatu daerah baik nama tokoh, sosial, budaya, maupun setting. Contoh: Ahmat Tohari dengan karyanya Ronggeng Dukuh Paruk.
9)      Hasil karya yang dihasilkan berbentuk prosa, puisi, cerpen, drama.

C.      SASTRAWAN DAN HASIL KARYANYA
Tirani (1966)
Benteng (1966)
Bur Rasuanto
         Mereka Akan Bangkit (1963)
         Mereka Telah Bangkit (1966)
Mansur Samin
         Perlawanan (1966)
Kebinasaan Negeri Senja (1968)
Slamet Kirnanto
         Jaket Kuning (1967)
         Kidung Putih (1967)
Abdul Wahid Situmeang
         Pembebasan (1966)
O
Dukamu Abadi (1969)
Mata Pisau (1974)
Parikesit (1969)
Interlude (1971)
Rachmad Djoko Pradopo
         Matahari Pagi di Tanah Air
Saini K.M
         Nyanyian Tanah Air
Manifestasi (1963)
Ziarah (1968)
Kering (1972)
Keong (1975)
Masa Bergolak (1968)
Ibu (1969)

















SASTRA PERIODE 1970-an
A.     LATAR BELAKANG
Munculnya periode 70-an karena adanya pergeseran sikap berfikir dan bertindak dalam menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik dibidang puisi, prosa, maupun drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G 30 S/PKI.
Pada periode 70-an ini pernah diusulkan untuk diberi nama angkatan 70-an. Istilah angkatan 70 diperkenalkan pertama kali oleh Dami N. Toba dalam karangannya ”Peta Perpuisan Indonesia 1970-an dalam Sketsa”, yang diajukan dalam sebuah ceramah di fakultas Sastra Indonesia pada 25 Mei 1977. Namun pemberian nama angkatan dalam sastra kiranya harus dihubungkan dengan konsepsi budaya yang mendasar, seperti halnya surat kepercayaan gelanggang atau manifes kebudayaan. Maka dianggap angkatan 70 ini tidak ada.
            Karya puisi pada tahun 70-an ini dianggap mutakhir sehingga periode ini dinamakan periode mutakhir. Jadi dengan adanya tanda-tanda kemutakhiran terutama pada genre puisi yang lahir serta wawasan estetika yang dimiliki sendiri pada novel-novel yang lahir pada tahun 1970-an ini, maka muncullah gagasan karya sastra periode 70-an.

PERISTIWA SASTRA
1.      Puisi Mbeling
Pada mulanya puisi mbeling merupakan suatu ruangan puisi dalam majalah aktuil terbitan Bandung (1972-1978), kemudian puisi-puisi yang dimuat dalam ruangan tersebut dinamakan puisi mbeling. Pelopor adanya puisi mbeling adalah Remy Silado yang kebetulan menjadi redaktur pertama ruangan puisi mbeling. Selain puisi mbeling juga muncul prosa mbeling. Mbeling disini berarti tidak mengikuti konvensi-konvensi pada saat itu dan prosanya bersifat non realistis.
Sapardi Djoko Damono menyatakan bahwa munculnya puisi mbeling ada kaitannya dengan majalah sastra Horison. Disamping majalah Budaya Jaya dan Basis, tahun 70-an hanya ada satu majalah sastra, yakni majalah Horison. Dipihak lain, minat untuk menjadi penyair begitu besar. Akibatnya majalah Horison tidak mampu menampung puisi-puisi yang dikirimkan padanya.
Itulah sebabnya para pendukung ’puisi mbeling’ adalah kaum muda dan mereka yang baru menulis puisi namun ingin cepat tampil ke permukaan. Dengan kata lain munculnya puisi mbeling dapat juga dikatakan sebagai pemberontakan kalangan muda terhadap kemapanan, baik kemapanan majalah Horison maupun kemapanan penyair-penyair senior.
Menurut Sapardi Djoko Damono, selanjutnya ciri utama puisi mbeling adalah kelakar, kata-kata dipermainkan arti, bunyi, tipografi dimanfaatkan untuk mencapai efek tersebut. Sebagian besar sajak mbeling menunjukkan maksud penyair sekedar mengajak pembaca berkelakar saja tanpa maksud yang lain yang disembunyikan. Selain kelakar yang menjadi ciri khas dari puisi mbeling, kritik sosial juga merupakan ciri dari puisi mbeling tersebut.

2.      Pengadilan Puisi
Pengadilan puisi adalah sebuah acara yang diadakan di Bandung pada 8 September 1974, untuk mengadili puisi-puisi Indonesia mutakhir. Alasan adanya pengadilan puisi tersebut adalah untuk mencegah kerusakan masyarakat akibat puisi-puisi negatif.
Pengadilan puisi muncul berdasarkan ide Darmanto Jt pada tahun 1970. Dalam acara itu yang bertindak sebagai Hakim ketua : Sanento Yuliman, Hakim anggota : Darmanto jt, Jaksa : Slamet kirnanto, Pembela : taufik ismail, dan sebagai saksi adalah sejumlah pengarang Indonesia.
Secara keseluruhan pengadilan puisi ini dapat digolongkan sebagai ”pemberontakan” terhadap perpuisian Indonesia dan secara khusus ”pemberontakan” terhadap :
a)      Kritikus sastra Indonesia
Kritikus sastra Indonesia yang dimaksud adalah H.B. Jassin dan M.S Hutagalung. Mereka ini dianggap tidak mampu mengikuti perkembangan puisi Indonesia mutakhir
b)      Penyair mapan Indonesia
Penyair mapan indonesia yang dimaksud ialah Subagyo Sastro Wardoyo, Rendra dan Goenawan Muhammad. Mereka dianggap menghambat perkembangan puisi Indonesia yang wajar.
c)      Majalah sastra yang ada di Indonesia
Majalah sastra yang dimaksud adalah majalah Horison. Majalah ini dianggap tidak mampu menampung aspirasi orang banyak, melainkan telah berubah menjadi ’majalah keluarga’

Pemberontakan tadi tercermin dari tuntutan Slamet Kinanto, yakni:
1)      Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir harus dipensiunkan dari peranan yang pernah mereka miliki
2)      Para editor majalah sastra khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan
3)      Para penyair mapan harus dikenakan hukuman pembuangan
4)      Horison dan Budaya Jaya harus dicabut SIT-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang diharapkan sehat dan wajar.

Ternyata majelis hakim yang diketuai Sanento Yuliman menolak semua tuntutan Slamet Kinanto. Keputusan tersebut berbunyi:
a)      Para kritikus sastra tetap diijinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dan sekolah kritikus sastra yang akan segera didirikan
b)      Para redaktur Horison tetap terus diijinkan memegang jabatan mereka selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri mereka boleh mengundurkan diri
c)      Para penyair mapan masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif  boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam Panti Asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
d)     Majalah sastra Horison tidak perlu dicabut Surat Ijin Cetak dan Surat Ijin Terbitnya. Akan tetapi, dibelakang nama lama harus diberi nama ”baru” sehingga menjadi ”Horison Baru”

Pada tanggal 21 April – September 1974 diselenggarakan jawaban atas pengadilan puisi di Jakarta. Bertindak sebagai pembaca utama dalam acara tersebut ialah H.B Jassin, M.S Hutagalung, Goenawan Mohammad dan Sapardi Djoko Damono. Berbeda dengan pengadilan puisi, jawaban atas pengadilan puisi diakhiri dengan keputusan majelis hakim ini tidak memtuskan apa-apa.

B.     KARAKTERISTIK
1)      Genre yang muncul puisi, prosa, drama, kritik, dan esai
2)      Muncul puisi mbeling dan prosa mbeling
3)      Kaya dengan pikiran dan corak baru dalam perkembangan teknik pengungkapan ide secara polos
4)      Kata-kata yang digunakan bersifat bebas dan kreatif
5)      Banyak sajak-sajak yang berupa kata-kata kosong (tidak mempunyai makna simbolis)
6)      Penampilan kekuatan kata atau bahasa sebagai alat satu-satunya
7)      Sajak-sajaknya tidak bisa/pasti terasakan oleh pembacanya
8)      Sajak-sajak yang dihasilkan masih ada nada protes menuntut hak asasi (kritik sosial dan kritik terhadap cina dalam perekonomian Indonesia)

C.     SASTRAWAN DAN HASIL KARYANYA
Putu Wijaya
         Orang-orang Mandiri (drama)
         Lautan Bernyanyi (drama)
Dadaku Adalah Perisaiku (kumpulan sajak)
Telegram (Novel 1973)
Stasiun (Novel 1977)
Pabrik (novel)
Aduh (drama)
Hah (drama)
Keok (drama)
Anu (drama)
Bom (kumpulan cerpen)
Dag Dig Dug (Drama)
Ms (Novel)
Ratu (Novel)
Budidarma
         Olenha (novel 1983)
         Orang-orang Blongminton (kumpulan cerpen 1980)
         Sosilokui (kumpulan esai)
Sejumlah Esai Sastra (kumpulan esai)
Danarto          
Godlob (kumpulan cerpen 1976)
Bel Geduwel Beh (Drama 1976)
         Abrok Awok-Awok, Ebrek Ewek-Ewek (drama)
         Adam Ma’rifat (kumpulan cerpen)
Arifin C. Noer
         Kapai-kapai (drama 1970)
         Siti Olea (kumpulan sajak 1964)
Goenawan Muhammad
         Pari Kesit (kumpulan sajak 1971)
         Catatan pinggir (Kumpulan esai 1982)
Damanto Jt
         Bangsat! (kumpulan sajak 1975)
         Sekitar Masalah Kebudayaan (kumpulan esai 1986)
Umar Kayam
         Totok dan Toai (cerita anak-anak)
         Sri Sumarah (Kumpulan cerpen)
Seni, Tradisi, Masyarakat (kumpulan esai)
Arswendo Atmowiloto
         Penentang Tuhan (drama)
         The Circus (novel)
D. Zawawi Imron
         Semerbak Wayang (kumpulan sajak)
         Bulan Tertusuk Ilalang (kumpulan sajak)
Korrie Layun Rampan
         Matahari Makin Panjang (kumpulan cerpen)
Emha Ainun Najib
         ”M” Frustasi (kumpulan sajak)
         Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (kumpulan sajak)
         Nyanyian Gelandang (Kumpulan Sajak)
Sastra yang Membebaskan ( Esai)
Iwan Simatupang
         Merahnya Merah (novel 1968)
         Kering (novel 1972)
         Ziarah (novel 1968)
         Koong (novel 1975)
Putu Arya Tirta Wirya
         Pasir Putih Pasir Laut (kumpulan cerpen)
         Malam Pengantin (kumpulan cerpen)
         Pilar-pilar (kumpulan sajak)
         Kegelapan di Bawah Matahari (kumpulan Cerpen)
Leon Agusta
         Catatan Putih (kumpulan sajak)
         Hukla (kumpulan sajak)
         Hedona dan Masochi ( kumpulan cerpen)
Abdul Hadi W.M
         Laut Belum Pasang (kumpulan sajak 1971)
         Meditasi (kumpulan sajak 1976)
Putu DjokoDamono
         Dukamu Abadi (Kumpulan sajak 1969)
         Beberapa cacatan (kumpulan esai 1973)
Sutardji Calzoum Bahri
         Plot (puisi 1970)
         Walau (kumpulan 1970)
         Pergolakan (1974)













SASTRA PERIODE 1980-an
A.      LATAR BELAKANG
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini
.
B.       KARAKTERISTIK
1)      Umumnya bertema romantisme
2)      Umumnya tokoh utama adalah wanita
3)      Tokoh utama pada karya-karya 80-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya
4)      Tumbuh sastra yang beraliran pop
5)      Sastra periode 1980 merupakan sastra yang dinamik sesuai dengan perkembangan zaman
6)      Munculnya cerita-cerita dengan problem metropolitan dan problem-problem sosial yang komprehensif
7)      Dialek khusus (bahasa slank, prokem) banyak muncul dalam karya sastra populer (remaja)
C.      SASTRAWAN DAN HASIL KARYANYA
Ladang Hijau (1980)
Sajak Penari (1990)
Roro Mendut (1981)
Genduk Duku (1986)
Bako (1983)
Dendang (1988)
Olenka (1983)
Rafilus (1988)
Canting (1986)
Lupus - 28 novel (1986-2007)
Lupus Kecil - 13 novel (1989-2003)
Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)
Nikah Ilalang (1995)
Ben (1992)
Parakitri T. Simbolon
Si Bongkok
Ahmad Tohari
Ronggeng Dukuh Pauk (1982)
Lintang Kemukus Dini Hari (1985)
Jentera Bianglala
Mira W
         Jangan Ucapkan Cinta















SASTRA PERIODE 1990-an
A.      LATAR BELAKANG
Pada awal tahun 1990-an sastra sepertinya sudah mulai luntur. Keadaan seperti ini dikarenakan belum adanya pengarang-pengarang baru yang berkarya pada masa itu. Namun pada tahun 1998 diadakanlah sayembara oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sayembara ini dimenangkan oleh Ayu Utami dengan romannya yang berjudul ”Roman Saman”. Karya Ayu Utami ini disebut-sebut sebagai tonggak kebangkitan sastra, karena roman ini merupakan roman yang berbobot. Tema yang diangkat dalam roman ini adalah masalah-masalah kehidupan tahun 90-an. Dalam pengungkapannya Ayu Utami memaparkan masalah-masalah tersebut dengan apa adanya, tanpa beban dan tidak ditutup-tutupi. Termasuk didalamnya menyangkut masalah seks.
Dunia perfilman Indonesia juga mengalami kemerosotan pada tahun 1990-an ini. Banyak sutradara dan produser film yang lebih memilih menggarap sinetron daripada film layar lebar, sehingga menyebabkan film Indonesia semakin lesu. Namun kehadiran Garin Nugroho dengan filmya ”Bulan Tertusuk Ilalang” setidaknya sudah membuktikan bahwa dunia perfilman Indonesia belum sepenuhnya mati. Film ini juga yang menjadi motor penggerak bagi sineas-sineas muda Indonesia untuk berkarya. Akhirnya lahirlah film Kuldesak hasil karya Bianca Adi Nugroho serta petualangan Sherina hasil garapan Mira Lesmana.
            Majalah ’Sastra’ yang sempat tidak terbit karena masalah politik, pada bulan Mei di Bandung muncul kembali. Kurangnya bacaan sastra dalam masyarakat yang mendorong para sastrawan untuk menerbitkan kembali majalah ini.

Angkatan Reformasi

Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang "Sastrawan Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan novel -- pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
B.       KARAKTERISTIK
1)      Bahasa yang digunakan sudah beragam, yaitu bahasa Indonesia sehari-hari, bahasa asing, bahasa daerah, dan bahasa slank (bahasa kelompok).
2)      Temanya beragam, antara lain sosial, budaya, politik, religi, seks dan etnis.
3)      Berani menampilkan uneg-uneg anak muda
4)      Penciptaan hasil karya sastra cenderung mengandung ”steam of consiousness” yaitu konsepsi literatur yang banyak memberikan pembaca untuk melakukan pertimbangan pribadi terhadap penulis tentang kehidupan masyarakat, sebagai contoh adalah ’Roman saman’. Dalam roman ini si pengarang berani menerima kritik, respon, terhadap hasil karya sastranya.
C.      SASTRAWAN DAN HASIL KARYANYA
Ayu Utami
         Roman Saman (1998)
Larung (2001)
Garin Nugroho
         Daun di Atas Bantal (film)
         Bulan Tertusuk Ilalang (film)
Mira Lesmana
         Petualangan Sherina (film)
Bianca Adi Negroho
         Kuldesak
Seno GumiroAdi Darma
         Jazz
         Prafum
Insiden
Ca Bau Kan (1999)

Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi














SASTRA PERIODE 2000-an
A.      LATAR BELAKANG
            Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan angkatan reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukukhkan karena tidak memiliki juru bicara. Korrie Layun rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya sastrawan angkatan 2000. seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, esais, da kritikus sastra dimasukkan Korrie  k dalam angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak tahun 1980-an, seperti Afrisal Malna, Ahmadun Yossi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma.
            Setelah terjadi reformasi, ruang gerak masyarakat yang pada awalnya terganjal oleh pemerintah Orde Baru yang represif, tiba-tiba merasa memperoleh nafas kebebasan dalam mengekspresikan  apresiasinya. Karya sastra yang muncul pada periode ini berlandaskan perubahan. Kemjauan teknologi seolah telah mencapai klimaksnya. sehingga pelaku seni secara terang-terangan memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai landasan berkarya.

B.       KARAKTERISTIK
1.        Pergeseran  wawasan estetik angkatan 2000 yang ditandai oleh berubahnya struktur larik dan bait. Larik pada Afrizal Malna bersifat netral. Posisi tidak pernah mempunyai penyelesaian karena meskipun baitnya dibalik ke atas atau ke bawah, maknanya tidak akan berubah. Karena larik sama fungsi dan kedudukannya dengan bait, karena larik itu sendiri merupakan bait.
2.        Kata  dipilih dari lingkungan sehari-hari.
3.        Ada pergeseran peran aku lirik kepada benda-benda yang menunjukkan bahwa muncul makna penting dari estetik aku lirik ke estetik benda-benda yang dipertaruhkan sederajat dengan kedudukan manusia. Contohnya:
“ Lalu bapak menyusun dirinya kembali, dan body lotion, styling foam, dan pil strong of night: Indonesia raya! Sumpah pemuda! Pembangunan! Kenapa aku membangun kamar mandi seperti itu juga, siih…” (Kisah Cinta Tak Bersalah).
4.        Ada hubungan antara sifat massal  benda-benda dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dari interaksi massal. Contoh dapat dilihat dari karya Afrizal MAlna yang berjudul Pengantar Bersama Seseorang dan Massa , di buku itu Afrizal menunjukkan hubungan timbal balik antara “seseorang” dan “massa” dalam hubungan cerita sebuah kalung. “ Saat mengenakan kalung itu, saya seperti mengenakan diri orang-orang lain pada leher saya”.
5.        Menghidupkan eksistensi benda-benda dalam komunikasi  searah yang eksistensial sehingga benda-benda seolah-olah hidup seperti  manusia.
Contoh: “ Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku,…” (Warisan Kita).
6.        Materi  yang digarap penyair semakin meluas dan mendalam, tidak hanya tentang sosial kemasyarakatan, budaya, etnis melainkan juga religi. Contohnya bisa ditemukan pada sajak-sajak  yang ditulis oleh Ahmadun Yosi Herfanda yang sajak-sajak keagamaannya  mencerminkan nuansa religius yang khusyuk yang mencerminkan penaklukan manusia kepada Sang Pencipta.
Misalnya pada puisi Sembahyang Rerumputan berikut ini: sembahyangku sembahyang rerumputan/ sembahyang penyerahan jiwa dan badan/ yang rindu berbaring di pangkuan Tuhan…
7.        Ada  juga pengarang yang memasukkan citraan-citraan alam benda yang dimaksudkan  untuk mengkonkretkan pengalaman religius.
Contohnya  pada sajak Aku Ingin Memasukimu, karya Jamal D. Rachman berikut ini: “Lewat pintu matahari, aku memasukimu bersama/ kawah gerimis yang mendidih, seribu pulau/ kurangkum jadi benua sembahyang dan/ kusalurkan kepadamu.
8.        Jika  pada sajak Afrizal Malna benda-benda berada pada posisi kemungkinan yang disuruh komunikator untuk berbicara, maka pada sajak-sajak Agus, benda-benda mampu hidup dan berkomunikasi seperti layaknya manusia.
Contoh pada sajak Rendezvous : “ Kamu cantik, ucap padang golf pada bunga/ rumput yang berayun diasuh angin”.
9.        Pembukaan cerpen dengan pembukaan yang relative sama mirip dengan awal dongeng anak-anak. Contohnya dalam cerpen  Penembak Misterius, karya Seno G. Ajidarma, berikut:
“Ceritakanlah padaku tentang kejenuhan”, kata Alina pada tukang  cerita itu. Maka juru cerita itupun bercerita tentang Sarman: “Ceritakanlah padaku tentang kepunahan, “ kata Alina pada tukang cerita itu.
10.    Seperti pada puisi, cerpen pun juga tidak mempunyai penyelesaian sebagai penutup dari klimaks yang disyaratkan  fiksi murni, titik akhir cerita hanya sebagai penanda untuk jeda, karena selesaian yang sebenarnya ada pada imajinasi dan ruang pikir pembaca.
11.    Adanya kelucuan, kekerasan, dan absurditas yang dipadukan dengan mengungkapkan secara metaforis dan alegoris dalam fiksional novel.
12.    Adanya pola kolase dalam fiksional novel. Pola kolase merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita.
13.    Muncul arus narasi kehilangan.
14.    Sosial media sebagai sarana dalam berkarya

C.      SASTRAWAN DAN HASIL KARYANYA
Afrizal Malna
-          Abad yang Berlari
-          Matahari Bachri
-          Winter Festival
-          Lelaki yang Menjadi Seekor Burung
-          Telinga waktu
Acep Zamzam Noor
-          Tengah Hari
-          Montmantre
-          Napas Gunung
-          Buat Malika Hamoudi
-          Buat Lina Sagaral Reyes
Gus Tf
-          Kasat Mata
-          Tak Pernah Kubutuh Sebuah Telepon
-          Pernah
-          Tukang Pos Gaib
-          Mantel
Helvy Tiana Rosa
-          Jaring-Jaring Merah
I Wayan Arthawa
            - Kesaksian Burung Pengantin
            -  Mengayuh Sukma  Pengantin
            - Perahu Pengantin
            - Gilimanuk-Ketapang
            - Kali Ciliwung
Jamal D. Rachman
-          Surat Tak Sampai 1
-          Surat Tak Sampai  2
-          Surat  Tak Sampai 3
-          Surat Tak Sampai 4
-          Surat Tak Sampai 5
-          Surat Tak Sampai 6
-          Surat Tak Sampai 7
-          Surat Tak Sampai 8
Kriapur
-          Tidur
-          Sajak buat Negaraku
-          Firman
-          Penjara
-          Catatan Atas Hidup
Kris Budiman
-          Takut dan Senang: Sudut Pandang Ideologis
-          Sri Sumarah
Omi Intan Naomi
-          Ken Arok
-          Berlin
-          Kelahiran
-          Kota
-          Kita Telanjang
Remmy Novaris D.M
-          Perjamuan
-          Hujan yang Datang
-          Musafir
-          Jalan Mimpi
-          Nyanyian Anak-Anak
Seno Gumira Ajidarma
-          Sepotong Senja untuk Pacarku
-          Telepon dari Aceh
-          Keindonesiaan
Taty Haryati
-          Ada yang Harus Mati
-          Sebab Aku adalah Gerak
-          Kita
-          Labirin
-          Dan Waktu Mengajarkanku
Ulfatin C.H.
-          Perjalanan Mawar
-          Aku Bernyanyi  Mawar
-          Sambisari
-          Perjalanan Malam II
-          Nyanyian Burung

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. Lucky Club: Slots, live dealer casino site review and VIP info
    Lucky Club casino offer luckyclub.live the most comprehensive online slot games, slots and table games. From progressive jackpots and the traditional jackpots in

    BalasHapus

- Copyright © ORat-ORét (Ô.ô) - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -