- Back to Home »
- Makalah »
- SEKILAS TENTANG SEJARAH SASTRA
Posted by : alifinunk
Selasa, 01 April 2014
SEJARAH SASTRA
Dosen Pengampu :
Mega Aprita Sari, S.Pd.,
M.Pd.
AINUR RAHMAN
(2012610037)
PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA
DAN SENI
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MADURA
PAMEKASAN
2013
PENDAHULUAN
A.
Cabang-Cabang Ilmu Sastra dan Hubungan
Timbal Baliknya
Ilmu
sastra memiliki tiga cabang ilmu, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan
kritik sastra. Teori sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari
dasar-dasar pengertian tentang hal-hal yang berhubungan dengan sastra, misalnya
hakikat sastra, genre sastra, aliran-aliran dan lain-lain. Sejarah sastra
adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra sejak lahir (awal) hingga sekarang.
Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang memberikan penilaian terhadap kualitas/mutu sebuah karya sastra.
Ketiga
cabang ilmu sastra tersebut mempunyai hubungan yang erat sekali dan saling
melengkapi.
1. Hubungan Sejarah Sastra dan Teori
Sastra
Penyelidikan
tentang sejarah sastra banyak memerlukan bahan-bahan pengetahuan tentang teori
sastra. Pembicaraan mengenai suatu angkatan tidak akan terlepas dari
pembicaraan tentang tema, gaya bahasa, aliran, genre sastra, dsb.
Sebaliknya,
teori sastra pun membutuhkan bahan-bahan dari hasil penyelidikan sejarah
sastra. Pembicaraan tentang gaya bahasa atau suatu aliran tidak akan dilepaskan
dari perkembangan sastra secara
keseluruhan. Suatu pengertian dalam teori sastra dimungkinkan mengalami
perubahan dan perkembangan sesuai dengan
data yang diperoleh dari sejarah sastra.
2. Hubungan Sejarah Sastra dan Kritik
Sastra
Penyelidikan
sejarah sastra memerlukan bantuan juga dari kritik sastra karena tidak semua
karya sastra yang pernah terbit dijadikan
bahan penyelidikan sejarah sastra, tetapi terbatas pada sejumlah karya
sastra tertentu.
Untuk
memilih dan menentukan karya sastra yang menjadi objek penyelidikan sejarah
sastra itu diperlukan bahan-bahan dari kritik sastra karena tugas kritik
sastralah yang menentukan nilai suatu
karya sastra. Sebaliknya, kritik sastra pun membutuhkan bahan-bahan dari
sejarah sastra, terutama di dalam usaha menentukan asli tidaknya suatu karya
sastra atau ada tidaknya pengaruh dari sastra lain.
3. Hubungan Kritik Sastra dan Teori Sastra
Usaha
kritik sastra tidak akan berhasil tanpa dilandasi oleh dasar-dasar pengetahuan
tentang teori sastra. Misalnya, jika kita hendak mengadakan telaah/kritik
terhadap sebuah novel, maka kita harus memiliki pengetahuan tentang apa yang
disebut novel, unsur-unsur pembentuk novel, dsb. Jadi, teori sastra merupakan
sebagian modal bagi pelaksanaan kritik
sastra.
Sebaliknya,
teori sastra pun memerlukan bahan-bahan dari kritik sastra, bahkan sebenarnya
kritik sastra merupakan pangkal teori sastra. Teori tanpa data merupakan teori
yang kosong.
B.
Masa Permulaan Sastra Indonesia Modern
Sastra (kesusastraan) suatu bangsa dari waktu
kewaktu selalu mengalami perkembangan, begitu juga dengan kesusastraan
Indonesia. Dengan demikian, sejarah sastra
itu tidak lain dari rangkaian atau jajaran periode-periode sastra.
Pengertian periode di sini ialah yang seperti dikemukakan oleh Wellek (dalam
Pradopo, 2005:2) yaitu sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh sesuatu sistem
norma-norma sastra, standar-standar, dan konvensi-konvensi sastra yang
kemunculannya, penyebarannya, keberagaman, integrasi, dan kelenyapannya dapat
dirunut. Periode-periode sastra ini erat hubungannya dengan angkatan-angkatan
sastra yang menempati periode-periode tersebut. Itulah sebabnya mengapa masalah
angkatan tidak dapat dihindari dalam
penulisan sejarah sastra Indonesia, atau penulisan sejarah sastra tidak
lepas dari pembicaraan masalah angkatan
dan periodisasi.
Pengertian
sastra Indonesia, tentulah menunjuk pada pengertian sastra Indonesia modern
atau sastra Indonesia baru. Istilah modern atau baru ini sesungguhnya merupakan
penegasan saja, sebab sesungguhnya, sepertiyang dikemukakan oleh Nugroho
Notosusanto (dalam Pradopo, 2005:6) bahwa sastra Indonesia itu lain dari sastra
Melayu yang merupakan sastra daerah, yang biasa disebut sastra Indonesia lama.
Dengan demikian, penulisan sejarah sastra Indonesia dimulai dengan lahirnya,
latar belakang lahirnya, dan sebab-sebab lahirnya kesusastraan Indonesia
tersebut.
Mengenai kapan lahirnya sastra Indonesia modern
tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti, para ahli hanya mengatakan sebatas
kira-kira. Oleh karena itu, dalam menentukan masa permulaan (lahirnya) sastra Indonesia modern memunculkan
beberapa pendapat/versi, di antaranya:
1. Versi Bahasa
Ø Tokoh : Umar Junus
Umar Junus berpendapat lahirnya sastra Indonesia modern mulai berkembang pada sekitar 28 oktober 1928,
yaitu bersamaan dengan lahirnya Sumpah Pemuda. Beliau berpendapat bahwa sastra
erat sekali dengan bahasa, tidak ada bahasa maka sastrapun tidak akan ada juga.
Oleh karena itu, penamaan suatu hasil sastra harus terutama berdasarkan media
bahasa yang digunakan. Suatu hasil
sastra disebut sastra X karena bahasa yang digunakan adalah bahasa X. Menurut
pemikiran Junus, perkembangan sastra Indonesia dimulai sejak adanya bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional.
2. Versi Bangsa
Ø Tokoh: Nugroho Notosusanto
Nugroho Notosusanto berpendapat bahwa
berbicara tentang sastra Indonesia,
bukan berarti berbicara tentang bahasa
Indonesia, melainkan tentang sastra Nasional Indonesia. Dengan demikian,
prinsip sastra Indonesia adalah prinsip kebangsaan. Kita sudah menetapkan
tanggal 20 Mei 1908 sebagai hari Kebangkitan Nasional, sebagai tonggak
bangkitnya kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia. Hal itu berarti bahwa setiap kegiatan bangsa Indonesia sejak
saat itu sudah didorong oleh aspirasi nasional. Sastra Indonesia sebagai bagian
kebudayaan bangsa Indonesia, seharusnya sudah pula memancarkan unsur kebangsaan itu. Dengan
demikian, sastra Indonesia modern sebagai sastra Nasional Indonesia sudah
berkembang sejak permulaan abad ke-20 (tahun 1908). Suatu hasil sastra disebut sastra X karena
dihasilkan oleh bangsa X.
3. Versi Politik/Pemerintah
Ø Tokoh: Slamet Muljana
Slamet Muljana berpendapat bahwa sastra
Indonesia modern dimulai pada tahun 1945. pengertian tentang sastra Indonesia
tidak dapat dipisahkan dari Indonesia sebagai nama suatu negara. Negara
Republik Indonesia baru ada sejak diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945 dan baru pada tahun itu pulalah
bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara.
4. Versi terakhir menyatakan bahwa sastra
Indonesia moder mulai berkembang sekitar tahun 1920-an. Tokoh-tokohnya: Ajip
Rosidi, H.B. Jassin, A. Teeuw, dan Fachruddin A. Enre. Mereka berpendapat
demikian dengan dua pertimbangan alasan, yakni:
a. Media bahasa yang digunakan.
Meskipun bahasa Indonesia secara formal diakui sebagai bahasa persatuan pada tahun
1928, namun realitasnya bahasa Indonesia sudah berkembang pada tahun-tahun
sebelumnya. Bahasa Indonesia sudah ada sekitar tahun 1920-an.
b. Corak isi yang terdapat di dalam karya
sastra.
Corak isi karya –karya sastra pada sekitar tahun
1920-an sudah mencerminkan sikap watak bangsa Indonesia, artinya sudah
mengandung unsur kebangsaan, misalnya: Tanah
Air (1922) karya Muh. Yamin.
Dalam
beberapa buku kesusastraan, kita mengenal pembabakan/periodisasi sastra
Indonesia yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu terjadi karena
masing-masing ahli/tokoh sastra mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam menentukan
kapan mulai berkembang (lahirnya) sastra Indonesia.
C.
Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisassi
sastra Indonesia adalah pembabakan (pembagian ke dalam beberapa babak) sejarah
sastra Indonesia. Penyusunan periodisasi sastra Indonesia didasari oleh
beberapa hal, diantaranya:
- Bahasa yang digunakan
- Bentuk sastra yang muncul dalam kurun waktu
tertentu.
- Tema yang digunakan dalam karya sastra yang
ada pada kurun waktu tertentu.
- Pengarang yang menulis karya sastra,
menyangkut bentuk, karakter, atau berdasarkan karakter umum pengarang yang
muncul.
- Keadaan masyarakat pada kurun waktu tertentu.
Penyusunan periodisasi sastra
memunculkan nama angkatan. Angkatan adalah sekelompok sastrawan yang mempunyai
konsepsi/ ide, gagasanyang sama yang ingin diperjuangkan bersama. Namun, tidak
semua periode memunculkan nama angkatan.
Adapun beberapa periodisasi yang pernah
dikemukakan oleh beberapa tokoh sastrawan, diantaranya:
1.Periodisasi Bujung Saleh
|
2. Periodisasi H.B. Jassin
|
|
I. Sastra Melayu Lama
II.Sastra Indonesia Modern
1. Angkatan 20
2. Angkatan 33 atau Pujangga Baru
3. Angkatan 45 mulai sejak 1942
4. Angkatan 66 mulai kira-kira tahun 1955
|
3. Periodisasi Nugroho Notosusanto
|
4. Periodisasi Ajip Rosidi
|
I.
Sastra
Melayu Lama
II.
Sastra
Indonesia Modern
A. Masa Kebangkitan
1. Periode ’20
2. Periode ’33
3. Periode ’42
B. Masa Perkembangan
1. Periode ’45
2. Periode ’50
|
I. Sastra Nusantara Klasik (sastra dari berbagai
bahasa daerah di Nusantara)
II. Sastra Indonesia Modern
A. Masa Kelahiran (Masa Kebangkitan)
1. Periode awal-1933
2. Periode 1933-1942
3. Periode 1942-1945
B. Masa Perkembangam
1. Periode 1945-1953
2. Periode 1953-1961
3. Periode 1961-sekarang
|
Dari beberapa versi periodisasi sastra Indonesia
di atas, dapat disusun periodisasi sastra Indonesia modern sebagai berikut:
- Sastra Periode 1920-an
- Sastra Periode 1930-an
- Sastra Periode 1942
- Sastra Periode 1945
- Sastra Periode 1950-an
- Sastra Periode 1960-an
- Sastra Periode 1970-an
- Sastra Periode 1980-an
- Sastra Periode 1990-an
- Sastra Periode 2000-an
SASTRA PERIODE 1920-AN
A.
LATAR BELAKANG
Pada tahun 1884, pemerintah jajahan Belanda
mendapat kekuasaan dari Ratu Belanda untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000
setiap tahun untuk keperluan sekolah-sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak
orang-orang bumiputera, terutama para priyayi yang akan dijadikan pegawai
setempat. Pegawai-pegawai setempat itu diperlukan oleh pemerintah Belanda untuk
kepentingan eksploitasi kolonialnya, karena biaya-biaya untuk membayar para
pegawai setempat jauh lebih murah daripada mendatangkan tenaga-tenaga dari
negeri Belanda Jadi, ada dua tujuan pemerintah Belanda membuka sekolah untuk
bumiputera, yaitu (1) mendidik pegawai-pegawai rendah yang dibutuhkan oleh
pemerintah Belanda, dan (2) agar politik pengajaran tetap dikuasai oleh
Belanda.
Akan tetapi, dengan
didirikannya sekolah-sekolah itu, meningkatlah pendidikan dan timbul kegemaran
membaca, dan melalui bacaan-bacaan dalam bahasa Belanda, bangsa Indonesia pun
mulai mengerti akan kedudukan dirinya sebagai bangsa yang dijajah. Beberapa
orang berbakat yang menyadari hal ini mulai menulis rupa-rupa karangan, baik
yang berbentuk cerita yang sifatnya memberi penerangan kepada rakyat. Surat
kabar-surat kabar mulai dicetak bukan saja dalam bahasa Belanda melainkan juga
dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah. Surat kadar surat kabar dalam bahasa
Melayu terbit tidak hanya di Jakarta saja, melainkan juga tersebar di berbagai
kota lain. Misalnya, pada abad ke-19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang
Timoer (mulai 1862), di Padang terbit Pelita Ketjil (mulai tahun 1882), dan di
Jakarta sendiri terbit Bianglala (mulai tahun 1867), dll.
Sejalan dengan Politik Etis
yang dilaksanakan oleh Belanda yang ketika itu menjadi kebijakan umum dalam
menghadapi tanah jajahannya, maka sampailah pada pikiran untuk membendung
bangkitnya kesadaran nasional dengan memberikan semacam bimbingan dalam hal bacaan
rakyat. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda ternyata semakin luas
sehingga banyak bangsa Indonesia yang pandai membaca dan menulis. Pemerintah
Belanda khawatir terhadap kegemaran membaca di kalangan rakyat pada waktu itu.
Maka pada tanggal 14 September 1908, Belanda mendiririkan Komisi Bacaan Rakyat
(Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang dipimpin oleh Dr. G.A.J.
Hazeu. Komisi ini makin lama makin luas dan bertambah kegiatannya, sehingga
pada tahun 1917 diubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) yang diberi nama Balai Pustaka.
Tujuan mula-mula didirikannya Komisi
Bacaan Rakyat ialah untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada kepala
pengajaran dalam hal memilih karangan-karangan yang baik untuk dipakai di
sekolah bumiputera dan buku-buku yang akan dijadikan bacaan rakyat. Karangan
yang baik di sini tentulah yang baik bagi pemerintah Belanda, yaitu isinya
tidak mennyebabkan bangkitnya semangat rakyat, tidak membangkitkan kesadaran
nasional sebagai bangsa yang dijajah.
Adapun tugas Komisi Bacaan
rakyat Rakyat ialah:
1) Membendung karangan-karangan cabul/liar
(bersifat politik) yang diedarkan pihak partikulir atau penerbit swasta.
2) Mencegah adanya bacaan yang membahayakan
kedudukan pemerintah Belanda
3) Menjual buku-buku bacaan tersebut dengan
harga yang semurah-murahnya supaya usaha partikulir itu bangkrut.
4) Menerbitkan buku bacaan yang bermanfaat
bagi rakyat dan kepentingan pemerintah Belanda di Indonesia.
Pada tanggal 22 september 1917
Komisi Bacaan Rakyat diganti namanya menjadi Balai Pustaka (BP) sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan usahanya. Balai Pustaka berada di bawah
kepemimpinan Dr. D.A. Rinkes, Dr. K.A. Hidding, dan Dr. G.J.W. Drewes. Sedangkan tokoh-tokoh
sastrawan Indonesia yang menjadi pegawai Balai Pustaka antara lain: S.T.
Alisyahbana, Adinegoro, Nur Sutan Iskandar, H.B. Jassin, Idrus, W.J.S.
Purwadarminta, Armyn Pane.
Adapun tugas-tugas Balai Pustaka adalah:
1) Mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita
rakyat asli dan dongeng-dongeng yang
tersebar di masyarakat untuk dijadikan bacaan rakyat.
2) Menerjemahkan sastra Eropa yang dipandang
bermutu dari segi sastra, dengan demikian kita dapat berkenalan dengan sastra
asing
3) Menerbitkan buku-buku bacaan yang sehat bagi
rakyat Indonesia (tentu saja ditinjau dari segi kepentingan penjajah), juga
buku-buku yang dapat menambah ilmu pengetahuan dan kecerdasan rakyat.
Tujuan utama didirikannya Balai
Pustaka adalah untuk memberi konsumsi bacaan kepada rakyat yang isinya cocok dengan
garis politik pemerintah kolonial. Jadi, bukan untuk mendorong perkembangan
sastra Indonesia. Oleh karena itu, karya-karya yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka harus memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Nota Rinkes yang
dikeluarkan oleh Dr. D.A. Rinkes. Adapun
isi Nota Rinkes sebagai berikut:
1) Karangan tidak boleh mengandung unsur
politik.
2) Karangan harus dapat memberikan pendidikan
budi pekerti dan membawa kecerdasan.
3) Karangan harus netral terhadap agama .
Karangan-karangan yang tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan tersebut, pastilah tidak akan diterbitkan oleh Balai
Pustaka, kecuali jika pengarang mau menerima pengubahan-pengubahan yang
dilakukan oleh Dewan Redaksi Balai Pustaka. Sedangkan bila pengarang keberatan
menerima pengubahan-pengubahan itu, pastilah karangan tersebut ditolaknya.
B.
KARAKTERISTIK
Adapun karakteristik yang muncul pada sastra
periode 1920-antara lain:
1. Dikeluarkannya Nota Rinkes yang akhirnya
dapat membatasi ide dan gagasan para pengarang dalam menciptakan sebuah karya
sastra.
2. Muncul nama angkatan Balai Pustaka, yang
mempunyai konsepsi/ide ingin mendirikan pendidikan budi pekerti dan
mencerdaskan kehidupan bangsanya melalui bacaan.
3. Isi karya sastranya:
a. Bertemakan masalah kawin paksa.
b. Mengungkapkan masalah pertentangan adat antara golongan tua dan golongan muda. Golongan tua cenderung untuk lebih mempertahankan adat sedangkan golongan muda menentang adat karena menurut mereka adat dapat membawa kemunduran.
b. Mengungkapkan masalah pertentangan adat antara golongan tua dan golongan muda. Golongan tua cenderung untuk lebih mempertahankan adat sedangkan golongan muda menentang adat karena menurut mereka adat dapat membawa kemunduran.
c. Tidak boleh melanggar ketentuan Balai
Pustaka (Nota Rinkes)
4. Bahasa yang digunakan dalam karya-karya
sastranya adalah bahasa Melayu, Bahasa Indonesia, dan bahasa daerah.
5. Jenis sastranya:
a. Prosa yang umumnya berbentuk roman
bertendens.
b. Puisi yang masih memakai bentuk-bentuk
puisi lama.
6. Aliran sastranya: Romantisme sentimental
C. PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Tokoh / pengarangnya yaitu:
Azab dan Sengsara (1920)
Binasa kerna Gadis Priangan (1931)
Siti
Nurbaya (1922)
La Hami (1924)
Anak dan Kemenakan (1956)
Cinta yang Membawa Maut (1926)
Salah Pilih (1928)
Karena Mentua (1932)
Tuba Dibalas dengan Air Susu (1933)
Hulubalang Raja (1934)
Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
Cinta Tanah Air
Pengalaman Masa Kecil
(kumpulan cerita)
Tak Disangka (1923)
Sengsara Membawa Nikmat (1928)
Tak Membalas Guna (1932)
Memutuskan Pertalian (1932)
Darah Muda (1927)
Asmara Jaya (1928)
Melawat ke Barat
(1928)
Falsafat Ratu
Dunia
Revolusi dan
Kebudayaan (esai)
Abas Soetan Pamoentjak Nan sari
Pertemuan (1927)
Dengan Melarat
(1926)
Salah Asuhan (1928)
Pertemuan Djodoh (1933)
Surapati
Robert Anak
Surapati
Menebus Dosa (1932)
Si Cebol Rindukan Bulan (1934)
Sampaikan Salamku Kepadanya (1935)
SASTRA DI LUAR BALAI PUSTAKA
Sastra
pada tahun 1920-an tidak terbatas pada kegiatan dan usaha Balai Pustaka saja. Pada
periode yang sama, muncul sastra di luar Balai Pustaka. Periode sastra di luar
Balai Pustaka sama dengan periode sastra Angkatan Balai Pustaka, yaitu antara
tahun 1920-an sampai dengan tahun 1930-an, namun kriteria-kriteria yang ada
pada sastra di luar Balai Pustaka berbeda dengan angkatan Balai Pustaka. Hal itu
terjadi sebagai wujud penentangan terhadap keberadaan Nota Rinkes yang dianggap
membatasi ide pengarang. Berdasarkan hal
di atas banyak pengaruh yang terjadi dimana banyak pengarang yang tidak memasukkan
karyanya ke dalam Balai Pustaka. Di samping untuk tetap mempertahankan
kandungan politik, mereka juga ingin mempertahankan keutuhan naskah.
Sastra
di luar Balai Pustaka dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1. Sastra yang bersifat politik.
Maksudnya,
karya-karya sastra yang dihasilkan isinya bertujuan untuk menghasut rakyat dan
ingin memberontak melawan penjajah. Karena sifat dan isi karangannya yang
seperti itu, maka karangan-karangan yang dihasilkan disebut dengan ”karangan
liar” dan pengarangnya pun disebut ” pengarang liar”. Adapun semboyan yang
dimiliki adalah ”Politik adalah Panglima” yang berarti bahwa segala sesuatu itu
berdasarkan politik dan ditujukan kepada politik, dan hal ini juga berlaku pada
hasil-hasil karya sastranya.
Karakteristik sastra yang
memiliki tujuan politik, antara lain:
a. Sastra digunakan sebagai media perantara
untuk menyampaikan tujuan politiknya
b. Berisikan tentang kritik terhadap
feodalisme dan kolonialisme
c. Bahasa yang dipergunakan sangat kacau,
baik ejaan dan tata bahasanya
Tokoh-tokohnya:
a. Mas Marco Kartodikromo, karyanya:
(1) Mata Gelap (1914)
(2) Syair Rempah-Rempah (1919)
(3) Student Hidjo (1919)
(4) Rasa Merdeka (1924)
b. Semaun, karyanya:
(1) Hikayat Kadirun (1924)
2. Sastra yang bersifat sastra.
Maksudnya,
karya-karya sastra yang dihasilkan isinya sesuai dan mematuhi kaidah sastra.
Adapula yang menyebutnya dengan sastra pra Pujangga Baru, karena para
pengurusnya nanti aktif dalam Pujangga Baru dan karakteristik karya-karya
sastranya mendekati karaktertistik karya sastra angkatan Pujangga Baru.
Karakteristik sastra yang
bersifat sastra, antara lain:
a. Memiliki unsur-unsur nasionalisme
b. Banyak mengeluarkan puisi-puisi modern
dimana sudah terdapat pemisahan dari karya sastra masa silam, yaitu telah
meninggalkan tradisi pantun dan syair. Hal tersebut banyak terdapat dalam
puisi-puisi Muh.Yamin.
c. Adapula yang mempertahankan bentuk tradisi
pantun dan syair. Hal itu masih terlihat dalam puisi-puisi Rustam Efendi.
Tokoh-tokohnya:
a) Moh. Yamin
Beliau adalah tokoh yang mengadakan pembaharuan sastra, khususnya di bidang
puisi yang berbentuk Soneta, dan sekaligus sebagai perintis berdirinya satra
Pujangga Baru. Adapun karya-karyanya:
(1) Tanah Air (kumpulan puisi)
(2) Indonesia Tumpah Darahku (puisi)
(3) Ken Arok dan Ken Dedes (drama)
(4) Gajah Mada (roman sejarah)
(5) Tan Malaka (biografi)
(6) Menantikan Surat dari Raja (prosa
terjemahan), dsb.
b) Rustam Efendi, karya-karyanya:
(1) Bebasari (drama bersajak)
(2) Percikan Permenungan (kumpulan puisi)
(3) Air Mata Seni (roman)
c) Sanusi Pane, karya-karyanya:
(1) Puspa Mega (kumpulan puisi)
(2) Pancaran Cinta (prosa berirama)
(3) Airlangga (drama)
(4) Madah Kelana (kumpulan puisi)
(5) Manusia Baru (drama)
SASTRA PERIODE 1930-AN
A.
LATAR BELAKANG
Balai
Pustaka mengadakan sensor terhadap karangan-karangan yang dicetak dan diedarkan
menjadi bacaan masyarakat. Hal-hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan, yang
berhubungan dengan penderitaan rakyat Indonesia atau hal-hal yang mungkin
membahayakan politik kolonial pemerintah Belanda di Indonesia tidak boleh diterbitkan.
Karena beberapa kekangan ketidakbebasan itu, maka berkumpullah
pengarang-pengarang muda untuk memperbaharui sastra Indonesia, yaitu: Sutan
takdir Alisyahbana, Sanusi Pane dan Armyn Pane. Mereka berusaha memperbaharui
sastra dan kebudayan Indonesia menuju yang ’baru’. Mereka bersama-sama berusaha
memajukan kebudayaan dan sastra Indonesia.
Angkatan
mereka disebut Angkatan Pujangga Baru atau angkatan 33 dan mempunyai Badan
Penerbit sendiri pada tanggal 29 Juli 1933 dan majalahnya dinamakan ’Pujangga
Baru’. Maka dari itu, tahun 1933 dijadikan tahun permulaan berdirinya ”Angkatan
Pujangga Baru”. Angkatan Pujangga Baru lebih dapat memenuhi hasrat
pujangga-pujangga, bebas dari sensor dan pengaruh-pengaruh luar yang mengikat.
Ada 3 semangat yang mendorong lahirnya
sastra Pujangga Baru :
1. Semangat persatuan dan kesadaran nasional
yang hendak mempersatukan bangsa dan membentuk bahasa persatuan..
2. Adanya keinginan untuk bebas dari segala
ketentuan ikatan serta kekangan-kekangan dalam melahirkan perasaan, gagasan,
dan kehendak menurut cetusan rasa dan kedinamisan jiwa masing-masing.
3. Tujuan hendak mengadakan pembaharuan dan
memajukan bahasa, sastra dan kebudayaan Indonesia.
Bersama dengan lahirnya
Pujangga Baru ada dua pengertian nama Pujangga Baru, yaitu:
1. Pujangga Baru sebagai nama majalah
a. Terbitan pertama kali pada Juli 1933 – Maret
1942
Majalah Pujangga
Baru sebelum perang bersifat homogen yaitu majalah Pujangga Baru merupakan
pembawa semangat dan satu cita-cita. Pujangga Baru bertujuan sebagai wadah
sikap apresiasi, ide, maupun gagasan dari sekelompok pengarang. Majalah ini berakhir pada 1942 karena pada
saat itu Jepang datang dan melarang penerbitan Pujangga Baru.
b. Terbitan kedua pada Maret 1948 – Maret
1953
Majalah
Pujangga baru telah diijinkan lagi untuk terbit. Majalah Pujangga Baru sesudah
perang bersifat heterogen, yaitu membawa semangat Angkatan Pujangga Baru dan
membawa suara angkatan sesudahnya. Pujangga Baru bertujuan sebagai wadah
aspirasi, ide, gagasan, perasaan dari berbagai pengarang.
Adapun tujuan penerbitan majalah Pujangga
Baru adalah:
(1) Sebagai wadah berkumpulnya para sastrawan
yag sebelumnya tercerai-berai menulis dalam beberapa majalah.
(2) Sebagai terompet dalam melahirkan
perasaan, pikiran, dan pandangan mereka sesuai dengan zamannya.
(3) Untuk memberikan apresiasi/penghargaan
terhadap kesusastraan.
(4) Untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi
para pengarang-pengarang muda.
(5) Untuk memberikan pandangan mengenai
kesusastraan
(6) Untuk memberikan kritik-kritik yang
membangun.
2. Pujangga Baru sebagai nama angkatan dalam
sastra Indonesia.
Pujangga Baru sebagai nama sebuah angkatan merupakan tempat berkumpulnya
sekelompok pengarang yang memiliki berbagai keanekaragaman. Walaupun para
pengarang Pujangga Baru memiliki keanekaragaman, namun mereka memiliki, yaitu
cita-cita mewujudkan kebudayaan baru, yakni kebudayaan persatuan Indonesia.
Dalam menentukan arah kebudayaan Indonesia yang baru nantinya muncul
perbedaan pendapat diantara para sastrawan. Pengertian Kebudayan Baru menurut
masing-masing tokoh Pujangga Baru sebagai berikut :
a. Sutan Takdir Alisyahbana
Menurut STA, sejarah Indonesia dibedakan antara zaman pra
Indonesia (sebelum tahun 1926) yang disebut zaman jahiliah Indonesia, yang
ditandai dengan kebudayan ekspresif, yang didasarkan pada perasaan, intuisi,
dan tradisi sehingga cenderung bersifat statis, lamban tradisional. Kebudayaan
ekspresif ini kaya rohani tetapi terbelakang teknologi dan materi. Adapun zaman
Indonesia (setelah tahun 1926) STA mulai berpikir mengapa bangsa Barat dapat
maju dan berhasil? Menurut STA, hal itu disebabkan oleh adanya kebudayaan yang
progresif/dinamis yang ditandai sifat-sifat individualistis, materialistis, dan
intelektualistis, yang disebut juga kebudayaan modern.
Berdasarkan pemikiran itu, STA menganalogikan bahwa
bangsa Indonesia harus berani mengambil unsur-unsur kebudayaan Barat jika ingin
maju. Pemikiran itu oleh STA disebut dengan membentuk Kebudayaan Baru, yaitu
memajukan kebudayaan ekspresif dan kebudayaan progresif.
b. Sanusi Pane
Yang dimaksud kebudayaan Baru
oleh Sanusi Pane adalah perpaduan kebudayaan Barat dan Timur, yaitu
mempertemukan Faust (seorang tokoh mitologi sastra Barat yang rela berkorban
demi materi) dan Arjuna (seorang tokoh yang rela berkorban demi kebaikan ).
Unsur-unsur kebudayaan Barat yang dilambangkan Faust ini memiliki unsur
individualistis, materialistis, dan intelektual. Adapun unsur-unsur budaya Timur
yang dilambangkan dengan Arjuna adalah rela mengorbankan diri sendiri untuk
keluhuran budi, perasaan, kolektivitas, dan spiritualisme.
c. Armyn Pane
Menurut Armyn Pane, sifat dinamis
itu bukan hanya milik bangsa Barat saja, tetapi dapat dimiliki oleh setiap
bangsa. Setiap bangsa mempunyai garis pertumbuhan kebudayaan masing-masing dan
memiliki unsur-unsur kebudayaan sendiri yang belum tentu dapat diambil oleh
bangsa lain. Sehingga Armyn Pane lebih cenderung mempertahankan kebudayan
sendiri . Kita hanya dapat mengambil unsur kebudayaan bangsa lain yang sesuai
dengan garis pertumbuhan kebudayaan sendiri, baik dari Barat, dari Timur,
maupun dari mana saja.
Pertentangan
antara yang pro Barat dan yang pro Timur ini terus berkembang dan meluas di
lingkungan Pujangga Baru. Polemik itu kemudian oleh Achdiat Kartamihardja pada
tahun 1948 dikumpulkan dan dibukukan menjadi sebuah buku yang diberi judul
”Polemik Kebudayaan”.
PAHAM SENI ATAU ASAS SENI PUJANGGA BARU
Paham
seni atau sering disebut sebagai asas seni. Paham seni yang terkenal adalah
seni bertendens dan seni untuk seni. Asas Seni Bertendens adalah suatu paham yang
berpendapat bahwa penciptaan seni harus mempunyai tujuan tertentu. Keindahan
merupakan alat semata supaya isi seni lebih menarik dan mudah dimengerti. Asas
ini lebih megutamakan isi dan kegunaan daripada bentuk. Sedangkan Asas Seni
untuk Seni adalah suatu paham yang berpendapat bahwa setiap penciptaan seni
bertujuan untuk keindahan. Asas ini lebih mengutamakan bentuk daripada isi.
Keindahan merupakan tujuan dalam
penciptaan seni. Dalam mengungkapkan
asas seni ini, para pengarang Pujangga Baru mempunyai pendapat yang berbeda-beda.
Pendapat- pendapat mereka dapat dilihat pada uraian berikut ini:
1. Sutan Takdir Alisyahbana
Pedoman yang digunakan oleh STA adalah seni
bertendens. Hal ini didasarkan pada realita yang pada masa itu Indonesia masih
dalam perjuangan untuk membentuk kebudayaan baru maka setiap seniman harus
terlibat dalam perjuangan itu. Menurut STA, perjuangan bangsa lebih penting
nilainya daripada cita-cita seni yang hanya mengabdi keindahan. Keindahan dalam
seni hanya digunakan sebagai alat agar isi lebih menarik dan mudah dipahami
oleh pembaca. Oleh sebab itu, STA lebih suka menghasilkan seni-seni bertendens
dengan tujuan memberikan manfaat bagi masyarakat dan bangsanya. Lebih
mengutamakan isi dan kegunaan daripada bentuk.Contoh: Layar Terkembang.
2. Sanusi Pane
Pendapatnya
cenderung ke asas seni untuk seni. Ia menegaskan bahwa seni itu bersifat
otonom. Dalam menciptakan seni, seorang pujangga harus bersatu dengan alam dan
kemanusiaan. Seniman tidak mempedulikan moral dan kegunaan hasil ciptanya
karena ia merasa menyatu dengan alam dan kemanusiaan. Sanusi Pane dipengaruhi oleh faham filsafat unio mistika, yakni filsafat yang menghendaki
adanya kemanunggalan yang mesra antara manusia dengan seluruh alam semesta ini.
Pada mulanya Sanusi Pane mementingkan masalah keindahan bentuk, tetapi pada
perkembangannya ia mengutamakan kesesuaian/keserasian antara bentuk dan isi.
Contoh: Sajak Puspa Mega dan drama Manusia Baru.
3. Armyn Pane
Dalam
menciptakan seni, ia tidak semata-mata mengabdi pada keindahan, tetapi
keindahan itu sendiri yang harus bermanfaat bagi masyarakat. Selaras dengan
pernyataannya tersebut, ia menganut asas seni bertendens yang lebih
mengutamakan isi daripada bentuk. Bentuk hanya sebagai penolong untuk
menyatakan dan menarik perhatian pada isinya, karena isi itu tidak akan
berharga apabila rupa atau bentuk tidak sepadan. Pendapat Armyn Pane ini lebih
dekat dengan pendapat STA. Contohnya: Roman Belenggu.
4. J.E Tetangkeng
Y.E
Tetangkeng lebih condong pada asas seni untuk seni. Seni harus tinggal seni
karena dalam menciptakan seni itu lahir dan tumbuh dalam masyarakat dan alam.
Pendapat ini lebih dekat dengan Sanusi Pane yang lebih mengutamakan bentuk
daripada isi. Contoh: Buah Rindu
(kumpulan puisi).
Uraian di
atas merupakan penjabaran dari aliran kebudayaan dan paham seni dalam Angkatan
Pujangga Baru. Pujangga Baru pada perkembangannya dipengaruhi oleh sastra
angkatan ’80 (De Tachtiger Beweging) yang berada di Belanda. Penamaan
angkatan/gerakan ’80 disebabkan karena angkatan tersebut munculnya pada tahun
1880. Angkatan ’80 merupakan suatu
gerakan yang berkembang di Belanda pada tahun 1880 yang hendak mengadakan
pembaharuan di bidang kebudayaan. Gerakan ini ingin mengubah berlakunya
kebudayaan yang dipelopori oleh pendeta.
Dalam penciptaan seni, pikiran harus berkembang bukan hanya fisiknya saja.
Gerakan ini dimotori oleh W. Kloos, Herman Gorter, Lodewijk van Deysel, Albert
Verwey, dan F. Van Eiden. Mereka mendobrak pemikiran pendeta yang dianggap
lamban. Angkatan ’80 ini memunculkan majalah yang diberi nama De Nieuwe Gids yang artinya Pandu Baru
dan terbit pada tahun 1885. Sebelumnya
sudah terbit majalah dengan nama De
Gids yang artinya Pandu. De Gids dipandang sebagai jembatan antara sastra
pendeta (sastra domine) dengan sastra angkatan ’80. Gerakan ’80 bertentangan
dengan sastra pendeta yang pada waktu itu dinilai lamban/statis. Tokoh-tokoh
angkatn ’80 mencari ilmu untuk mengembangkan karyanya dan mereka mendapat
pengaruh dari Inggris dan Perancis. Hasil karya berupa prosa mendapat pengaruh
dri Perancis, yaitu aliran Naturalisme, sedangkan puisinya mendapat pengaruh
dari Inggris, yaitu aliran Romantik-Inggris. Begitu pula dengan angkatan
Pujangga Baru yang mendapat pengaruh dari angkatan ’80. Dalam perkembangannya angkatan ’80 terjadi
perpecahan antara golongan W. Kloos dengan golongan A. Verwey. Golongan Albert
Verwey menganggap seni harus sesuai dengan tujuan kehidupan, tidak memisahkan
diri dari masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Van Eiden bahwa seorang
penyair yang tidak berbicara kepada orang banyak dia bukan apa-apa. Sedangkan
golongan W. Kloos menganggap seni merupakan ungkapan yang paling individual.
Dalam penciptaan seni harus bersifat individual, objektif, dan asosial.
Dari uraian
di atas, maka tampak persamaan dan perbedaan angkatan ’80 dan angkatan Pujangga
Baru. Persamaan angkatan Pujangga Baru dengan angkatan ’80: (1) sama-sama ingin
mencari bentuk pengucapan yang baru dalam karya sastra dan menentang angkatan
sebelumnya. Pujangga Baru ingin menentang sastra Balai Pustaka yang dinilai
statis dan terikat oleh Nota Rinkes, sedangkan angkatan ’80 ingin menentang
keberadaan sastra pendeta yang dianggap statis. (2) Kedua angkatan tersebut
sama-sama mendapat pengaruh,yaitu angkatan ’80 dipengaruhi oleh Naturalis
Perancis dan Romantik Inggris, sedangkan angkatan Pujangga Baru dipengaruhi oleh
angkatan ’80. Perbedaan keduanya, yakni: (1) angkatan Pujangga Baru bertujuan
lebih menekankan pada persoalan kemasyarakatan dan mengutamakan unsur tujuan
sosial yang jelas. Sedangkan angkatan’80 bertujuan pada seni itu sendiri, dan
mengutamakan estetis murni. (2) angkatan
Pujangga Baru mempunyai keinginan bahwa seni harus diabdikan pada masyarakat
dan mengubah sastra yang bersifat statis menjadi dinamis, sedangkan angkatan
’80 bersifat individualisme dan naturalisme.
B. KARAKTERISTIK
Karya sastra Pujangga Baru
mempunyai karakteristik sebagai berikut;
- Semangat
nasionalisme sudah mulai menggelora. Dalam karya sastra sudah mulai
mengangkat unsur nasionalisme. Contohnya: karya Asmara Hadi yang berjudul Penyair Api.
- Tema
yang diangkat lebih beragam daripada angkatan Balai Pustaka. Contohnya: Layar Terkembang karya Sutan Takdir
Alisyahbana yang mengangkat tema persoalan emansipasi wanita. Belenggu karya Armyn Pane yang
mengangkat tema tentang persoalan suami istri.
- Bentuk
karya sastranya sudah lebih luas karena merasa sudah tidak terikat oleh
adanya Nota Rinkes dan pengarang bebas mengungkapkan ide atau gagasannya.
Karya sastra yang muncul diantaranya: esai, kritik sastra, roman, cerpen,
drama, dan puisi. Muncul puisi Soneta yang berasal dari Italia, yang dipelopori
oleh Muh. Yamin.
4. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
- Prosa /
puisinya bersifat romantik. Contohnya: Madah
Kelana, Puspa Mega, Nyanyi Sunyi
(ketiga karya ini berbentuk puisi) dan drama yang berorientasi pada masa
silam, seperti cerita Ken Arok dan
Ken Dedes, Erlangga, dan Singosari.
- Pengarang
berasal dari daerah yang berbeda, misalnya; I Gusti Nyoman Putu Tisna
(Bali), Marius Ramis Dayoh (Sangihe), dll. Pengarang berasal dari
kepercayaan yang berlainan. Misalnya, Amir Hamzah (Islam), J.E Tetangkeng
(Kristen), dll.
- Angkatan Pujangga Baru dipengaruhi oleh angkatan
’80 karena pada waktu itu Indonesia dijajah oleh Belanda.
C.
PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Dian Tak Kunjung Padam (1932)
Tebaran Mega - kumpulan sajak (1935)
Layar Terkembang (1936)
Belenggu (1940)
Jiwa Berjiwa (1939)
Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960)
Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)
Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)
Pancaran Cinta (1926)
Puspa Mega (1927)
Madah Kelana (1931)
Amir Hamzah
Nyanyi sunyi (kumpulan puisi 1937)
Setanggi Timur (1939)
Buah Rindu ( Kumpulan puisi 1941)
Kertajaya (1932)
Nyanyi Sunyi (1937)
Begawat Gita (1933)
Setanggi Timur (1939)
Kalau Tak Untung (1933)
Pengaruh Keadaan (1937)
Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935)
Sukreni Gadis Bali (1936)
I Swasta Setahun di Bedahulu (1938)
Rindoe Dendam (1934)
Kehilangan Mestika (1935)
Karena Kerendahan Boedi (1941)
Palawija (1944)
Hamidah
Kehilangan Mustika (1935)
Suman Hasibuan
Percobaan Setia (1931)
Mencari Pencuri Anak Perawan (1932)
Kasih tersesat (1932)
Tebusan Darah (1939)
M.R. Dayoh
Pahlawan Minahasa (1935)
Syair untuk ASIB (1935
SASTRA DI LUAR PUJANGGA BARU
a.
Roman Picisan
Sastra di luar Pujangga Baru
ini umumnya berupa cerita seri, cerita-cerita roman yang diterbitkan di
kota-kota besar, seperti Semarang, Padang, Solo, dan Surabaya. Penerbitan
yang paling banyak ada di kota Medan, sehingga
sering disebut sebagai sastra Medan. Seri cerita roman ini banyak yang
menyebutnya sebagai roman picisan dan menganggap rendah. Jika dilihat dari
pengertiannya, roman picisan adalah jenis bacaan dalam bentuk buku-buku kecil
yang berisi cerita roman yang dipandang dari sudut sastra mempunyai nilai
rendah. Selama ini memang ada anggapan bahwa seri cerita roman picisan itu
rendah, tetapi kenyataannya tidak semua
roman picisan itu bernilai rendah karena tidak semua pengarang menulis cerita
yang tidak bernilai. Diantaranya ada Matu Mona yang menulis cerita roman
picisan yang bernilai sastra dengan judul Panggilan
Tanah Air.
Penerbitan roman berbentuk buku-buku kecil yang
berjilid-jilid dengan judul yang bermacam-macam, antara lain: Seri Roman di
Padang, Dunia Pengalaman, Lukisan Pujangga di Medan, Seri Suasana Baru, Seri
Kejora, Seri Cerita Roman Indonesia di Padang. Roman picisan ini mengandung
kelemahan dari sudut penceritaan dan hanya terbit di kota-kota besar sehingga
yang dapat menikmati hanya masyarakat di kota.
Dr. R. Roolvink menulis tentang Roman Picisan Bahasa
Indonesia yang dimuat dalam lampiran Pokok dan Tokoh Kesusastraan Indonesia
Baru karangan Prof. Dr. A. Teeuw adalah sebagai berikut:
(1) Penerbitan roman picisan
umumnya bersifat perdagangan sehingga isi dan sifat cerita lebih diarahkan pada
selera pembaca.
(2) Lukisan watak tokohnya kurang
mendalam dan tidak cocok dengan kenyataan hidup. Seakan-akan hanya menampilkan
dua sifat tokoh, yaitu baik dan buruk saja.
(3) Isi cerita berupa pertentangan
antara budaya modern dan budaya lama.
(4) Dalam cerita sering disisipkan
reklame atau propaganda suatu badan usaha.
(5) Komposisi cerita kurang
terpelihara.
Para pengarang sastra di luar Pujangga Baru mempunyai
visi dan misi yang berbeda dengan pengarang di luar Balai Pustaka. Telah
diuraikan sebelumnya mengenai sastra di luar Balai Pustaka dan para
pengarangnya yang mempunyai tujuan untuk mendobrak aturan Belanda yang tidak
boleh memasukkan politik dalam karya-karyanya serta ingin menentang adanya Nota
Rinkes yang dianggap membatasi ide atau gagasan para pengarang. Sedangkan para
pengarang sastra di luar Pujangga Baru ingin memperdagangkan karya-karyanya
melalui cerita roman berseri.
Beberapa pengarang yang sebagian karyanya termasuk roman
picisan, yaitu:
1.Matu Mona (nama sebenarnya
Hasbullah Parinduri), hasil karyanya:
-
Harta yang Terpendam
-
Spionagendiest
-
Rol Pacar Merah Indonesia
-
Panggilan Tanah Air
-
Ja Umenek Jadi-Jadian
-
Zaman Gemilang ( merupakan karya Matu Mona yang terbaik yang sebenarnya
kurang tepat jika disebut roman picisan).
2.A. Damhuri, hasil karyanya:
-
Mayapada
-
Bergelimang dosa
-
Depok Anak Pagai
-
Mencari Jodoh
-
Terompah Usang yang Tak Sudah Dijahit
3.Yusuf Sou’yb, hasil karyanya:
-
Elang Emas ( terdiri atas beberapa jilid)
4.Imam Supardi, hasil karyanya:
-
Kintamani
b.
Hamka ( Haji Abdul Malik Karim
Amrullah)
Dalam
sastra di luar Pujangga Baru selain ada karya-karya yang bersifat komersial dan
diterbitkan dengan cerita berseri ada pula karya-karya yang bernilai tinggi dari segi sastranya dan tidak
diterbitkan berseri, yaitu karya-karya Hamka. Hamka tidak digolongkan ke dalam
salah satu angkatan manapun karena: (1) karya-karyanya memiliki corak dan gaya
tersendiri, yaitu bersifat religius (Islam), filosofis, didaktis, dan
mengharukan (sehingga ada yang menyebutnya sebagai ”Pujangga Air Mata”), (2) isi ceritanya
memperlihatkan ruang lingkup yang luas dan moden, walau gaya bahasanya masih
memperlihatkan gaya lama.
Hamka lahir di Sungai Batang, Muninjau, 16 Februari 1908,
putra seorang ulama besar yang bernama Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Ia sering menggunakan nama
samaran: A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki. Adapun karya-karyanya:
-
Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
-
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939)
-
Laila Majnun (1933)
-
Di dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen)
-
Ayahku (biografi)
-
Kenang-Kenangan Hidup ( autobigrafi)
-
Merantau ke Deli (kisah perjalanan)
-
Mandi Cahaya ke Tanah Suci (kisah perjalanan), dsb.
Pada tahun 1962, roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
dihebohkan oleh masyarakat, terutama oleh Lekra sebagai karya plagiat
(jiplakan) dari novel dalam bahasa Perancis yang berjudul Sous Les Tilleuls ( Di Bawah Naungan Pohon Tila) karya Alphonse
Karr(1808-1890). Novel A. Karr tersebut sebenarnya pernah disadur dalam bahasa
Arab oleh Mustafa Luttfi al-Manfaluthi (1876-1924) dengan judul Majdulin. Al-Manfaluthi adalah seorang
pujangga Mesir yang sangat dikagumi oleh Hamka. Karena muncul heboh tersebut, Majdulin kemudian oleh A.S. Alatas
ditejemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Magdalena (1963). Akhirnya, H.B. Jassin sebagai kritikus sastra
yang terkenal menegaskan bahwa roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah
hasil jiplakan karena di dalamnya ada pemikiran, penghayatan, dan pengalaman
Hamka sendiri. Adanya pengaruh bukan berarti plagiat.
SASTRA PERIODE 1942 (Zaman Jepang)
A. LATAR BELAKANG
Jepang
datang ke Indonesia pada tahun 1942, setelah berhasil mengusir Belanda yang
sebelumnya telah menduduki atau menjajah Indonesia selama tiga setengah abad.
Kedatangan Jepang pada mulanya disambut gembira oleh sebagian rakyat Indonesia.
Kegembiraan tersebut tidak lain karena Jepang berjanji akan memberi kemerdekaan
kepada Asia Timur termasuk Indonesia.
Tahun
1942 merupakan tahun penting bagi perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia
termasuk juga kesusastraannya. Masa penjajahan Jepang secara tidak langsung
ikut mengubah kesusastraan Indonesia melalui kebijakan Jepang pada waktu itu.
Salah satu bentuk kebijakan Jepang yang sangat mempengaruhi perkembangan kesusastraan kita adalah dijadikannya bahasa
Indonesia sebagai satu-satunya bahasa yang harus dipergunakan
di seluruh Nusantara dan di seluruh bidang kehidupan. Tentu saja hal ini
hanya merupakan taktik Jepang yang ingin menghapus pengaruh Belanda di
Indonesia. Dengan makin intensifnya penggunaan
bahasa Indonesia di semua bidang kehidupan, maka kesusastraan Indonesia
juga mengalami intensifikasi pula.
Di
bidang kebudayaan, pada bulan April 1943 Jepang mendirikan suatu lembaga, yakni
Keimin Bunka Shidoso atau Pusat Kebudayaan Jepang. Lembaga ini diketuai oleh
Armyn Pane dengan penasihat bangsa Jepang yang bernama Sakai. Anggota-anggota
lembaga tersebut: Sutomo Jauhar Arifin, Usmar Ismail, dan Inu Kertapati. Adapun
tujuan pembentukan Pusat Kebudayaan Jepang ini adalah:
a. Sebagai wadah berkumpulnya para sastrawan
Indonesia.
b.
Sebagai
badan sensor.
c. Sebagai pusat pengetahuan kebudayaan .
Melalui pusat ini dikenakan penyaringan yang
sangat ketat yaitu penyaringan yang bukan saja melarang segala sesuatu yang
dianggap bermusuhan atau berbahaya terhadap perjuangan Jepang, tetapi juga
menuntut hasil kesusastraan yang mendorong cita-cita peperangan Jepang yang
dengan pintar sekali diperkenalkan dengan nama ”Lingkungan Kemakmuran Bersama
Asia Raya”.
Terlepas
dari propaganda Jepang di atas, masa penjajahan Jepang merupakan tonggak awal
lahirnya kesusastraan Indonesia yang baru yang sangat berbeda warnanya, baik
dalam isi, bentuk, maupun gaya bahasa yang digunakan dibandingkan dengan dua
periode sebelumnya. Kita dapat menyebut bahwa sastra zaman Jepang merupakan
embrio sastra angkatan ’45 yang melahirkan karya-karya sastra dan sastrawan
sekelas Chairil Anwar dan kawan-kawan karena karya-karya mereka memang ditulis
pada zaman Jepang, namun baru bisa diterbitkan pada periode 1945.
B.
KARAKTERISTIK
Adapun
secara umum karakteristik karya sastra pada zaman Jepang adalah
:
1. Kebanyakan karya sastra ingin
menggambarkan keadaan masyarakat yang
sebenarnya (realistis).
2. Dalam menciptakan karangan-karangannya
para seniman banyak menggunakan simbol-simbol, sebagai salah satu cara untuk
melepaskan diri dari sensor Jepang
3. Kebanyakan karangan-karangannya harus
mengandung pujian-pujian terhadap pemerintah Jepang
4. Banyak karya sastra berbentuk sajak,
cerpen, dan drama sandiwara. Sedangkan roman jarang ditulis. Drama berkembang
pesat pada waktu itu karena: (a) drama merupakan media propaganda Jepang yang
paling tepat sehingga Jepang tak segan-segan untuk membiayai segala pementasan
drama,(b) film-film asing dilarang masuk
ke Indonesia, (c) drama menyerupai kesenian ketoprak yang sangat digemari oleh
rakyat, dan (d) situasi ekonomi yang serba sulit membutukan hiburan langsung
yang sesuai dengan lingkungan kehidupan rakyat.
5. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra
adalah bahasa Indonesia .
6. Muncul dua sebutan karya sastra, yaitu
karya sastra tersiar dan karya sastra tersimpan. Karya sastra tersiar adalah
karya-karya ditulis pada zaman Jepang
dan berhasil diterbitkan pada waktu itu karena isinya yang sesuai dengan visi dan
misi Jepang atau memiliki tendens membantu perang Jepang. Sedangkan karya
sastra yang tersimpan adalah karya sastra yang ditulis pada zaman Jepang dan
baru bisa diterbitkan setelah Indonesia merdeka karena isinya
yang berisi kritikan, kecaman, dan sindiran terhadap
ketidakadilan di masyarakat. Misalnya: Corat-Coret
di Bawah Tanah karya Idrus, drama Tuan
Amin karya Amal Hamzah.
7. Tidak muncul angkatan.
C. PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Usmar Ismail
Pancaran Cinta dan Gema Tanah Air (Cerpen)
Puntung Berasap (sajak 1949) dan kumpulan sajak (1945-1947)
Sedih dan Gembira (Drama 1943) yang berisi tiga drama : Citra,
Api, Liburan Seniman
Saudaraku
Tanahku
Kebangunan
Cahaya
Merdeka
Kita
Berjuang
Amal Hamzah
Pembebasan Pertama
Melaut
Benciku (sajak)
Buku
dan Penulis (kritik roman dan drama, 1950)
Rosihan Anwar
Radio
Masyarakat (cerpen)
Radio
Kecil (roman)
Bajak
Laut di Selat Malaka (roman)
Dr. Abu Hanifah atau El Hakim
Rogaya
Mambang Laut
Dokter Rimbu
Taufan di Atas
Asia
SASTRA PERIODE 1945 (Angkatan ’45)
A. LATAR BELAKANG
Munculnya angkatan
’45 diawali dari adanya sikap dan cita-cita para pengarang yang akan
diperjuangkan, yaitu ingin membentuk kebudayaan yang universal. Angkatan
’45 merupakan suatu angkatan yang
mempunyai konsepsi humanisme universal dan menuju ke arah pembentukan
kebudayaan universal. Selain itu, pengarang pada saat itu adalah pengarang yang
revolusioner dalam kesusastraan. Penamaan angkatan ’45 membuat pengarang adu
pendapat sehingga ada pro dan kontra dengan penamaan tersebut.
Nama angkatan ’45
sebenarnya baru terkenal mulai tahun 1949 pada saat Rosihan Anwar melansir
istilah angkatan ’45 dalam suatu uraiannya dalam majalah Siasat tanggal 9
Januari 1949. Dalam tulisannya tersebut ia mengatakan bahwa kemerdekaan adalah syarat mutlak untuk perkembangan-perkembangan kebudayaan yang
sejati suatu bangsa. Pengenalan istilah angkatan ’45 itu menandai peristiwa kemerdekaan yang
terjadi pada tahun tersebut. Sebelum nama angkatan ’45 muncul, orang-orang menyebutnya
dengan sebutan :
1) Angkatan Chairl Anwar, karena
pelopor angkatan ’45 Chairil Anwar yang berpengaruh besar terhadap karya-karya
sastrawan lainnya.
2) Angkatan perang, karena pada
saat itu tokoh masyarakat berperang dalam memperebutkan kemerdekaan
3) Angkatan sesudah perang,
karena pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan hari proklamasi kemerdekaan
4) Angkatan sesudah Pujangga
Baru, karena angkatan ’45 ada setelah angkatan Pujangga Baru yang lahir tahun
1930-an
5) Generasi Gelanggang, karena
adanya surat Kepercayaan Gelanggang
6) Angkatan Pembebasan, karena
sastrawan bebas mengapresiasikan perasaannya.
Chairil Anwar
dikenal sebagai pelopor berdirinya angkatan ’45. Hal ini diperkuat oleh
beberapa faktor, yaitu ;
1) Adanya perubahan dalam bentuk
dan isi perpuisian Indonesia Modern
2) Bentuk puisi yang ditampilkan
bebas dan tajam dengan pemikiran unik dan kemampuan memilih kata yang padu
3) Sajak-sajaknya bernafaskan
pemberontakan jiwa terhadap penindasan dan penjajahan
4) Chairil Anwar adalah seorang
penyair yang penuh vitalitas
5) Chairil Anwar menganut aliran
ekspresionisme (letupan jiwa yang meluap-luap)
Telah di jelaskan di awal, ada pro dan
kotra dengan penamaan angkatan ’45. Beberapa sastrawan yang kontra dengan penamaan tersebut adalah Asrul Sani,
Idrus, dan beberapa pengarang lainnya. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh
para sastrawan yang kontra, antara lain :
1) Tahun 1945 yaitu tahun
proklamasi kemerdekaan Indonesia, tidak sepenuhnya berhubungan dengan hal-hal
yang mulia dan baik, karena pada saat itu terjadi pembunuhan dan penculikan
pada kedua pihak yang bertempur. Dengan demikian penamaan angkatan ’45 dapat
mengingatkan kita terhadap hal-hal yang keji dan kotor.
2) Para sastrawan diragukan
sahamnya bagi perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan, sehingga timbul kesangsian apakah mereka berhak
menggunakan nama keramat angkatan ’45. keraguan itu didasarkan atas adanya
beberapa karangan Chairil Anwar yang terlalu bersifat individualistis
3) Tahun 1945 adalah suatu
kesatuan waktu yang sangat singkat dan relatif terlalu fana, sehingga penamaan
angkatan ’45 akan dengan cepat menimbulkan sifat kekolotan pada beberapa tahun
sesudah itu.
Para sastrawan yang tergolong pro dengan
penamaan tersebut, antara lain: Mochtar Lubis, Pramudya Ananta Toer, dan Sitor
Sitomurang. Beberapa tanggapan mereka adalah sebagai berikut:
1) Dalam menilai suatu peristiwa,
kita harus dapat membedakan yang pokok dengan yang tidak. Pembunuhan dan
penculikan adalah soal kecil jika dibandingkan dengan masalah perjuangan
merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kemerdekaan adalah syarat mutlak untuk
perkembangan-perkembangan kebudayaan suatu bangsa, termasuk perkembangan sastra
itu sendiri. Dengan demikian, penamaan angkatan dengan nama tahun ’45 tetap
memiliki nilai yang luhur, tidak perlu harus dalam kaitannya dengan nilai-nilai
yang rendah
2) Walaupun memang ada puisi-puisi
ciptaan penyair bangsa kita yang pada saat itu memiliki interpretasi negatif,
akan tetapi apabila kita teliti benar-benar dan kita resapkan sungguh-sungguh
banyak ciptaan Chairil Anwar dan beberapa penyair lain yang mengandung pikiran-pikiran
yang dalam dan tidak sedikit peranannya bagi perjuangan kemerdekaan. Kita ingat
saja Krawang Bekasi karya Chairil
Anwar. Di samping itu, perlu diingat bahwa perjuangan kemerdekaan tidak harus
selalu dalam hubungan dengan perjuangan fisik atau senjata,melainkan dalam
pengertian yang luas.
3) Tidak hanya penamaan yang
menggunakan angka tahun yang mudah menimbulkan sifat kekolotan, akan tetapi
setiap penamaan akan menjadi bersifat kolot apabila sudah timbul angkatan atau
generasi yang baru.
Berdasarkan
pendapat tersebut, maka mereka berpendapat bahwa tahun ’45 adalah tahun yang
mulia bagi sejarah perjuangan bangsa yaitu tahun berhasilnya bangsa Indonesia
memperoleh kemerdekaan. Oleh karena itu, kemerdekaan adalah syarat mutlak untuk
perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Maka tepat dikatakan bahwa angkatan
sastra di Indonesia sesudah perang dunia II mempergunakan nama angkatan ’45.
Pada hakikatnya setiap
manusia itu sama, yaitu setiap manusia pasti memiliki sikap rasional, etis, dan
estetis. Manusia adalah makhluk berpikir yang berkeadaan dan memiliki rasa
keindahan. Setiap manusia mendambakan nilai-nilai yang luhur dalam berkeadilan,
kemerdekaan, kejujuran, kebebasan, dan persamaan derajat dalam kedudukan.
Berdasarkan hal tersebut, maka angkatan ’45 menganut konsep Humanisme Universal yang
berusaha memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yang berlaku bagi
setiap manusia dari setiap bangsa. Menurut H.B. Jassin konsepsi angkatan ’45
tersebut tidak mengabdi pada sesuatu yang isme,
tetapi mengabdi kepada kemanusiaan yang mengandung segalanya baik dari segala
yang isme. Akibat konsepsi ini maka
titik berat perhatian angkatan ’45 dalam kebudayaan terletak pada pembentukan
kebudayaan yang bersifat universal yang muncul dengan corak Indonesia. Konsepsi
ini tercantum dalam pernyataan mereka yang terdapat dalam Surat Kepercayaan
Gelanggang.
Surat
Kepercayaan Gelanggang merupakan pernyataan sikap dan pendirian angkatan ’45 yang dibuat
tanggal 18 Februari 1950 dan disiarkan pada tanggal 22 Oktober 1950. pernyataan
sikap ini dikemukakan oleh perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka, yaitu suatu
perkumpulan yang didirikan pada tahun 1947. Perkumpulan ini tidak terbatas
hanya pada sastrawan saja, tetapi juga berkumpul para pelukis, musikus, dan
seniman. Perkumpulan ini didirikan sebelum Chairil Anwar meninggal dunia, namun Surat Kepercayaan
Gelanggang dibuat setelah beliau meninggal (28 April 1949). Isi lengkap Surat
Kepercayaan Gelanggang sebagai berikut:
SURAT
KEPERCAYAAN GELANGGANG
Kami adalah ahli waris yang
sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami
sendiri. kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami
adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat
dilahirkkan.
Ke-Indonesiaan kami
tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam
atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa
yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami, kami tidak akan
memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara
tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil
kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan
suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan
oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara
yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali
dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha-usaha yang
mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai.
Revolusi bagi kami
adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus
dihancurkan. Demikianlah kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami
sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami,
kami mungkin tidak selalu aseli; yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam
cara mencari, membahas, menelaah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami
terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang
mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta, 18
Februari 1950.
Inti
pokok dari Manifest adalah menitikberatkan perhatian angkatan ’45 terletak pada
”Pembentukan kebudayaan baru dunia yang bersifat universal”, dan menurut mereka
seniman-seniman Indonesia adalah ”manusia universal” yang muncul dengan corak
Indonesia.
Akibat
adanya konsepsi angkatan ’45 karya-karya para sastrawan tidak lagi mempermasalahkan
Barat dan Timur. Mereka serius mempelajari sastra dunia dengan studi pada karya-karya
sastrawan Perancis, Rusia, Inggris, dan lain-lain. Namun dari sisi lain
kebudayaan daerah kurang bahkan tidak mendapat perhatian.
B. KARAKTERISTIK
Karya sastra angkatan ’45 mempunyai karakteristik
sebagai berikut;
1) Bentuk yang muncul adalah prosa (novel,cerpen),
puisi, dan sajak
2) Gaya yang digunakan dalam prosa
adalah realistis, naturalis, aliran romantis realistis. Dan dalam puisi
menggunakan individualistis, ekspresionistis.
3) Bahasa yang digunakan
sederhana (menggunakan bahasa sehari-hari), tidak memperhatikan aturan-aturan
dalam bahasa bahkan bentuk bahasa harus tunduk pada isi, kalimat-kalimatnya
padat dan penuh isi
4) Isi cerita dalam karya sastra
bersifat realistis, naturalis, dan kritis, terkadang sinis, serta berjiwa
revolusioner
5) Karya yang dihasilkan sudah
mendapat pengaruh dari Eropa
C. PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Kerikil Tajam (1949)
Deru Campur Debu (1949)
Tiga Menguak Takdir (1950)
Aki (1949)
Atheis (1949)
Katahati dan Perbuatan (1952)
Suling (drama) (1948)
Tambera (1949)
Awal dan Mira - drama satu babak (1962)
Kasih Ta' Terlarai (1961)
Pertjobaan Setia (1940)
Mochtar Lubis
Tak Ada Esok
Jalan Tak Ada
Ujung
Senja di Jakarta
Pramoedya Ananta Toer
Cerita dari Blora
Perburuan
SASTRA PERIODE 1950-an
A.
LATAR BELAKANG
Munculnya periode
50-an ini karena memasuki tahun 1950. Maka para sastrawan sepakat untuk
memberikan nama periode 50-an. Pada periode ini tidak muncul adanya angkatan
karena tidak ada cita-cita yang akan diperjuangkan.
Periode ini
ditandai dengan banyak peristiwa, diantaranya meninggalnya Chairil Anwar,
sebagai seorang sastrawan yang cukup idealis dalam karya-karyanya dan
berpengaruh besar dalam sastra Indonesia. Sepeninggalnya banyak sastrawan yang
kehilangan vitalitas dan kreatifitas dalam berkarya, sebab Chairil Anwar juga
sangat berpengaruh terhadap vitalitas karya dalam lingkungan budaya ”
Gelanggang Seniman Merdeka”, dimana pengarang yang berada di dalamnya merupakan
tumpuan harapan pelopor penerus Chairil Anwar.
Periode 50-an ini
juga ditandai dengan adanya krisis sastra. Krisis sastra terjadi akibat
gagalnya revolusi karena memerintah mementingkan diri sendiri tanpa
menghiraukan kepentingan bangsa dan negara, bahkan timbul kesewenang-wenangan.
Krisis yang muncul pada saat itu adalah krisis sastra, krisis moral, krisis
ekonomi, krisis politik, krisis sosial, dan krisis akhlak.
Munculnya krisis sastra dapat dilihat
dari dua faktor :
1) Faktor intern:
a. Adanya sikap statis (tidak ada
perkembangan) terhadap diri sastrawan terutama golongan muda.
b. Adanya kemunduran kualitas dan
kuantitas dalam berkarya
2) Faktor ekstern :
Gagalnya revolusi
akibat acuhnya pejabat yang mengakibatkan adanya krisis ekonomi (banyak pejabat
yang melakukan penyelewengan, korupsi, manipulasi), sehingga menyebabkan krisis
ekonomi, sosial, politik, dan akhlak.
Pada tahun 1953 di Amsterdam telah
diselenggarakan simposium tentang sastra Indonesia. Dalam simposium itu telah
tampil beberapa pembicara, antara lain Prof. Dr .
Werthein, Sutan Takdir Alisyhbana, dan Asrul Sani. Pada simposium
tersebut untuk pertama kalinya terdengar suara pembicara yang menyatakan bahwa
krisis sastra disebabkan oleh gagalnya revolusi Indonesia. Selanjutnya masalah
krisis sastra mulai ramai dibicarakan setelah terbit majalah Konfrontasi pada
pertengahan tahun 1954.
Penamaan atau
istilah krisis sastra dalam periode 50-an ini membuat adanya pro dan kontra. Para
sasatrawan yang pro dengan dengan nama krisis sastra, antara lain:
1) Sudjatmoko
Dalam esainya yang berjudul ”Mengapa Konfrontasi” 1954, dia mengatakan
dengan tegas bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis. Krisis itu terjadi
karena adanya krisis kepemimipinan politik. Selain itu, krisis terjadi karena
para sastrawan hanya menulis cerpen-cerpen kecil yang permasalahannya hanya
berkisar pada psikologis perseorangan. Sedangkan roman-roman besar tidak
dihasilkan dan kurangnya buku yang terbit.
2) Sutan Takdir Alisyahbana
Dia mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan Indonesia terancam dari dua
pihak, yaitu statisnya golongan tua dan tidak ada pertumbuhan yang dinamis dari
golongan muda sehingga terjadi impasse pada masyarakat dari segi jasmani dan
rohani.
3) Ir. Dr. Udin
Dia mengatakan bahwa jaman revolusi suara sastrawan hanya untuk melawan
Belanda, sehingga setelah merdeka mereka kehilangan tujuan dan muncul
kemunduran kualitas dan kuantitas karya sastra.
4) Rifai Apin
Dia mengatakan bahwa keadaan krisis sastra sesungguhnya setelah
meninggalnya Chairil Anwar sehingga menimbulkan kendornya ikatan antar penyair
dan orang-orang yang mengkonsumsi sastra, artinya ada pengasingan sastra
5) Asrul Sani
Dia menyebut sebagai krisis sementara. Hal ini dinyatakan karena putusnya
hubungan pedesaan dengan kekotaan pada nilai-nilai yang benar.
Para sastrawan yang kontra dengan
penamaan krisis sastra :
1) H.B. Jassin
Dalam simposiumnya di Fakultas Sastra UI tahun 1954, yang berjudul
’Kesusastraan Indonesia Modern Tidak Ada Krisis”, dengan menunjukkan
bukti-bukti yang lengkap dari dokumennya dia menolak terjadinya krisis dan
impasse dalam sastra Indonesia.
2) Nugroho Notosusanto
Dia mengungkapkan bahwa istilah krisis atau impasse itu tidak benar. Krisis
itu merupakan satu sikap pesimisme dari orang-orang tertentu sesudah pengakuan
kedaulatan
3) Buyung Saleh
Dia berpendapat bahwa krisis sastra tidak terjadi karena sastra Indonesia
masih tumbuh subur.
4) Sitor Situmorang
Dia berpendapat bahwa pada saat itu yang muncul bukanlah krisis sastra
tetapi krisis ukuran menilai sastra.
Pada periode 50-an
ini telah lahir peristiwa sastra ditandai dengan lahirnya sastra majalah yang
dinyatakan pertama kali oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya yang berjudul
’Situasi 1945’ yang dimuat dalam majalah kompas. Majalah pada periode ini
berkembang pesat. Hal ini merupakan jawaban yang tepat bahwa sastra Indonesia
tidak mengalami krisis. Lahirnya sastra majalah merupakan lahirnya suatu proses
baru dalam sastra Indonesia sesudah Chairil Anwar meninggal. Dalam Simposium
yang diselenggarakan di Universitas Indonesia pada tahun 1955, Haridjadi S, Hartowardoyo
telah mengisyaratkan adanya suatu periode sastra baru setelah Chairil Anwar.
Munculnya sastra
majalah karena macet atau pasifnya penerbitan Balai Pustaka yang bernaung di
bawah balai Pustaka. Sejak tahun 1953 Balai Pustaka mengalami kemacetan karena
berkali-kali berubah status dan dipegang oleh orang yang bukan ahlinya sehingga
anggaran yang tersedia tidak cukup. Aktivitas sastra hanya dimuat dalam
majalah-majalah, seperti majalah Gelanggang, Siasat, Mimbar Indonesia, Pujangga
Baru, Kisah, Kompas (Majalah mahasiswa UI), Prosa, Konfrontasi, Seni dan Budaya
(Jogja). Para pengarang hanya menulis cerpen, sajak, dan karangan lainnya yang
dibutuhkan di majalah. Penyaluran karya sastra para pengarang hanya pada
majalah sehingga muncul adanya sastra majalah.
B.
KARAKTERISTIK
1) Tidak muncul istilah ’angkatan’
2) Muncul sastra majalah
3) Karya sastra yang muncul berupa cerpen,
sajak, drama, dan sedikit novel
4) Tema yang diangkat tentang kehidupan
masyarakat sehari-hari bahkan tentang masalah kedaerahan. Contoh: ”Pulang”
karya Toha Mochtar.
5) Para sastrawan umumnya tidak berguru pada
pengarang asing, melainkan berguru pada pengarang asli Indonesia.
C.
PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Hujan Kepagian (1958)
Rasa Sajangé (1961)
Tiga Kota (1959)
Robohnya Surau Kami - 8 cerita pendek pilihan (1955)
Bianglala - kumpulan cerita pendek (1963)
Hujan Panas (1964)
Kemarau (1967)
Dua Dunia (1950)
Hati jang Damai (1960)
Dalam Sadjak (1950)
Tak Ada Esok (1950)
Jalan Tak Ada Ujung (1952)
Tanah Gersang (1964)
Si Djamal (1964)
Putra Budiman (1951)
Pahlawan Minahasa (1957)
Tahun-tahun Kematian (1955)
Ditengah Keluarga (1956)
Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957)
Cari Muatan (1959)
Etsa sajak-sajak (1956)
Suara - kumpulan sajak 1950-1955
(1958)
Priangan si Jelita (1956)
Yerma Saja (1959)
Balada Orang-orang Tercinta (1957)
Empat Kumpulan Sajak (1961)
Ia Sudah Bertualang (1963)
Simphoni (1957)
Angin
Laut (1958)
Dimedan Perang (1962)
Laki-laki dan Mesiu (1951)
Pulang (1958)
Gugurnya Komandan Gerilya (1962)
Daerah Tak Bertuan (1963)
Mendarat Kembali (1962)
Datang Malam (1963)
Iwan Simatupang
Siasat Baru
(1959)
Petang
di Taman (1966)
Merahnya
Merah (1968)
SASTRA
PERIODE 1960-an
A. LATAR BELAKANG
Pada periode 1960-an dalam
sejarah kesusastraan Indonesia lahir angkatan 66. Peristiwa yang menyebabkan lahirnya angkatan 66 ini ialah pendobrakan
terhadap kebobrokan yang disebabkan oleh penyelewengan yang membawa negara pada jurang kehancuran total.
Kebangkitan semangat 1966
menjelajah tradisi baru, disini semua bentuk Lekra dan neolekranisme,
yaitu dominasi kebudayaan oleh politik secara tegas ditolak karena menganut
seni untuk rakyat yang jelas-jelas ini menentang seni untuk seni angkatan 1945.
Secara terbuka angkatan 66 menyatakan menganut cita-cita kebangsaan dan
kebebasan bukan hanya kebebasan politik, tetapi kebebaban pada umumnya nilai
kemanusiaan yang hakiki dan kebebasan menyeluruh (Humanisme Universal). Dari
kelompok inilah majalah Horison segera terbit sebagai suara sastranya. Faktor penentu yang mendorong lahirnya angkatan
’66 ialah karena pada tahun itulah pertama kali segolongan luas masyarakat yang
selama beberapa tahun yang lalu ditindas,dapat menyuarakan perasaan mereka yang
terpendam.
Nama ’Angkatan 66’ mulai
dikenal melalui majalah Horison dan menjadi populer setelah H.B Jassin
mengumumkan karangannya yang berjudul ”Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi”
dalam Horison pada bulan Agustus 1966. Angkatan 66 bertujuan membawa kesadaran
nurani manusia yang bertahun-tahun mengalami kezaliman dan perkosaan terhadap
kebenaran dan rasa keadilan, kesadaran moral dan agama.
Ada beberapa hal pula yang
melatarbelakangi munculnya angkatan 66 yaitu karena adanya protes sosial yang
dipelopori KAMI-KAPPI yang menuntut hal berikut:
1. Bubarkan PKI dan antek-anteknya
2. Laksanakan pancasila secara murni dan
konsekuen
3. Adakan mobilisasi umum
Pada tahun 1968 majalah Sastra
terbit lagi padahal majalah ini pernah ditutup oleh LEKRA setelah penerbitan
yang pertama pada tahun 1963. Majalah Horison pun pernah dilarang terbit karena
dianggap sensornya kurang baik terutama dalam karya ”Langit Makin Mendung”
hasil ciptaan dari Ki Panji Kusmin.
Manifes Kebudayaan
LEKRA
yang lahir tanggal 17 Agustus 1950 di Jakarta merupakan bagian dari PKI.
Lembaga ini selalu menghantam, membujuk, dan menyerang sastrawan yang menganut
paham ’Seni untuk seni’. Karena terus mendapat tekanan dari LEKRA, akhirnya
pada tanggal 17 Agustus 1963 sejumlah seniman dan budayawan mengumumkan
pernyataan sikap mereka dengan judul ”Manifes Kebudayaan” yang berbunyi:
1.
Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah
manifes kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan
nasional kami.
2.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup
manusia. Kami tidak mengutamakan satu sektor kebudayaan di atas kebudayaan yang
lain, setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan
kodratnya.
3.
Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha menciptakan dengan
kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan
mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah
masyarakat bangsa-bangsa.
4.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami
Jakarta, 17 Agustus 1963
Pernyataan
ini mendapat sambutan spontan dari budayawan dan seniman karena merupakan
penyelamat dari teror yang dilakukan oleh LEKRA. Pada tanggal 6 Mei 1984,
Presiden Sukarno melarang Manifes Kebudayaan dengan alasan bahwa manifesto
politik Indonesia sebagai Pancasila telah menjadi GBHN, dan tidak mungkin
didampingi dengan manifesto yang lain. Larangan ini merupakan pukulan hebat
bagi budayawan dan seniman, dan menguntungkan bagi LEKRA. LEKRA menghantam
orang-orang manikebuis dan lawan-lawan politiknya dengan tuduhan
kontrarevolusi, anti manipol, dan anti nasakom. Para budayawan dan seniman
penanda tangan Manifes Kebudayaan disingkirkan dalam setiap kegiatan dan
tertutup kemungkinan bagi mereka untuk mempublikasikan hasil karyanya. Para
pengarang ini terpaksa menggunakan nama samaran agar hasil karyanya dimuat
dalam majalah dan surat kabar. Majalah sastra yang menjadi terompet golongan
manikebuis dituntut untuk dilarang terbit.
Puncak
dari pertentangan politik dan sosial budaya itu adalah gerakan 30 September
1965/ Gestapu PKI yang melancarkan Coup d’
Etat terhadap pemerintahan yang sah dan berakhir dengan segala kegagalan
total. Sedangkan puncak dari sastra perlawanan terhadap pemerintahan tirani dan
gestapu PKI adalah sajak Taufik Ismail, Mansur Samin, Slamet Sukirnanto, Bur
Rasuanto, dan lain-lain, yang ditulis di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa
dan pelajar (KAMI dan KAPPI) pada awal 1966. Ada beberapa kumpulan sajak pada
tahun 1966 selama demostrasi itu, yaitu ’Tirani’ dan ’Benteng’, keduanya karya
Taufik Ismail yang pertama memakai nama samaran Nur Fajar.
B. KARAKTERISTIK
1) Munculnya istilah angkatan ’66
2) Konsepsi angkatan 66 adalah Pancasila
3) Adanya Manifes Kebudayaan
4) Ciri khas hasil karya angkatan 66 adalah
’protes sosial’ dan ’protes politik’
5) Di samping unsur politik, satrawan juga
memperhatikan unsur estetis
6) Arti penting sajak angkatan 66 merupakan
curahan hati khas anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa
penindasan
7) Banyak lahir sajak-sajak keagamaan
8) Dalam prosa muncul warna lokal, yaitu ciri
khas suatu daerah baik nama tokoh, sosial, budaya, maupun setting. Contoh:
Ahmat Tohari dengan karyanya Ronggeng Dukuh Paruk.
9) Hasil karya yang dihasilkan berbentuk
prosa, puisi, cerpen, drama.
C. SASTRAWAN DAN HASIL KARYANYA
Tirani (1966)
Benteng (1966)
Bur Rasuanto
Mereka Akan Bangkit (1963)
Mereka Telah Bangkit (1966)
Mansur Samin
Perlawanan (1966)
Kebinasaan
Negeri Senja (1968)
Slamet Kirnanto
Jaket Kuning (1967)
Kidung Putih (1967)
Abdul Wahid Situmeang
Pembebasan (1966)
Dukamu Abadi (1969)
Mata Pisau (1974)
Parikesit (1969)
Interlude (1971)
Seks, Sastra, dan Kita (1980)
Rachmad Djoko Pradopo
Matahari Pagi di Tanah Air
Hilanglah si Anak Hilang (1963)
Saini K.M
Nyanyian Tanah Air
Perjalanan ke Akhirat (1962)
Manifestasi (1963)
Ziarah (1968)
Kering (1972)
Merahnya Merah (1968)
Keong (1975)
Masa Bergolak (1968)
Ibu (1969)
SASTRA PERIODE 1970-an
A.
LATAR BELAKANG
Munculnya periode
70-an karena adanya pergeseran sikap berfikir dan bertindak dalam menghasilkan
wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik dibidang
puisi, prosa, maupun drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G 30 S/PKI.
Pada periode 70-an
ini pernah diusulkan untuk diberi nama angkatan 70-an. Istilah angkatan 70
diperkenalkan pertama kali oleh Dami N. Toba dalam karangannya ”Peta Perpuisan
Indonesia 1970-an dalam Sketsa”, yang diajukan dalam sebuah ceramah di fakultas
Sastra Indonesia pada 25 Mei 1977. Namun pemberian nama angkatan dalam sastra
kiranya harus dihubungkan dengan konsepsi budaya yang mendasar, seperti halnya
surat kepercayaan gelanggang atau manifes kebudayaan. Maka dianggap angkatan 70
ini tidak ada.
Karya
puisi pada tahun 70-an ini dianggap mutakhir sehingga periode ini dinamakan
periode mutakhir. Jadi dengan adanya tanda-tanda kemutakhiran terutama pada
genre puisi yang lahir serta wawasan estetika yang dimiliki sendiri pada
novel-novel yang lahir pada tahun 1970-an ini, maka muncullah gagasan karya
sastra periode 70-an.
PERISTIWA SASTRA
1.
Puisi Mbeling
Pada mulanya puisi
mbeling merupakan suatu ruangan puisi dalam majalah aktuil terbitan Bandung (1972-1978),
kemudian puisi-puisi yang dimuat dalam ruangan tersebut dinamakan puisi
mbeling. Pelopor adanya puisi mbeling adalah Remy Silado yang kebetulan menjadi
redaktur pertama ruangan puisi mbeling. Selain puisi mbeling juga muncul prosa
mbeling. Mbeling disini berarti tidak mengikuti konvensi-konvensi pada saat itu
dan prosanya bersifat non realistis.
Sapardi Djoko
Damono menyatakan bahwa munculnya puisi mbeling ada kaitannya dengan majalah
sastra Horison. Disamping majalah Budaya Jaya dan Basis, tahun 70-an hanya ada
satu majalah sastra, yakni majalah Horison. Dipihak lain, minat untuk menjadi
penyair begitu besar. Akibatnya majalah Horison tidak mampu menampung
puisi-puisi yang dikirimkan padanya.
Itulah sebabnya
para pendukung ’puisi mbeling’ adalah kaum muda dan mereka yang baru menulis
puisi namun ingin cepat tampil ke permukaan. Dengan kata lain munculnya puisi
mbeling dapat juga dikatakan sebagai pemberontakan kalangan muda terhadap
kemapanan, baik kemapanan majalah Horison maupun kemapanan penyair-penyair
senior.
Menurut Sapardi
Djoko Damono, selanjutnya ciri utama puisi mbeling adalah kelakar, kata-kata
dipermainkan arti, bunyi, tipografi dimanfaatkan untuk mencapai efek tersebut.
Sebagian besar sajak mbeling menunjukkan maksud penyair sekedar mengajak
pembaca berkelakar saja tanpa maksud yang lain yang disembunyikan. Selain
kelakar yang menjadi ciri khas dari puisi mbeling, kritik sosial juga merupakan
ciri dari puisi mbeling tersebut.
2.
Pengadilan Puisi
Pengadilan puisi
adalah sebuah acara yang diadakan di Bandung pada 8 September 1974, untuk
mengadili puisi-puisi Indonesia mutakhir. Alasan adanya pengadilan puisi
tersebut adalah untuk mencegah kerusakan masyarakat akibat puisi-puisi negatif.
Pengadilan puisi
muncul berdasarkan ide Darmanto Jt pada tahun 1970. Dalam acara itu yang
bertindak sebagai Hakim ketua :
Sanento Yuliman, Hakim anggota :
Darmanto jt, Jaksa : Slamet kirnanto,
Pembela : taufik ismail, dan sebagai
saksi adalah sejumlah pengarang Indonesia.
Secara keseluruhan
pengadilan puisi ini dapat digolongkan sebagai ”pemberontakan” terhadap
perpuisian Indonesia dan secara khusus ”pemberontakan” terhadap :
a) Kritikus sastra Indonesia
Kritikus sastra Indonesia yang dimaksud adalah H.B. Jassin dan M.S
Hutagalung. Mereka ini dianggap tidak mampu mengikuti perkembangan puisi
Indonesia mutakhir
b) Penyair mapan Indonesia
Penyair mapan indonesia yang dimaksud ialah Subagyo Sastro Wardoyo, Rendra
dan Goenawan Muhammad. Mereka dianggap menghambat perkembangan puisi Indonesia
yang wajar.
c) Majalah sastra yang ada di
Indonesia
Majalah
sastra yang dimaksud adalah majalah Horison. Majalah ini dianggap tidak mampu
menampung aspirasi orang banyak, melainkan telah berubah menjadi ’majalah
keluarga’
Pemberontakan
tadi tercermin dari tuntutan Slamet Kinanto, yakni:
1) Para kritikus yang tidak mampu lagi
mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir harus dipensiunkan dari peranan
yang pernah mereka miliki
2) Para editor majalah sastra khususnya
Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan
3) Para penyair mapan harus dikenakan hukuman
pembuangan
4) Horison dan Budaya Jaya harus dicabut
SIT-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku dan dilarang
dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan mengisruhkan
perkembangan sastra puisi yang diharapkan sehat dan wajar.
Ternyata majelis hakim yang
diketuai Sanento Yuliman menolak semua tuntutan Slamet Kinanto. Keputusan
tersebut berbunyi:
a) Para kritikus sastra tetap diijinkan untuk
menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya dengan
catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dan sekolah kritikus sastra
yang akan segera didirikan
b) Para redaktur Horison tetap terus
diijinkan memegang jabatan mereka selama mereka tidak merasa malu. Bila
dikehendaki sendiri mereka boleh mengundurkan diri
c) Para penyair mapan masih diberi peluang
untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif boleh menulis terus dengan keharusan segera
masuk ke dalam Panti Asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
d) Majalah sastra Horison tidak perlu dicabut
Surat Ijin Cetak dan Surat Ijin Terbitnya. Akan tetapi, dibelakang nama lama
harus diberi nama ”baru” sehingga menjadi ”Horison Baru”
Pada tanggal 21 April –
September 1974 diselenggarakan jawaban atas pengadilan puisi di Jakarta. Bertindak
sebagai pembaca utama dalam acara tersebut ialah H.B Jassin, M.S Hutagalung,
Goenawan Mohammad dan Sapardi Djoko Damono. Berbeda dengan pengadilan puisi,
jawaban atas pengadilan puisi diakhiri dengan keputusan majelis hakim ini tidak
memtuskan apa-apa.
B.
KARAKTERISTIK
1) Genre yang muncul puisi, prosa, drama, kritik,
dan esai
2)
Muncul puisi mbeling dan prosa
mbeling
3) Kaya dengan pikiran dan corak baru dalam
perkembangan teknik pengungkapan ide secara polos
4) Kata-kata yang digunakan bersifat bebas
dan kreatif
5) Banyak sajak-sajak yang berupa kata-kata
kosong (tidak mempunyai makna simbolis)
6) Penampilan kekuatan kata atau bahasa
sebagai alat satu-satunya
7) Sajak-sajaknya tidak bisa/pasti terasakan
oleh pembacanya
8) Sajak-sajak yang dihasilkan masih ada nada
protes menuntut hak asasi (kritik sosial dan kritik terhadap cina dalam
perekonomian Indonesia)
C.
SASTRAWAN DAN HASIL KARYANYA
Putu Wijaya
Orang-orang Mandiri (drama)
Lautan Bernyanyi (drama)
Bila Malam Bertambah Malam (1971)
Dadaku Adalah
Perisaiku (kumpulan sajak)
Telegram (Novel 1973)
Stasiun (Novel 1977)
Pabrik (novel)
Aduh (drama)
Hah (drama)
Keok (drama)
Anu (drama)
Bom (kumpulan cerpen)
Dag Dig Dug
(Drama)
Ms (Novel)
Ratu (Novel)
Budidarma
Olenha (novel 1983)
Orang-orang Blongminton
(kumpulan cerpen 1980)
Sosilokui (kumpulan esai)
Sejumlah Esai
Sastra (kumpulan esai)
Danarto
Godlob (kumpulan cerpen
1976)
Bel Geduwel Beh
(Drama 1976)
Abrok Awok-Awok, Ebrek Ewek-Ewek (drama)
Adam Ma’rifat (kumpulan cerpen)
Arifin C. Noer
Kapai-kapai (drama 1970)
Siti Olea (kumpulan sajak 1964)
Goenawan Muhammad
Pari
Kesit (kumpulan sajak 1971)
Catatan
pinggir (Kumpulan esai 1982)
Damanto Jt
Bangsat!
(kumpulan sajak 1975)
Sekitar
Masalah Kebudayaan (kumpulan esai 1986)
Umar Kayam
Totok
dan Toai (cerita anak-anak)
Sri Sumarah (Kumpulan cerpen)
Seni,
Tradisi, Masyarakat (kumpulan esai)
Arswendo Atmowiloto
Penentang Tuhan
(drama)
The Circus (novel)
D. Zawawi Imron
Semerbak Wayang
(kumpulan sajak)
Bulan Tertusuk Ilalang (kumpulan sajak)
Korrie Layun Rampan
Matahari
Makin Panjang (kumpulan cerpen)
Emha Ainun Najib
”M”
Frustasi (kumpulan sajak)
Sajak-Sajak
Sepanjang Jalan (kumpulan sajak)
Nyanyian Gelandang (Kumpulan Sajak)
Sastra yang
Membebaskan ( Esai)
Iwan Simatupang
Merahnya
Merah (novel 1968)
Kering (novel 1972)
Ziarah (novel 1968)
Koong (novel 1975)
Putu Arya Tirta Wirya
Pasir Putih Pasir Laut
(kumpulan cerpen)
Malam Pengantin
(kumpulan cerpen)
Pilar-pilar (kumpulan
sajak)
Kegelapan di Bawah
Matahari (kumpulan Cerpen)
Leon Agusta
Catatan
Putih (kumpulan sajak)
Hukla (kumpulan sajak)
Hedona
dan Masochi ( kumpulan cerpen)
Abdul Hadi W.M
Laut
Belum Pasang (kumpulan sajak 1971)
Meditasi (kumpulan sajak 1976)
Putu DjokoDamono
Dukamu
Abadi (Kumpulan sajak 1969)
Beberapa
cacatan (kumpulan esai 1973)
Sutardji Calzoum Bahri
Plot
(puisi 1970)
Walau
(kumpulan 1970)
Khotbah di Atas Bukit (1976)
SASTRA PERIODE 1980-an
A.
LATAR BELAKANG
Karya sastra di Indonesia pada
kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan,
dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa
angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan
yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy
Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet
Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby,
Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini
(Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada
dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku
Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai.
Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah
kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai
konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T
adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang
menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka
adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih
dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan
untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an
biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Namun yang tak
boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop,
yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar
baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.
Ada nama-nama
terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini
.
B.
KARAKTERISTIK
1) Umumnya bertema romantisme
2) Umumnya tokoh utama adalah
wanita
3) Tokoh utama pada karya-karya
80-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya
4) Tumbuh sastra yang beraliran
pop
5) Sastra periode 1980 merupakan
sastra yang dinamik sesuai dengan perkembangan zaman
6) Munculnya cerita-cerita dengan
problem metropolitan dan problem-problem sosial yang komprehensif
7) Dialek khusus (bahasa slank, prokem) banyak muncul dalam karya sastra populer (remaja)
C.
SASTRAWAN DAN HASIL KARYANYA
Ladang Hijau (1980)
Sajak Penari (1990)
Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
Fragmen-fragmen Kekalahan (1997)
Sembahyang Rumputan (1997)
Burung-burung Manyar (1981)
Roro Mendut (1981)
Genduk Duku (1986)
Bako (1983)
Dendang (1988)
Olenka (1983)
Rafilus (1988)
Anak Bajang Menggiring Angin (1984)
Canting (1986)
Lupus - 28 novel (1986-2007)
Lupus
Kecil - 13 novel (1989-2003)
Olga
Sepatu Roda (1992)
Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)
Nyanyian Gaduh (1987)
Matahari yang Mengalir (1990)
Kepompong Sunyi (1993)
Nikah Ilalang (1995)
Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)
Segi Empat Patah Sisi (1990)
Segi Tiga Lepas Kaki (1991)
Ben (1992)
Parakitri T. Simbolon
Si Bongkok
Ahmad Tohari
Ronggeng Dukuh
Pauk (1982)
Lintang Kemukus
Dini Hari (1985)
Jentera Bianglala
Mira W
Jangan Ucapkan Cinta
SASTRA PERIODE 1990-an
A.
LATAR BELAKANG
Pada awal tahun
1990-an sastra sepertinya sudah mulai luntur. Keadaan seperti ini dikarenakan
belum adanya pengarang-pengarang baru yang berkarya pada masa itu. Namun pada tahun 1998
diadakanlah sayembara oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sayembara ini dimenangkan oleh Ayu
Utami dengan romannya yang berjudul ”Roman Saman”. Karya Ayu Utami ini
disebut-sebut sebagai tonggak kebangkitan sastra, karena roman ini merupakan
roman yang berbobot. Tema yang diangkat dalam roman ini adalah masalah-masalah
kehidupan tahun 90-an. Dalam pengungkapannya Ayu Utami memaparkan
masalah-masalah tersebut dengan apa adanya, tanpa beban dan tidak
ditutup-tutupi. Termasuk didalamnya menyangkut masalah seks.
Dunia perfilman
Indonesia juga mengalami kemerosotan pada tahun 1990-an ini. Banyak sutradara
dan produser film yang lebih memilih menggarap sinetron daripada film layar
lebar, sehingga menyebabkan film Indonesia semakin lesu. Namun kehadiran Garin
Nugroho dengan filmya ”Bulan Tertusuk Ilalang” setidaknya sudah membuktikan
bahwa dunia perfilman Indonesia belum sepenuhnya mati. Film ini juga yang
menjadi motor penggerak bagi sineas-sineas muda Indonesia untuk berkarya.
Akhirnya lahirlah film Kuldesak hasil karya Bianca Adi Nugroho serta
petualangan Sherina hasil garapan Mira Lesmana.
Majalah
’Sastra’ yang sempat tidak terbit karena masalah politik, pada bulan Mei di
Bandung muncul kembali. Kurangnya bacaan sastra dalam masyarakat yang mendorong
para sastrawan untuk menerbitkan kembali majalah ini.
Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran
kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang "Sastrawan Angkatan
Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya
sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya
seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama
berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak
reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi
juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi
merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an,
seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik
yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya
sastra -- puisi, cerpen, dan novel -- pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair
yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat, juga ikut meramaikan suasana
dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
B.
KARAKTERISTIK
1) Bahasa yang digunakan sudah
beragam, yaitu bahasa Indonesia sehari-hari, bahasa asing, bahasa daerah, dan
bahasa slank (bahasa kelompok).
2) Temanya beragam, antara lain
sosial, budaya, politik, religi, seks dan etnis.
3) Berani menampilkan uneg-uneg
anak muda
4) Penciptaan hasil karya sastra cenderung
mengandung ”steam of consiousness” yaitu konsepsi literatur yang banyak
memberikan pembaca untuk melakukan pertimbangan pribadi terhadap penulis
tentang kehidupan masyarakat, sebagai contoh adalah ’Roman saman’. Dalam roman
ini si pengarang berani menerima kritik, respon, terhadap hasil karya
sastranya.
C.
SASTRAWAN DAN HASIL KARYANYA
Ayu Utami
Roman
Saman (1998)
Larung (2001)
Garin Nugroho
Daun
di Atas Bantal (film)
Bulan
Tertusuk Ilalang (film)
Mira Lesmana
Petualangan Sherina (film)
Bianca Adi Negroho
Kuldesak
Seno GumiroAdi Darma
Jazz
Prafum
Insiden
Ca
Bau Kan (1999)
Kerudung Merah Kirmizi (2002)
Penulis dan Karya Sastra
Angkatan Reformasi
SASTRA PERIODE 2000-an
A.
LATAR BELAKANG
Setelah
wacana tentang lahirnya sastrawan angkatan reformasi muncul, namun tidak
berhasil dikukukhkan karena tidak memiliki juru bicara. Korrie Layun rampan
pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya sastrawan angkatan 2000.
seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, esais, da kritikus sastra dimasukkan
Korrie k dalam angkatan 2000, termasuk
mereka yang sudah mulai menulis sejak tahun 1980-an, seperti Afrisal Malna,
Ahmadun Yossi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma.
Setelah
terjadi reformasi, ruang gerak masyarakat yang pada awalnya terganjal oleh
pemerintah Orde Baru yang represif, tiba-tiba merasa memperoleh nafas kebebasan
dalam mengekspresikan apresiasinya. Karya
sastra yang muncul pada periode ini berlandaskan perubahan. Kemjauan teknologi
seolah telah mencapai klimaksnya. sehingga pelaku seni secara terang-terangan
memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai landasan berkarya.
B. KARAKTERISTIK
1.
Pergeseran wawasan estetik angkatan 2000 yang ditandai
oleh berubahnya struktur larik dan bait. Larik pada Afrizal Malna bersifat
netral. Posisi tidak pernah mempunyai penyelesaian karena meskipun baitnya
dibalik ke atas atau ke bawah, maknanya tidak akan berubah. Karena larik sama
fungsi dan kedudukannya dengan bait, karena larik itu sendiri merupakan bait.
2.
Kata dipilih dari lingkungan sehari-hari.
3.
Ada
pergeseran peran aku lirik kepada benda-benda yang menunjukkan bahwa muncul
makna penting dari estetik aku lirik ke estetik benda-benda yang dipertaruhkan
sederajat dengan kedudukan manusia. Contohnya:
“ Lalu bapak menyusun dirinya kembali, dan body lotion,
styling foam, dan pil strong of night: Indonesia raya! Sumpah pemuda!
Pembangunan! Kenapa aku membangun kamar mandi seperti itu juga, siih…” (Kisah
Cinta Tak Bersalah).
4.
Ada
hubungan antara sifat massal benda-benda
dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dari interaksi
massal. Contoh dapat dilihat dari karya Afrizal MAlna
yang berjudul Pengantar Bersama Seseorang
dan Massa , di buku itu Afrizal menunjukkan hubungan timbal balik antara “seseorang”
dan “massa” dalam hubungan cerita sebuah kalung. “ Saat mengenakan kalung itu,
saya seperti mengenakan diri orang-orang lain pada leher saya”.
5.
Menghidupkan
eksistensi benda-benda dalam komunikasi
searah yang eksistensial sehingga benda-benda seolah-olah hidup
seperti manusia.
Contoh: “ Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku,
komporku,…” (Warisan Kita).
6.
Materi yang digarap penyair semakin meluas dan
mendalam, tidak hanya tentang sosial kemasyarakatan, budaya, etnis melainkan
juga religi. Contohnya bisa ditemukan pada sajak-sajak yang ditulis oleh Ahmadun Yosi Herfanda yang
sajak-sajak keagamaannya mencerminkan
nuansa religius yang khusyuk yang mencerminkan penaklukan manusia kepada Sang
Pencipta.
Misalnya pada puisi Sembahyang
Rerumputan berikut ini: sembahyangku sembahyang rerumputan/ sembahyang
penyerahan jiwa dan badan/ yang rindu berbaring di pangkuan Tuhan…
7.
Ada juga pengarang yang memasukkan
citraan-citraan alam benda yang dimaksudkan
untuk mengkonkretkan pengalaman religius.
Contohnya pada sajak Aku Ingin Memasukimu, karya Jamal D. Rachman berikut ini: “Lewat
pintu matahari, aku memasukimu bersama/ kawah gerimis yang mendidih, seribu
pulau/ kurangkum jadi benua sembahyang dan/ kusalurkan kepadamu.
8.
Jika pada sajak Afrizal Malna benda-benda berada
pada posisi kemungkinan yang disuruh komunikator untuk berbicara, maka pada
sajak-sajak Agus, benda-benda mampu hidup dan berkomunikasi seperti layaknya
manusia.
Contoh pada sajak Rendezvous
: “ Kamu cantik, ucap padang golf pada bunga/ rumput yang berayun diasuh
angin”.
9.
Pembukaan
cerpen dengan pembukaan yang relative sama mirip dengan awal dongeng anak-anak.
Contohnya dalam cerpen Penembak Misterius, karya Seno G.
Ajidarma, berikut:
“Ceritakanlah padaku tentang kejenuhan”, kata Alina pada
tukang cerita itu. Maka juru cerita itupun bercerita tentang Sarman: “Ceritakanlah padaku tentang kepunahan, “ kata Alina pada
tukang cerita itu.
10.
Seperti
pada puisi, cerpen pun juga tidak mempunyai penyelesaian sebagai penutup dari
klimaks yang disyaratkan fiksi murni,
titik akhir cerita hanya sebagai penanda untuk jeda, karena selesaian yang
sebenarnya ada pada imajinasi dan ruang pikir pembaca.
11.
Adanya
kelucuan, kekerasan, dan absurditas yang dipadukan dengan mengungkapkan secara
metaforis dan alegoris dalam fiksional novel.
12.
Adanya pola
kolase dalam fiksional novel. Pola kolase merupakan perpaduan unsur-unsur yang
membangun cerita.
13.
Muncul arus
narasi kehilangan.
14.
Sosial
media sebagai sarana dalam berkarya
C. SASTRAWAN DAN HASIL KARYANYA
Afrizal Malna
-
Abad yang Berlari
-
Matahari Bachri
-
Winter Festival
-
Lelaki yang Menjadi Seekor Burung
-
Telinga waktu
Acep Zamzam Noor
-
Tengah Hari
-
Montmantre
-
Napas Gunung
-
Buat Malika Hamoudi
-
Buat Lina Sagaral Reyes
Gus Tf
-
Kasat Mata
-
Tak Pernah Kubutuh Sebuah Telepon
-
Pernah
-
Tukang Pos Gaib
-
Mantel
Helvy Tiana Rosa
-
Jaring-Jaring Merah
I Wayan Arthawa
- Kesaksian Burung Pengantin
- Mengayuh
Sukma Pengantin
- Perahu Pengantin
- Gilimanuk-Ketapang
- Kali Ciliwung
Jamal D. Rachman
-
Surat Tak Sampai 1
-
Surat Tak Sampai 2
-
Surat Tak Sampai 3
-
Surat Tak Sampai 4
-
Surat Tak Sampai 5
-
Surat Tak Sampai 6
-
Surat Tak Sampai 7
-
Surat Tak Sampai 8
Kriapur
-
Tidur
-
Sajak buat Negaraku
-
Firman
-
Penjara
-
Catatan Atas Hidup
Kris Budiman
-
Takut dan Senang: Sudut Pandang Ideologis
-
Sri Sumarah
Omi Intan Naomi
-
Ken Arok
-
Berlin
-
Kelahiran
-
Kota
-
Kita Telanjang
Remmy Novaris D.M
-
Perjamuan
-
Hujan yang Datang
-
Musafir
-
Jalan Mimpi
-
Nyanyian Anak-Anak
Seno Gumira Ajidarma
-
Sepotong Senja untuk Pacarku
-
Telepon dari Aceh
-
Keindonesiaan
Taty Haryati
-
Ada yang Harus Mati
-
Sebab Aku adalah Gerak
-
Kita
-
Labirin
-
Dan Waktu Mengajarkanku
Ulfatin C.H.
-
Perjalanan Mawar
-
Aku Bernyanyi Mawar
-
Sambisari
-
Perjalanan Malam II
-
Nyanyian Burung
Lucky Club: Slots, live dealer casino site review and VIP info
BalasHapusLucky Club casino offer luckyclub.live the most comprehensive online slot games, slots and table games. From progressive jackpots and the traditional jackpots in