Archive for April 2014
SEKILAS TENTANG SEJARAH SASTRA
By : alifinunk
SEJARAH SASTRA
Dosen Pengampu :
Mega Aprita Sari, S.Pd.,
M.Pd.
AINUR RAHMAN
(2012610037)
PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA
DAN SENI
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MADURA
PAMEKASAN
2013
PENDAHULUAN
A.
Cabang-Cabang Ilmu Sastra dan Hubungan
Timbal Baliknya
Ilmu
sastra memiliki tiga cabang ilmu, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan
kritik sastra. Teori sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari
dasar-dasar pengertian tentang hal-hal yang berhubungan dengan sastra, misalnya
hakikat sastra, genre sastra, aliran-aliran dan lain-lain. Sejarah sastra
adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra sejak lahir (awal) hingga sekarang.
Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang memberikan penilaian terhadap kualitas/mutu sebuah karya sastra.
Ketiga
cabang ilmu sastra tersebut mempunyai hubungan yang erat sekali dan saling
melengkapi.
1. Hubungan Sejarah Sastra dan Teori
Sastra
Penyelidikan
tentang sejarah sastra banyak memerlukan bahan-bahan pengetahuan tentang teori
sastra. Pembicaraan mengenai suatu angkatan tidak akan terlepas dari
pembicaraan tentang tema, gaya bahasa, aliran, genre sastra, dsb.
Sebaliknya,
teori sastra pun membutuhkan bahan-bahan dari hasil penyelidikan sejarah
sastra. Pembicaraan tentang gaya bahasa atau suatu aliran tidak akan dilepaskan
dari perkembangan sastra secara
keseluruhan. Suatu pengertian dalam teori sastra dimungkinkan mengalami
perubahan dan perkembangan sesuai dengan
data yang diperoleh dari sejarah sastra.
2. Hubungan Sejarah Sastra dan Kritik
Sastra
Penyelidikan
sejarah sastra memerlukan bantuan juga dari kritik sastra karena tidak semua
karya sastra yang pernah terbit dijadikan
bahan penyelidikan sejarah sastra, tetapi terbatas pada sejumlah karya
sastra tertentu.
Untuk
memilih dan menentukan karya sastra yang menjadi objek penyelidikan sejarah
sastra itu diperlukan bahan-bahan dari kritik sastra karena tugas kritik
sastralah yang menentukan nilai suatu
karya sastra. Sebaliknya, kritik sastra pun membutuhkan bahan-bahan dari
sejarah sastra, terutama di dalam usaha menentukan asli tidaknya suatu karya
sastra atau ada tidaknya pengaruh dari sastra lain.
3. Hubungan Kritik Sastra dan Teori Sastra
Usaha
kritik sastra tidak akan berhasil tanpa dilandasi oleh dasar-dasar pengetahuan
tentang teori sastra. Misalnya, jika kita hendak mengadakan telaah/kritik
terhadap sebuah novel, maka kita harus memiliki pengetahuan tentang apa yang
disebut novel, unsur-unsur pembentuk novel, dsb. Jadi, teori sastra merupakan
sebagian modal bagi pelaksanaan kritik
sastra.
Sebaliknya,
teori sastra pun memerlukan bahan-bahan dari kritik sastra, bahkan sebenarnya
kritik sastra merupakan pangkal teori sastra. Teori tanpa data merupakan teori
yang kosong.
B.
Masa Permulaan Sastra Indonesia Modern
Sastra (kesusastraan) suatu bangsa dari waktu
kewaktu selalu mengalami perkembangan, begitu juga dengan kesusastraan
Indonesia. Dengan demikian, sejarah sastra
itu tidak lain dari rangkaian atau jajaran periode-periode sastra.
Pengertian periode di sini ialah yang seperti dikemukakan oleh Wellek (dalam
Pradopo, 2005:2) yaitu sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh sesuatu sistem
norma-norma sastra, standar-standar, dan konvensi-konvensi sastra yang
kemunculannya, penyebarannya, keberagaman, integrasi, dan kelenyapannya dapat
dirunut. Periode-periode sastra ini erat hubungannya dengan angkatan-angkatan
sastra yang menempati periode-periode tersebut. Itulah sebabnya mengapa masalah
angkatan tidak dapat dihindari dalam
penulisan sejarah sastra Indonesia, atau penulisan sejarah sastra tidak
lepas dari pembicaraan masalah angkatan
dan periodisasi.
Pengertian
sastra Indonesia, tentulah menunjuk pada pengertian sastra Indonesia modern
atau sastra Indonesia baru. Istilah modern atau baru ini sesungguhnya merupakan
penegasan saja, sebab sesungguhnya, sepertiyang dikemukakan oleh Nugroho
Notosusanto (dalam Pradopo, 2005:6) bahwa sastra Indonesia itu lain dari sastra
Melayu yang merupakan sastra daerah, yang biasa disebut sastra Indonesia lama.
Dengan demikian, penulisan sejarah sastra Indonesia dimulai dengan lahirnya,
latar belakang lahirnya, dan sebab-sebab lahirnya kesusastraan Indonesia
tersebut.
Mengenai kapan lahirnya sastra Indonesia modern
tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti, para ahli hanya mengatakan sebatas
kira-kira. Oleh karena itu, dalam menentukan masa permulaan (lahirnya) sastra Indonesia modern memunculkan
beberapa pendapat/versi, di antaranya:
1. Versi Bahasa
Ø Tokoh : Umar Junus
Umar Junus berpendapat lahirnya sastra Indonesia modern mulai berkembang pada sekitar 28 oktober 1928,
yaitu bersamaan dengan lahirnya Sumpah Pemuda. Beliau berpendapat bahwa sastra
erat sekali dengan bahasa, tidak ada bahasa maka sastrapun tidak akan ada juga.
Oleh karena itu, penamaan suatu hasil sastra harus terutama berdasarkan media
bahasa yang digunakan. Suatu hasil
sastra disebut sastra X karena bahasa yang digunakan adalah bahasa X. Menurut
pemikiran Junus, perkembangan sastra Indonesia dimulai sejak adanya bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional.
2. Versi Bangsa
Ø Tokoh: Nugroho Notosusanto
Nugroho Notosusanto berpendapat bahwa
berbicara tentang sastra Indonesia,
bukan berarti berbicara tentang bahasa
Indonesia, melainkan tentang sastra Nasional Indonesia. Dengan demikian,
prinsip sastra Indonesia adalah prinsip kebangsaan. Kita sudah menetapkan
tanggal 20 Mei 1908 sebagai hari Kebangkitan Nasional, sebagai tonggak
bangkitnya kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia. Hal itu berarti bahwa setiap kegiatan bangsa Indonesia sejak
saat itu sudah didorong oleh aspirasi nasional. Sastra Indonesia sebagai bagian
kebudayaan bangsa Indonesia, seharusnya sudah pula memancarkan unsur kebangsaan itu. Dengan
demikian, sastra Indonesia modern sebagai sastra Nasional Indonesia sudah
berkembang sejak permulaan abad ke-20 (tahun 1908). Suatu hasil sastra disebut sastra X karena
dihasilkan oleh bangsa X.
3. Versi Politik/Pemerintah
Ø Tokoh: Slamet Muljana
Slamet Muljana berpendapat bahwa sastra
Indonesia modern dimulai pada tahun 1945. pengertian tentang sastra Indonesia
tidak dapat dipisahkan dari Indonesia sebagai nama suatu negara. Negara
Republik Indonesia baru ada sejak diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945 dan baru pada tahun itu pulalah
bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara.
4. Versi terakhir menyatakan bahwa sastra
Indonesia moder mulai berkembang sekitar tahun 1920-an. Tokoh-tokohnya: Ajip
Rosidi, H.B. Jassin, A. Teeuw, dan Fachruddin A. Enre. Mereka berpendapat
demikian dengan dua pertimbangan alasan, yakni:
a. Media bahasa yang digunakan.
Meskipun bahasa Indonesia secara formal diakui sebagai bahasa persatuan pada tahun
1928, namun realitasnya bahasa Indonesia sudah berkembang pada tahun-tahun
sebelumnya. Bahasa Indonesia sudah ada sekitar tahun 1920-an.
b. Corak isi yang terdapat di dalam karya
sastra.
Corak isi karya –karya sastra pada sekitar tahun
1920-an sudah mencerminkan sikap watak bangsa Indonesia, artinya sudah
mengandung unsur kebangsaan, misalnya: Tanah
Air (1922) karya Muh. Yamin.
Dalam
beberapa buku kesusastraan, kita mengenal pembabakan/periodisasi sastra
Indonesia yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu terjadi karena
masing-masing ahli/tokoh sastra mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam menentukan
kapan mulai berkembang (lahirnya) sastra Indonesia.
C.
Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisassi
sastra Indonesia adalah pembabakan (pembagian ke dalam beberapa babak) sejarah
sastra Indonesia. Penyusunan periodisasi sastra Indonesia didasari oleh
beberapa hal, diantaranya:
- Bahasa yang digunakan
- Bentuk sastra yang muncul dalam kurun waktu
tertentu.
- Tema yang digunakan dalam karya sastra yang
ada pada kurun waktu tertentu.
- Pengarang yang menulis karya sastra,
menyangkut bentuk, karakter, atau berdasarkan karakter umum pengarang yang
muncul.
- Keadaan masyarakat pada kurun waktu tertentu.
Penyusunan periodisasi sastra
memunculkan nama angkatan. Angkatan adalah sekelompok sastrawan yang mempunyai
konsepsi/ ide, gagasanyang sama yang ingin diperjuangkan bersama. Namun, tidak
semua periode memunculkan nama angkatan.
Adapun beberapa periodisasi yang pernah
dikemukakan oleh beberapa tokoh sastrawan, diantaranya:
1.Periodisasi Bujung Saleh
|
2. Periodisasi H.B. Jassin
|
|
I. Sastra Melayu Lama
II.Sastra Indonesia Modern
1. Angkatan 20
2. Angkatan 33 atau Pujangga Baru
3. Angkatan 45 mulai sejak 1942
4. Angkatan 66 mulai kira-kira tahun 1955
|
3. Periodisasi Nugroho Notosusanto
|
4. Periodisasi Ajip Rosidi
|
I.
Sastra
Melayu Lama
II.
Sastra
Indonesia Modern
A. Masa Kebangkitan
1. Periode ’20
2. Periode ’33
3. Periode ’42
B. Masa Perkembangan
1. Periode ’45
2. Periode ’50
|
I. Sastra Nusantara Klasik (sastra dari berbagai
bahasa daerah di Nusantara)
II. Sastra Indonesia Modern
A. Masa Kelahiran (Masa Kebangkitan)
1. Periode awal-1933
2. Periode 1933-1942
3. Periode 1942-1945
B. Masa Perkembangam
1. Periode 1945-1953
2. Periode 1953-1961
3. Periode 1961-sekarang
|
Dari beberapa versi periodisasi sastra Indonesia
di atas, dapat disusun periodisasi sastra Indonesia modern sebagai berikut:
- Sastra Periode 1920-an
- Sastra Periode 1930-an
- Sastra Periode 1942
- Sastra Periode 1945
- Sastra Periode 1950-an
- Sastra Periode 1960-an
- Sastra Periode 1970-an
- Sastra Periode 1980-an
- Sastra Periode 1990-an
- Sastra Periode 2000-an
SASTRA PERIODE 1920-AN
A.
LATAR BELAKANG
Pada tahun 1884, pemerintah jajahan Belanda
mendapat kekuasaan dari Ratu Belanda untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000
setiap tahun untuk keperluan sekolah-sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak
orang-orang bumiputera, terutama para priyayi yang akan dijadikan pegawai
setempat. Pegawai-pegawai setempat itu diperlukan oleh pemerintah Belanda untuk
kepentingan eksploitasi kolonialnya, karena biaya-biaya untuk membayar para
pegawai setempat jauh lebih murah daripada mendatangkan tenaga-tenaga dari
negeri Belanda Jadi, ada dua tujuan pemerintah Belanda membuka sekolah untuk
bumiputera, yaitu (1) mendidik pegawai-pegawai rendah yang dibutuhkan oleh
pemerintah Belanda, dan (2) agar politik pengajaran tetap dikuasai oleh
Belanda.
Akan tetapi, dengan
didirikannya sekolah-sekolah itu, meningkatlah pendidikan dan timbul kegemaran
membaca, dan melalui bacaan-bacaan dalam bahasa Belanda, bangsa Indonesia pun
mulai mengerti akan kedudukan dirinya sebagai bangsa yang dijajah. Beberapa
orang berbakat yang menyadari hal ini mulai menulis rupa-rupa karangan, baik
yang berbentuk cerita yang sifatnya memberi penerangan kepada rakyat. Surat
kabar-surat kabar mulai dicetak bukan saja dalam bahasa Belanda melainkan juga
dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah. Surat kadar surat kabar dalam bahasa
Melayu terbit tidak hanya di Jakarta saja, melainkan juga tersebar di berbagai
kota lain. Misalnya, pada abad ke-19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang
Timoer (mulai 1862), di Padang terbit Pelita Ketjil (mulai tahun 1882), dan di
Jakarta sendiri terbit Bianglala (mulai tahun 1867), dll.
Sejalan dengan Politik Etis
yang dilaksanakan oleh Belanda yang ketika itu menjadi kebijakan umum dalam
menghadapi tanah jajahannya, maka sampailah pada pikiran untuk membendung
bangkitnya kesadaran nasional dengan memberikan semacam bimbingan dalam hal bacaan
rakyat. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda ternyata semakin luas
sehingga banyak bangsa Indonesia yang pandai membaca dan menulis. Pemerintah
Belanda khawatir terhadap kegemaran membaca di kalangan rakyat pada waktu itu.
Maka pada tanggal 14 September 1908, Belanda mendiririkan Komisi Bacaan Rakyat
(Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang dipimpin oleh Dr. G.A.J.
Hazeu. Komisi ini makin lama makin luas dan bertambah kegiatannya, sehingga
pada tahun 1917 diubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) yang diberi nama Balai Pustaka.
Tujuan mula-mula didirikannya Komisi
Bacaan Rakyat ialah untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada kepala
pengajaran dalam hal memilih karangan-karangan yang baik untuk dipakai di
sekolah bumiputera dan buku-buku yang akan dijadikan bacaan rakyat. Karangan
yang baik di sini tentulah yang baik bagi pemerintah Belanda, yaitu isinya
tidak mennyebabkan bangkitnya semangat rakyat, tidak membangkitkan kesadaran
nasional sebagai bangsa yang dijajah.
Adapun tugas Komisi Bacaan
rakyat Rakyat ialah:
1) Membendung karangan-karangan cabul/liar
(bersifat politik) yang diedarkan pihak partikulir atau penerbit swasta.
2) Mencegah adanya bacaan yang membahayakan
kedudukan pemerintah Belanda
3) Menjual buku-buku bacaan tersebut dengan
harga yang semurah-murahnya supaya usaha partikulir itu bangkrut.
4) Menerbitkan buku bacaan yang bermanfaat
bagi rakyat dan kepentingan pemerintah Belanda di Indonesia.
Pada tanggal 22 september 1917
Komisi Bacaan Rakyat diganti namanya menjadi Balai Pustaka (BP) sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan usahanya. Balai Pustaka berada di bawah
kepemimpinan Dr. D.A. Rinkes, Dr. K.A. Hidding, dan Dr. G.J.W. Drewes. Sedangkan tokoh-tokoh
sastrawan Indonesia yang menjadi pegawai Balai Pustaka antara lain: S.T.
Alisyahbana, Adinegoro, Nur Sutan Iskandar, H.B. Jassin, Idrus, W.J.S.
Purwadarminta, Armyn Pane.
Adapun tugas-tugas Balai Pustaka adalah:
1) Mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita
rakyat asli dan dongeng-dongeng yang
tersebar di masyarakat untuk dijadikan bacaan rakyat.
2) Menerjemahkan sastra Eropa yang dipandang
bermutu dari segi sastra, dengan demikian kita dapat berkenalan dengan sastra
asing
3) Menerbitkan buku-buku bacaan yang sehat bagi
rakyat Indonesia (tentu saja ditinjau dari segi kepentingan penjajah), juga
buku-buku yang dapat menambah ilmu pengetahuan dan kecerdasan rakyat.
Tujuan utama didirikannya Balai
Pustaka adalah untuk memberi konsumsi bacaan kepada rakyat yang isinya cocok dengan
garis politik pemerintah kolonial. Jadi, bukan untuk mendorong perkembangan
sastra Indonesia. Oleh karena itu, karya-karya yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka harus memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Nota Rinkes yang
dikeluarkan oleh Dr. D.A. Rinkes. Adapun
isi Nota Rinkes sebagai berikut:
1) Karangan tidak boleh mengandung unsur
politik.
2) Karangan harus dapat memberikan pendidikan
budi pekerti dan membawa kecerdasan.
3) Karangan harus netral terhadap agama .
Karangan-karangan yang tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan tersebut, pastilah tidak akan diterbitkan oleh Balai
Pustaka, kecuali jika pengarang mau menerima pengubahan-pengubahan yang
dilakukan oleh Dewan Redaksi Balai Pustaka. Sedangkan bila pengarang keberatan
menerima pengubahan-pengubahan itu, pastilah karangan tersebut ditolaknya.
B.
KARAKTERISTIK
Adapun karakteristik yang muncul pada sastra
periode 1920-antara lain:
1. Dikeluarkannya Nota Rinkes yang akhirnya
dapat membatasi ide dan gagasan para pengarang dalam menciptakan sebuah karya
sastra.
2. Muncul nama angkatan Balai Pustaka, yang
mempunyai konsepsi/ide ingin mendirikan pendidikan budi pekerti dan
mencerdaskan kehidupan bangsanya melalui bacaan.
3. Isi karya sastranya:
a. Bertemakan masalah kawin paksa.
b. Mengungkapkan masalah pertentangan adat antara golongan tua dan golongan muda. Golongan tua cenderung untuk lebih mempertahankan adat sedangkan golongan muda menentang adat karena menurut mereka adat dapat membawa kemunduran.
b. Mengungkapkan masalah pertentangan adat antara golongan tua dan golongan muda. Golongan tua cenderung untuk lebih mempertahankan adat sedangkan golongan muda menentang adat karena menurut mereka adat dapat membawa kemunduran.
c. Tidak boleh melanggar ketentuan Balai
Pustaka (Nota Rinkes)
4. Bahasa yang digunakan dalam karya-karya
sastranya adalah bahasa Melayu, Bahasa Indonesia, dan bahasa daerah.
5. Jenis sastranya:
a. Prosa yang umumnya berbentuk roman
bertendens.
b. Puisi yang masih memakai bentuk-bentuk
puisi lama.
6. Aliran sastranya: Romantisme sentimental
C. PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Tokoh / pengarangnya yaitu:
Azab dan Sengsara (1920)
Binasa kerna Gadis Priangan (1931)
Siti
Nurbaya (1922)
La Hami (1924)
Anak dan Kemenakan (1956)
Cinta yang Membawa Maut (1926)
Salah Pilih (1928)
Karena Mentua (1932)
Tuba Dibalas dengan Air Susu (1933)
Hulubalang Raja (1934)
Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
Cinta Tanah Air
Pengalaman Masa Kecil
(kumpulan cerita)
Tak Disangka (1923)
Sengsara Membawa Nikmat (1928)
Tak Membalas Guna (1932)
Memutuskan Pertalian (1932)
Darah Muda (1927)
Asmara Jaya (1928)
Melawat ke Barat
(1928)
Falsafat Ratu
Dunia
Revolusi dan
Kebudayaan (esai)
Abas Soetan Pamoentjak Nan sari
Pertemuan (1927)
Dengan Melarat
(1926)
Salah Asuhan (1928)
Pertemuan Djodoh (1933)
Surapati
Robert Anak
Surapati
Menebus Dosa (1932)
Si Cebol Rindukan Bulan (1934)
Sampaikan Salamku Kepadanya (1935)
SASTRA DI LUAR BALAI PUSTAKA
Sastra
pada tahun 1920-an tidak terbatas pada kegiatan dan usaha Balai Pustaka saja. Pada
periode yang sama, muncul sastra di luar Balai Pustaka. Periode sastra di luar
Balai Pustaka sama dengan periode sastra Angkatan Balai Pustaka, yaitu antara
tahun 1920-an sampai dengan tahun 1930-an, namun kriteria-kriteria yang ada
pada sastra di luar Balai Pustaka berbeda dengan angkatan Balai Pustaka. Hal itu
terjadi sebagai wujud penentangan terhadap keberadaan Nota Rinkes yang dianggap
membatasi ide pengarang. Berdasarkan hal
di atas banyak pengaruh yang terjadi dimana banyak pengarang yang tidak memasukkan
karyanya ke dalam Balai Pustaka. Di samping untuk tetap mempertahankan
kandungan politik, mereka juga ingin mempertahankan keutuhan naskah.
Sastra
di luar Balai Pustaka dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1. Sastra yang bersifat politik.
Maksudnya,
karya-karya sastra yang dihasilkan isinya bertujuan untuk menghasut rakyat dan
ingin memberontak melawan penjajah. Karena sifat dan isi karangannya yang
seperti itu, maka karangan-karangan yang dihasilkan disebut dengan ”karangan
liar” dan pengarangnya pun disebut ” pengarang liar”. Adapun semboyan yang
dimiliki adalah ”Politik adalah Panglima” yang berarti bahwa segala sesuatu itu
berdasarkan politik dan ditujukan kepada politik, dan hal ini juga berlaku pada
hasil-hasil karya sastranya.
Karakteristik sastra yang
memiliki tujuan politik, antara lain:
a. Sastra digunakan sebagai media perantara
untuk menyampaikan tujuan politiknya
b. Berisikan tentang kritik terhadap
feodalisme dan kolonialisme
c. Bahasa yang dipergunakan sangat kacau,
baik ejaan dan tata bahasanya
Tokoh-tokohnya:
a. Mas Marco Kartodikromo, karyanya:
(1) Mata Gelap (1914)
(2) Syair Rempah-Rempah (1919)
(3) Student Hidjo (1919)
(4) Rasa Merdeka (1924)
b. Semaun, karyanya:
(1) Hikayat Kadirun (1924)
2. Sastra yang bersifat sastra.
Maksudnya,
karya-karya sastra yang dihasilkan isinya sesuai dan mematuhi kaidah sastra.
Adapula yang menyebutnya dengan sastra pra Pujangga Baru, karena para
pengurusnya nanti aktif dalam Pujangga Baru dan karakteristik karya-karya
sastranya mendekati karaktertistik karya sastra angkatan Pujangga Baru.
Karakteristik sastra yang
bersifat sastra, antara lain:
a. Memiliki unsur-unsur nasionalisme
b. Banyak mengeluarkan puisi-puisi modern
dimana sudah terdapat pemisahan dari karya sastra masa silam, yaitu telah
meninggalkan tradisi pantun dan syair. Hal tersebut banyak terdapat dalam
puisi-puisi Muh.Yamin.
c. Adapula yang mempertahankan bentuk tradisi
pantun dan syair. Hal itu masih terlihat dalam puisi-puisi Rustam Efendi.
Tokoh-tokohnya:
a) Moh. Yamin
Beliau adalah tokoh yang mengadakan pembaharuan sastra, khususnya di bidang
puisi yang berbentuk Soneta, dan sekaligus sebagai perintis berdirinya satra
Pujangga Baru. Adapun karya-karyanya:
(1) Tanah Air (kumpulan puisi)
(2) Indonesia Tumpah Darahku (puisi)
(3) Ken Arok dan Ken Dedes (drama)
(4) Gajah Mada (roman sejarah)
(5) Tan Malaka (biografi)
(6) Menantikan Surat dari Raja (prosa
terjemahan), dsb.
b) Rustam Efendi, karya-karyanya:
(1) Bebasari (drama bersajak)
(2) Percikan Permenungan (kumpulan puisi)
(3) Air Mata Seni (roman)
c) Sanusi Pane, karya-karyanya:
(1) Puspa Mega (kumpulan puisi)
(2) Pancaran Cinta (prosa berirama)
(3) Airlangga (drama)
(4) Madah Kelana (kumpulan puisi)
(5) Manusia Baru (drama)
SASTRA PERIODE 1930-AN
A.
LATAR BELAKANG
Balai
Pustaka mengadakan sensor terhadap karangan-karangan yang dicetak dan diedarkan
menjadi bacaan masyarakat. Hal-hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan, yang
berhubungan dengan penderitaan rakyat Indonesia atau hal-hal yang mungkin
membahayakan politik kolonial pemerintah Belanda di Indonesia tidak boleh diterbitkan.
Karena beberapa kekangan ketidakbebasan itu, maka berkumpullah
pengarang-pengarang muda untuk memperbaharui sastra Indonesia, yaitu: Sutan
takdir Alisyahbana, Sanusi Pane dan Armyn Pane. Mereka berusaha memperbaharui
sastra dan kebudayan Indonesia menuju yang ’baru’. Mereka bersama-sama berusaha
memajukan kebudayaan dan sastra Indonesia.
Angkatan
mereka disebut Angkatan Pujangga Baru atau angkatan 33 dan mempunyai Badan
Penerbit sendiri pada tanggal 29 Juli 1933 dan majalahnya dinamakan ’Pujangga
Baru’. Maka dari itu, tahun 1933 dijadikan tahun permulaan berdirinya ”Angkatan
Pujangga Baru”. Angkatan Pujangga Baru lebih dapat memenuhi hasrat
pujangga-pujangga, bebas dari sensor dan pengaruh-pengaruh luar yang mengikat.
Ada 3 semangat yang mendorong lahirnya
sastra Pujangga Baru :
1. Semangat persatuan dan kesadaran nasional
yang hendak mempersatukan bangsa dan membentuk bahasa persatuan..
2. Adanya keinginan untuk bebas dari segala
ketentuan ikatan serta kekangan-kekangan dalam melahirkan perasaan, gagasan,
dan kehendak menurut cetusan rasa dan kedinamisan jiwa masing-masing.
3. Tujuan hendak mengadakan pembaharuan dan
memajukan bahasa, sastra dan kebudayaan Indonesia.
Bersama dengan lahirnya
Pujangga Baru ada dua pengertian nama Pujangga Baru, yaitu:
1. Pujangga Baru sebagai nama majalah
a. Terbitan pertama kali pada Juli 1933 – Maret
1942
Majalah Pujangga
Baru sebelum perang bersifat homogen yaitu majalah Pujangga Baru merupakan
pembawa semangat dan satu cita-cita. Pujangga Baru bertujuan sebagai wadah
sikap apresiasi, ide, maupun gagasan dari sekelompok pengarang. Majalah ini berakhir pada 1942 karena pada
saat itu Jepang datang dan melarang penerbitan Pujangga Baru.
b. Terbitan kedua pada Maret 1948 – Maret
1953
Majalah
Pujangga baru telah diijinkan lagi untuk terbit. Majalah Pujangga Baru sesudah
perang bersifat heterogen, yaitu membawa semangat Angkatan Pujangga Baru dan
membawa suara angkatan sesudahnya. Pujangga Baru bertujuan sebagai wadah
aspirasi, ide, gagasan, perasaan dari berbagai pengarang.
Adapun tujuan penerbitan majalah Pujangga
Baru adalah:
(1) Sebagai wadah berkumpulnya para sastrawan
yag sebelumnya tercerai-berai menulis dalam beberapa majalah.
(2) Sebagai terompet dalam melahirkan
perasaan, pikiran, dan pandangan mereka sesuai dengan zamannya.
(3) Untuk memberikan apresiasi/penghargaan
terhadap kesusastraan.
(4) Untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi
para pengarang-pengarang muda.
(5) Untuk memberikan pandangan mengenai
kesusastraan
(6) Untuk memberikan kritik-kritik yang
membangun.
2. Pujangga Baru sebagai nama angkatan dalam
sastra Indonesia.
Pujangga Baru sebagai nama sebuah angkatan merupakan tempat berkumpulnya
sekelompok pengarang yang memiliki berbagai keanekaragaman. Walaupun para
pengarang Pujangga Baru memiliki keanekaragaman, namun mereka memiliki, yaitu
cita-cita mewujudkan kebudayaan baru, yakni kebudayaan persatuan Indonesia.
Dalam menentukan arah kebudayaan Indonesia yang baru nantinya muncul
perbedaan pendapat diantara para sastrawan. Pengertian Kebudayan Baru menurut
masing-masing tokoh Pujangga Baru sebagai berikut :
a. Sutan Takdir Alisyahbana
Menurut STA, sejarah Indonesia dibedakan antara zaman pra
Indonesia (sebelum tahun 1926) yang disebut zaman jahiliah Indonesia, yang
ditandai dengan kebudayan ekspresif, yang didasarkan pada perasaan, intuisi,
dan tradisi sehingga cenderung bersifat statis, lamban tradisional. Kebudayaan
ekspresif ini kaya rohani tetapi terbelakang teknologi dan materi. Adapun zaman
Indonesia (setelah tahun 1926) STA mulai berpikir mengapa bangsa Barat dapat
maju dan berhasil? Menurut STA, hal itu disebabkan oleh adanya kebudayaan yang
progresif/dinamis yang ditandai sifat-sifat individualistis, materialistis, dan
intelektualistis, yang disebut juga kebudayaan modern.
Berdasarkan pemikiran itu, STA menganalogikan bahwa
bangsa Indonesia harus berani mengambil unsur-unsur kebudayaan Barat jika ingin
maju. Pemikiran itu oleh STA disebut dengan membentuk Kebudayaan Baru, yaitu
memajukan kebudayaan ekspresif dan kebudayaan progresif.
b. Sanusi Pane
Yang dimaksud kebudayaan Baru
oleh Sanusi Pane adalah perpaduan kebudayaan Barat dan Timur, yaitu
mempertemukan Faust (seorang tokoh mitologi sastra Barat yang rela berkorban
demi materi) dan Arjuna (seorang tokoh yang rela berkorban demi kebaikan ).
Unsur-unsur kebudayaan Barat yang dilambangkan Faust ini memiliki unsur
individualistis, materialistis, dan intelektual. Adapun unsur-unsur budaya Timur
yang dilambangkan dengan Arjuna adalah rela mengorbankan diri sendiri untuk
keluhuran budi, perasaan, kolektivitas, dan spiritualisme.
c. Armyn Pane
Menurut Armyn Pane, sifat dinamis
itu bukan hanya milik bangsa Barat saja, tetapi dapat dimiliki oleh setiap
bangsa. Setiap bangsa mempunyai garis pertumbuhan kebudayaan masing-masing dan
memiliki unsur-unsur kebudayaan sendiri yang belum tentu dapat diambil oleh
bangsa lain. Sehingga Armyn Pane lebih cenderung mempertahankan kebudayan
sendiri . Kita hanya dapat mengambil unsur kebudayaan bangsa lain yang sesuai
dengan garis pertumbuhan kebudayaan sendiri, baik dari Barat, dari Timur,
maupun dari mana saja.
Pertentangan
antara yang pro Barat dan yang pro Timur ini terus berkembang dan meluas di
lingkungan Pujangga Baru. Polemik itu kemudian oleh Achdiat Kartamihardja pada
tahun 1948 dikumpulkan dan dibukukan menjadi sebuah buku yang diberi judul
”Polemik Kebudayaan”.
PAHAM SENI ATAU ASAS SENI PUJANGGA BARU
Paham
seni atau sering disebut sebagai asas seni. Paham seni yang terkenal adalah
seni bertendens dan seni untuk seni. Asas Seni Bertendens adalah suatu paham yang
berpendapat bahwa penciptaan seni harus mempunyai tujuan tertentu. Keindahan
merupakan alat semata supaya isi seni lebih menarik dan mudah dimengerti. Asas
ini lebih megutamakan isi dan kegunaan daripada bentuk. Sedangkan Asas Seni
untuk Seni adalah suatu paham yang berpendapat bahwa setiap penciptaan seni
bertujuan untuk keindahan. Asas ini lebih mengutamakan bentuk daripada isi.
Keindahan merupakan tujuan dalam
penciptaan seni. Dalam mengungkapkan
asas seni ini, para pengarang Pujangga Baru mempunyai pendapat yang berbeda-beda.
Pendapat- pendapat mereka dapat dilihat pada uraian berikut ini:
1. Sutan Takdir Alisyahbana
Pedoman yang digunakan oleh STA adalah seni
bertendens. Hal ini didasarkan pada realita yang pada masa itu Indonesia masih
dalam perjuangan untuk membentuk kebudayaan baru maka setiap seniman harus
terlibat dalam perjuangan itu. Menurut STA, perjuangan bangsa lebih penting
nilainya daripada cita-cita seni yang hanya mengabdi keindahan. Keindahan dalam
seni hanya digunakan sebagai alat agar isi lebih menarik dan mudah dipahami
oleh pembaca. Oleh sebab itu, STA lebih suka menghasilkan seni-seni bertendens
dengan tujuan memberikan manfaat bagi masyarakat dan bangsanya. Lebih
mengutamakan isi dan kegunaan daripada bentuk.Contoh: Layar Terkembang.
2. Sanusi Pane
Pendapatnya
cenderung ke asas seni untuk seni. Ia menegaskan bahwa seni itu bersifat
otonom. Dalam menciptakan seni, seorang pujangga harus bersatu dengan alam dan
kemanusiaan. Seniman tidak mempedulikan moral dan kegunaan hasil ciptanya
karena ia merasa menyatu dengan alam dan kemanusiaan. Sanusi Pane dipengaruhi oleh faham filsafat unio mistika, yakni filsafat yang menghendaki
adanya kemanunggalan yang mesra antara manusia dengan seluruh alam semesta ini.
Pada mulanya Sanusi Pane mementingkan masalah keindahan bentuk, tetapi pada
perkembangannya ia mengutamakan kesesuaian/keserasian antara bentuk dan isi.
Contoh: Sajak Puspa Mega dan drama Manusia Baru.
3. Armyn Pane
Dalam
menciptakan seni, ia tidak semata-mata mengabdi pada keindahan, tetapi
keindahan itu sendiri yang harus bermanfaat bagi masyarakat. Selaras dengan
pernyataannya tersebut, ia menganut asas seni bertendens yang lebih
mengutamakan isi daripada bentuk. Bentuk hanya sebagai penolong untuk
menyatakan dan menarik perhatian pada isinya, karena isi itu tidak akan
berharga apabila rupa atau bentuk tidak sepadan. Pendapat Armyn Pane ini lebih
dekat dengan pendapat STA. Contohnya: Roman Belenggu.
4. J.E Tetangkeng
Y.E
Tetangkeng lebih condong pada asas seni untuk seni. Seni harus tinggal seni
karena dalam menciptakan seni itu lahir dan tumbuh dalam masyarakat dan alam.
Pendapat ini lebih dekat dengan Sanusi Pane yang lebih mengutamakan bentuk
daripada isi. Contoh: Buah Rindu
(kumpulan puisi).
Uraian di
atas merupakan penjabaran dari aliran kebudayaan dan paham seni dalam Angkatan
Pujangga Baru. Pujangga Baru pada perkembangannya dipengaruhi oleh sastra
angkatan ’80 (De Tachtiger Beweging) yang berada di Belanda. Penamaan
angkatan/gerakan ’80 disebabkan karena angkatan tersebut munculnya pada tahun
1880. Angkatan ’80 merupakan suatu
gerakan yang berkembang di Belanda pada tahun 1880 yang hendak mengadakan
pembaharuan di bidang kebudayaan. Gerakan ini ingin mengubah berlakunya
kebudayaan yang dipelopori oleh pendeta.
Dalam penciptaan seni, pikiran harus berkembang bukan hanya fisiknya saja.
Gerakan ini dimotori oleh W. Kloos, Herman Gorter, Lodewijk van Deysel, Albert
Verwey, dan F. Van Eiden. Mereka mendobrak pemikiran pendeta yang dianggap
lamban. Angkatan ’80 ini memunculkan majalah yang diberi nama De Nieuwe Gids yang artinya Pandu Baru
dan terbit pada tahun 1885. Sebelumnya
sudah terbit majalah dengan nama De
Gids yang artinya Pandu. De Gids dipandang sebagai jembatan antara sastra
pendeta (sastra domine) dengan sastra angkatan ’80. Gerakan ’80 bertentangan
dengan sastra pendeta yang pada waktu itu dinilai lamban/statis. Tokoh-tokoh
angkatn ’80 mencari ilmu untuk mengembangkan karyanya dan mereka mendapat
pengaruh dari Inggris dan Perancis. Hasil karya berupa prosa mendapat pengaruh
dri Perancis, yaitu aliran Naturalisme, sedangkan puisinya mendapat pengaruh
dari Inggris, yaitu aliran Romantik-Inggris. Begitu pula dengan angkatan
Pujangga Baru yang mendapat pengaruh dari angkatan ’80. Dalam perkembangannya angkatan ’80 terjadi
perpecahan antara golongan W. Kloos dengan golongan A. Verwey. Golongan Albert
Verwey menganggap seni harus sesuai dengan tujuan kehidupan, tidak memisahkan
diri dari masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Van Eiden bahwa seorang
penyair yang tidak berbicara kepada orang banyak dia bukan apa-apa. Sedangkan
golongan W. Kloos menganggap seni merupakan ungkapan yang paling individual.
Dalam penciptaan seni harus bersifat individual, objektif, dan asosial.
Dari uraian
di atas, maka tampak persamaan dan perbedaan angkatan ’80 dan angkatan Pujangga
Baru. Persamaan angkatan Pujangga Baru dengan angkatan ’80: (1) sama-sama ingin
mencari bentuk pengucapan yang baru dalam karya sastra dan menentang angkatan
sebelumnya. Pujangga Baru ingin menentang sastra Balai Pustaka yang dinilai
statis dan terikat oleh Nota Rinkes, sedangkan angkatan ’80 ingin menentang
keberadaan sastra pendeta yang dianggap statis. (2) Kedua angkatan tersebut
sama-sama mendapat pengaruh,yaitu angkatan ’80 dipengaruhi oleh Naturalis
Perancis dan Romantik Inggris, sedangkan angkatan Pujangga Baru dipengaruhi oleh
angkatan ’80. Perbedaan keduanya, yakni: (1) angkatan Pujangga Baru bertujuan
lebih menekankan pada persoalan kemasyarakatan dan mengutamakan unsur tujuan
sosial yang jelas. Sedangkan angkatan’80 bertujuan pada seni itu sendiri, dan
mengutamakan estetis murni. (2) angkatan
Pujangga Baru mempunyai keinginan bahwa seni harus diabdikan pada masyarakat
dan mengubah sastra yang bersifat statis menjadi dinamis, sedangkan angkatan
’80 bersifat individualisme dan naturalisme.
B. KARAKTERISTIK
Karya sastra Pujangga Baru
mempunyai karakteristik sebagai berikut;
- Semangat
nasionalisme sudah mulai menggelora. Dalam karya sastra sudah mulai
mengangkat unsur nasionalisme. Contohnya: karya Asmara Hadi yang berjudul Penyair Api.
- Tema
yang diangkat lebih beragam daripada angkatan Balai Pustaka. Contohnya: Layar Terkembang karya Sutan Takdir
Alisyahbana yang mengangkat tema persoalan emansipasi wanita. Belenggu karya Armyn Pane yang
mengangkat tema tentang persoalan suami istri.
- Bentuk
karya sastranya sudah lebih luas karena merasa sudah tidak terikat oleh
adanya Nota Rinkes dan pengarang bebas mengungkapkan ide atau gagasannya.
Karya sastra yang muncul diantaranya: esai, kritik sastra, roman, cerpen,
drama, dan puisi. Muncul puisi Soneta yang berasal dari Italia, yang dipelopori
oleh Muh. Yamin.
4. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
- Prosa /
puisinya bersifat romantik. Contohnya: Madah
Kelana, Puspa Mega, Nyanyi Sunyi
(ketiga karya ini berbentuk puisi) dan drama yang berorientasi pada masa
silam, seperti cerita Ken Arok dan
Ken Dedes, Erlangga, dan Singosari.
- Pengarang
berasal dari daerah yang berbeda, misalnya; I Gusti Nyoman Putu Tisna
(Bali), Marius Ramis Dayoh (Sangihe), dll. Pengarang berasal dari
kepercayaan yang berlainan. Misalnya, Amir Hamzah (Islam), J.E Tetangkeng
(Kristen), dll.
- Angkatan Pujangga Baru dipengaruhi oleh angkatan
’80 karena pada waktu itu Indonesia dijajah oleh Belanda.
C.
PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Dian Tak Kunjung Padam (1932)
Tebaran Mega - kumpulan sajak (1935)
Layar Terkembang (1936)
Belenggu (1940)
Jiwa Berjiwa (1939)
Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960)
Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)
Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)
Pancaran Cinta (1926)
Puspa Mega (1927)
Madah Kelana (1931)
Amir Hamzah
Nyanyi sunyi (kumpulan puisi 1937)
Setanggi Timur (1939)
Buah Rindu ( Kumpulan puisi 1941)
Kertajaya (1932)
Nyanyi Sunyi (1937)
Begawat Gita (1933)
Setanggi Timur (1939)
Kalau Tak Untung (1933)
Pengaruh Keadaan (1937)
Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935)
Sukreni Gadis Bali (1936)
I Swasta Setahun di Bedahulu (1938)
Rindoe Dendam (1934)
Kehilangan Mestika (1935)
Karena Kerendahan Boedi (1941)
Palawija (1944)
Hamidah
Kehilangan Mustika (1935)
Suman Hasibuan
Percobaan Setia (1931)
Mencari Pencuri Anak Perawan (1932)
Kasih tersesat (1932)
Tebusan Darah (1939)
M.R. Dayoh
Pahlawan Minahasa (1935)
Syair untuk ASIB (1935
SASTRA DI LUAR PUJANGGA BARU
a.
Roman Picisan
Sastra di luar Pujangga Baru
ini umumnya berupa cerita seri, cerita-cerita roman yang diterbitkan di
kota-kota besar, seperti Semarang, Padang, Solo, dan Surabaya. Penerbitan
yang paling banyak ada di kota Medan, sehingga
sering disebut sebagai sastra Medan. Seri cerita roman ini banyak yang
menyebutnya sebagai roman picisan dan menganggap rendah. Jika dilihat dari
pengertiannya, roman picisan adalah jenis bacaan dalam bentuk buku-buku kecil
yang berisi cerita roman yang dipandang dari sudut sastra mempunyai nilai
rendah. Selama ini memang ada anggapan bahwa seri cerita roman picisan itu
rendah, tetapi kenyataannya tidak semua
roman picisan itu bernilai rendah karena tidak semua pengarang menulis cerita
yang tidak bernilai. Diantaranya ada Matu Mona yang menulis cerita roman
picisan yang bernilai sastra dengan judul Panggilan
Tanah Air.
Penerbitan roman berbentuk buku-buku kecil yang
berjilid-jilid dengan judul yang bermacam-macam, antara lain: Seri Roman di
Padang, Dunia Pengalaman, Lukisan Pujangga di Medan, Seri Suasana Baru, Seri
Kejora, Seri Cerita Roman Indonesia di Padang. Roman picisan ini mengandung
kelemahan dari sudut penceritaan dan hanya terbit di kota-kota besar sehingga
yang dapat menikmati hanya masyarakat di kota.
Dr. R. Roolvink menulis tentang Roman Picisan Bahasa
Indonesia yang dimuat dalam lampiran Pokok dan Tokoh Kesusastraan Indonesia
Baru karangan Prof. Dr. A. Teeuw adalah sebagai berikut:
(1) Penerbitan roman picisan
umumnya bersifat perdagangan sehingga isi dan sifat cerita lebih diarahkan pada
selera pembaca.
(2) Lukisan watak tokohnya kurang
mendalam dan tidak cocok dengan kenyataan hidup. Seakan-akan hanya menampilkan
dua sifat tokoh, yaitu baik dan buruk saja.
(3) Isi cerita berupa pertentangan
antara budaya modern dan budaya lama.
(4) Dalam cerita sering disisipkan
reklame atau propaganda suatu badan usaha.
(5) Komposisi cerita kurang
terpelihara.
Para pengarang sastra di luar Pujangga Baru mempunyai
visi dan misi yang berbeda dengan pengarang di luar Balai Pustaka. Telah
diuraikan sebelumnya mengenai sastra di luar Balai Pustaka dan para
pengarangnya yang mempunyai tujuan untuk mendobrak aturan Belanda yang tidak
boleh memasukkan politik dalam karya-karyanya serta ingin menentang adanya Nota
Rinkes yang dianggap membatasi ide atau gagasan para pengarang. Sedangkan para
pengarang sastra di luar Pujangga Baru ingin memperdagangkan karya-karyanya
melalui cerita roman berseri.
Beberapa pengarang yang sebagian karyanya termasuk roman
picisan, yaitu:
1.Matu Mona (nama sebenarnya
Hasbullah Parinduri), hasil karyanya:
-
Harta yang Terpendam
-
Spionagendiest
-
Rol Pacar Merah Indonesia
-
Panggilan Tanah Air
-
Ja Umenek Jadi-Jadian
-
Zaman Gemilang ( merupakan karya Matu Mona yang terbaik yang sebenarnya
kurang tepat jika disebut roman picisan).
2.A. Damhuri, hasil karyanya:
-
Mayapada
-
Bergelimang dosa
-
Depok Anak Pagai
-
Mencari Jodoh
-
Terompah Usang yang Tak Sudah Dijahit
3.Yusuf Sou’yb, hasil karyanya:
-
Elang Emas ( terdiri atas beberapa jilid)
4.Imam Supardi, hasil karyanya:
-
Kintamani
b.
Hamka ( Haji Abdul Malik Karim
Amrullah)
Dalam
sastra di luar Pujangga Baru selain ada karya-karya yang bersifat komersial dan
diterbitkan dengan cerita berseri ada pula karya-karya yang bernilai tinggi dari segi sastranya dan tidak
diterbitkan berseri, yaitu karya-karya Hamka. Hamka tidak digolongkan ke dalam
salah satu angkatan manapun karena: (1) karya-karyanya memiliki corak dan gaya
tersendiri, yaitu bersifat religius (Islam), filosofis, didaktis, dan
mengharukan (sehingga ada yang menyebutnya sebagai ”Pujangga Air Mata”), (2) isi ceritanya
memperlihatkan ruang lingkup yang luas dan moden, walau gaya bahasanya masih
memperlihatkan gaya lama.
Hamka lahir di Sungai Batang, Muninjau, 16 Februari 1908,
putra seorang ulama besar yang bernama Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Ia sering menggunakan nama
samaran: A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki. Adapun karya-karyanya:
-
Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
-
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939)
-
Laila Majnun (1933)
-
Di dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen)
-
Ayahku (biografi)
-
Kenang-Kenangan Hidup ( autobigrafi)
-
Merantau ke Deli (kisah perjalanan)
-
Mandi Cahaya ke Tanah Suci (kisah perjalanan), dsb.
Pada tahun 1962, roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
dihebohkan oleh masyarakat, terutama oleh Lekra sebagai karya plagiat
(jiplakan) dari novel dalam bahasa Perancis yang berjudul Sous Les Tilleuls ( Di Bawah Naungan Pohon Tila) karya Alphonse
Karr(1808-1890). Novel A. Karr tersebut sebenarnya pernah disadur dalam bahasa
Arab oleh Mustafa Luttfi al-Manfaluthi (1876-1924) dengan judul Majdulin. Al-Manfaluthi adalah seorang
pujangga Mesir yang sangat dikagumi oleh Hamka. Karena muncul heboh tersebut, Majdulin kemudian oleh A.S. Alatas
ditejemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Magdalena (1963). Akhirnya, H.B. Jassin sebagai kritikus sastra
yang terkenal menegaskan bahwa roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah
hasil jiplakan karena di dalamnya ada pemikiran, penghayatan, dan pengalaman
Hamka sendiri. Adanya pengaruh bukan berarti plagiat.
Tag :
Makalah,