Popular Post

Archive for April 2014

SEKILAS TENTANG SEJARAH SASTRA

By : alifinunk
 SEJARAH SASTRA

Dosen Pengampu :
Mega Aprita Sari, S.Pd., M.Pd.


 













AINUR RAHMAN
(2012610037)



PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MADURA PAMEKASAN
2013

PENDAHULUAN

A.      Cabang-Cabang Ilmu Sastra dan Hubungan Timbal Baliknya
            Ilmu sastra memiliki tiga cabang ilmu, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Teori sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari dasar-dasar pengertian tentang hal-hal yang berhubungan dengan sastra, misalnya hakikat sastra, genre sastra, aliran-aliran dan lain-lain. Sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan  sastra sejak lahir (awal) hingga sekarang. Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang memberikan penilaian terhadap  kualitas/mutu sebuah karya sastra.
            Ketiga cabang ilmu sastra tersebut mempunyai hubungan yang erat sekali dan saling melengkapi.
1. Hubungan Sejarah Sastra dan Teori Sastra
            Penyelidikan tentang sejarah sastra banyak memerlukan bahan-bahan pengetahuan tentang teori sastra. Pembicaraan mengenai suatu angkatan tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang tema, gaya bahasa, aliran, genre sastra, dsb.
            Sebaliknya, teori sastra pun membutuhkan bahan-bahan dari hasil penyelidikan sejarah sastra. Pembicaraan tentang gaya bahasa atau suatu aliran tidak akan dilepaskan dari perkembangan  sastra secara keseluruhan. Suatu pengertian dalam teori sastra dimungkinkan mengalami perubahan dan  perkembangan sesuai dengan data yang diperoleh dari sejarah sastra.
2. Hubungan Sejarah Sastra dan Kritik Sastra
            Penyelidikan sejarah sastra memerlukan bantuan juga dari kritik sastra karena tidak semua karya sastra yang pernah terbit dijadikan  bahan penyelidikan sejarah sastra, tetapi terbatas pada sejumlah karya sastra tertentu.
            Untuk memilih dan menentukan karya sastra yang menjadi objek penyelidikan sejarah sastra itu diperlukan bahan-bahan dari kritik sastra karena tugas kritik sastralah yang  menentukan nilai suatu karya sastra. Sebaliknya, kritik sastra pun membutuhkan bahan-bahan dari sejarah sastra, terutama di dalam usaha menentukan asli tidaknya suatu karya sastra atau ada tidaknya pengaruh dari sastra lain.
3. Hubungan Kritik Sastra dan Teori Sastra
            Usaha kritik sastra tidak akan berhasil tanpa dilandasi oleh dasar-dasar pengetahuan tentang teori sastra. Misalnya, jika kita hendak mengadakan telaah/kritik terhadap sebuah novel, maka kita harus memiliki pengetahuan tentang apa yang disebut novel, unsur-unsur pembentuk novel, dsb. Jadi, teori sastra merupakan sebagian modal bagi  pelaksanaan kritik sastra.
            Sebaliknya, teori sastra pun memerlukan bahan-bahan dari kritik sastra, bahkan sebenarnya kritik sastra merupakan pangkal teori sastra. Teori tanpa data merupakan teori yang kosong.

B.       Masa Permulaan Sastra Indonesia Modern
            Sastra (kesusastraan) suatu bangsa dari waktu kewaktu selalu mengalami perkembangan, begitu juga dengan kesusastraan Indonesia. Dengan demikian, sejarah sastra  itu tidak lain dari rangkaian atau jajaran periode-periode sastra. Pengertian periode di sini ialah yang seperti dikemukakan oleh Wellek (dalam Pradopo, 2005:2) yaitu sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh sesuatu sistem norma-norma sastra, standar-standar, dan konvensi-konvensi sastra yang kemunculannya, penyebarannya, keberagaman, integrasi, dan kelenyapannya dapat dirunut. Periode-periode sastra ini erat hubungannya dengan angkatan-angkatan sastra yang menempati periode-periode tersebut. Itulah sebabnya mengapa masalah angkatan tidak dapat  dihindari dalam penulisan sejarah sastra Indonesia, atau penulisan sejarah sastra tidak lepas  dari pembicaraan masalah angkatan dan periodisasi.
            Pengertian sastra Indonesia, tentulah menunjuk pada pengertian sastra Indonesia modern atau sastra Indonesia baru. Istilah modern atau baru ini sesungguhnya merupakan penegasan saja, sebab sesungguhnya, sepertiyang dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto (dalam Pradopo, 2005:6) bahwa sastra Indonesia itu lain dari sastra Melayu yang merupakan sastra daerah, yang biasa disebut sastra Indonesia lama. Dengan demikian, penulisan sejarah sastra Indonesia dimulai dengan lahirnya, latar belakang lahirnya, dan sebab-sebab lahirnya kesusastraan Indonesia tersebut.
            Mengenai kapan lahirnya sastra Indonesia modern tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti, para ahli hanya mengatakan sebatas kira-kira. Oleh karena itu, dalam menentukan masa permulaan (lahirnya) sastra Indonesia modern memunculkan beberapa pendapat/versi, di antaranya:
1.    Versi Bahasa
Ø  Tokoh : Umar Junus
Umar Junus  berpendapat lahirnya sastra Indonesia modern  mulai berkembang pada sekitar 28 oktober 1928, yaitu bersamaan dengan lahirnya Sumpah Pemuda. Beliau berpendapat bahwa sastra erat sekali dengan bahasa, tidak ada bahasa maka sastrapun tidak akan ada juga. Oleh karena itu, penamaan suatu hasil sastra harus terutama berdasarkan media bahasa yang  digunakan. Suatu hasil sastra disebut sastra X karena bahasa yang digunakan adalah bahasa X. Menurut pemikiran Junus, perkembangan sastra Indonesia dimulai sejak adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
2.    Versi Bangsa
Ø  Tokoh: Nugroho Notosusanto
Nugroho Notosusanto berpendapat bahwa berbicara  tentang sastra Indonesia, bukan berarti berbicara  tentang bahasa Indonesia, melainkan tentang sastra Nasional Indonesia. Dengan demikian, prinsip sastra Indonesia adalah prinsip kebangsaan. Kita sudah menetapkan tanggal 20 Mei 1908 sebagai hari Kebangkitan Nasional, sebagai tonggak bangkitnya kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia. Hal itu berarti  bahwa setiap kegiatan bangsa Indonesia sejak saat itu sudah didorong oleh aspirasi nasional. Sastra Indonesia sebagai bagian kebudayaan bangsa Indonesia, seharusnya sudah pula  memancarkan unsur kebangsaan itu. Dengan demikian, sastra Indonesia modern sebagai sastra Nasional Indonesia sudah berkembang sejak permulaan abad ke-20 (tahun 1908).  Suatu hasil sastra disebut sastra X karena dihasilkan oleh bangsa X.
3.    Versi Politik/Pemerintah
Ø  Tokoh: Slamet  Muljana
Slamet Muljana berpendapat bahwa sastra Indonesia modern dimulai pada tahun 1945. pengertian tentang sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari Indonesia sebagai nama suatu negara. Negara Republik Indonesia baru ada sejak diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945 dan baru pada tahun itu pulalah bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara.
4.    Versi terakhir menyatakan bahwa sastra Indonesia moder mulai berkembang sekitar tahun 1920-an. Tokoh-tokohnya: Ajip Rosidi, H.B. Jassin, A. Teeuw, dan Fachruddin A. Enre. Mereka berpendapat demikian dengan dua pertimbangan alasan, yakni:
a.    Media bahasa yang digunakan.
Meskipun bahasa Indonesia secara formal  diakui sebagai bahasa persatuan pada tahun 1928, namun realitasnya bahasa Indonesia sudah berkembang pada tahun-tahun sebelumnya. Bahasa Indonesia sudah ada sekitar tahun 1920-an.
b.    Corak isi yang terdapat di dalam karya sastra.
Corak isi karya –karya sastra pada sekitar tahun 1920-an sudah mencerminkan sikap watak bangsa Indonesia, artinya sudah mengandung unsur kebangsaan, misalnya: Tanah Air (1922) karya Muh. Yamin.
            Dalam beberapa buku kesusastraan, kita mengenal pembabakan/periodisasi sastra Indonesia yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu terjadi karena masing-masing ahli/tokoh sastra mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam menentukan kapan mulai berkembang (lahirnya) sastra Indonesia.

C.      Periodisasi Sastra Indonesia
            Periodisassi sastra Indonesia adalah pembabakan (pembagian ke dalam beberapa babak) sejarah sastra Indonesia. Penyusunan periodisasi sastra Indonesia didasari oleh beberapa hal, diantaranya:
  1. Bahasa yang digunakan
  2. Bentuk sastra yang muncul dalam kurun waktu tertentu.
  3. Tema yang digunakan dalam karya sastra yang ada pada kurun waktu tertentu.
  4. Pengarang yang menulis karya sastra, menyangkut bentuk, karakter, atau berdasarkan karakter umum pengarang yang muncul.
  5. Keadaan masyarakat pada kurun waktu tertentu.
Penyusunan periodisasi sastra memunculkan nama angkatan. Angkatan adalah sekelompok sastrawan yang mempunyai konsepsi/ ide, gagasanyang sama yang ingin diperjuangkan bersama. Namun, tidak semua periode memunculkan nama angkatan.
Adapun beberapa periodisasi yang pernah dikemukakan oleh beberapa tokoh sastrawan, diantaranya:
1.Periodisasi Bujung Saleh
2. Periodisasi H.B. Jassin
  1. Sebelum tahun 1920-an
  2. Antara tahun 1920-an hingga tahun 1933
  3. Tahun  1933 hingga Mei 1942
  4. Mei 1942 hingga sekarang
I. Sastra Melayu Lama
II.Sastra Indonesia Modern
1.      Angkatan 20
2.      Angkatan 33 atau Pujangga Baru
3.      Angkatan 45 mulai sejak 1942
4.      Angkatan 66 mulai kira-kira tahun 1955
3. Periodisasi Nugroho Notosusanto
4. Periodisasi Ajip Rosidi
I.                   Sastra Melayu Lama
II.                Sastra Indonesia Modern
A.    Masa Kebangkitan
1. Periode ’20
2. Periode ’33
3. Periode ’42
B.     Masa Perkembangan
1. Periode ’45
2. Periode ’50
I. Sastra Nusantara Klasik (sastra dari berbagai bahasa daerah di Nusantara)
II. Sastra Indonesia Modern
A.    Masa Kelahiran (Masa Kebangkitan)
1.      Periode awal-1933
2.      Periode 1933-1942
3.      Periode 1942-1945
B.     Masa Perkembangam
1.      Periode 1945-1953
2.      Periode 1953-1961
3.      Periode 1961-sekarang

          Dari beberapa versi periodisasi sastra Indonesia di atas, dapat disusun periodisasi sastra Indonesia modern sebagai berikut:
  1. Sastra Periode 1920-an
  2. Sastra Periode 1930-an
  3. Sastra Periode 1942
  4. Sastra Periode 1945
  5. Sastra Periode 1950-an
  6. Sastra Periode 1960-an
  7. Sastra Periode 1970-an
  8. Sastra Periode 1980-an
  9. Sastra Periode 1990-an
  10. Sastra Periode 2000-an
SASTRA PERIODE 1920-AN
A.      LATAR BELAKANG
Pada  tahun 1884, pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dari Ratu Belanda untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun untuk keperluan sekolah-sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak orang-orang bumiputera, terutama para priyayi yang akan dijadikan pegawai setempat. Pegawai-pegawai setempat itu diperlukan oleh pemerintah Belanda untuk kepentingan eksploitasi kolonialnya, karena biaya-biaya untuk membayar para pegawai setempat jauh lebih murah daripada mendatangkan tenaga-tenaga dari negeri Belanda Jadi, ada dua tujuan pemerintah Belanda membuka sekolah untuk bumiputera, yaitu (1) mendidik pegawai-pegawai rendah yang dibutuhkan oleh pemerintah Belanda, dan (2) agar politik pengajaran tetap dikuasai oleh Belanda.
Akan tetapi, dengan didirikannya sekolah-sekolah itu, meningkatlah pendidikan dan timbul kegemaran membaca, dan melalui bacaan-bacaan dalam bahasa Belanda, bangsa Indonesia pun mulai mengerti akan kedudukan dirinya sebagai bangsa yang dijajah. Beberapa orang berbakat yang menyadari hal ini mulai menulis rupa-rupa karangan, baik yang berbentuk cerita yang sifatnya memberi penerangan kepada rakyat. Surat kabar-surat kabar mulai dicetak bukan saja dalam bahasa Belanda melainkan juga dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah. Surat kadar surat kabar dalam bahasa Melayu terbit tidak hanya di Jakarta saja, melainkan juga tersebar di berbagai kota lain. Misalnya, pada abad ke-19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (mulai 1862), di Padang terbit Pelita Ketjil (mulai tahun 1882), dan di Jakarta sendiri terbit Bianglala (mulai tahun 1867), dll.
Sejalan dengan Politik Etis yang dilaksanakan oleh Belanda yang ketika itu menjadi kebijakan umum dalam menghadapi tanah jajahannya, maka sampailah pada pikiran untuk membendung bangkitnya kesadaran nasional dengan memberikan semacam bimbingan dalam hal bacaan rakyat. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda ternyata semakin luas sehingga banyak bangsa Indonesia yang pandai membaca dan menulis. Pemerintah Belanda khawatir terhadap kegemaran membaca di kalangan rakyat pada waktu itu. Maka pada tanggal 14 September 1908, Belanda mendiririkan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang dipimpin oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Komisi ini makin lama makin luas dan bertambah kegiatannya, sehingga pada tahun 1917 diubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) yang diberi nama Balai Pustaka.
Tujuan mula-mula didirikannya Komisi Bacaan Rakyat ialah untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada kepala pengajaran dalam hal memilih karangan-karangan yang baik untuk dipakai di sekolah bumiputera dan buku-buku yang akan dijadikan bacaan rakyat. Karangan yang baik di sini tentulah yang baik bagi pemerintah Belanda, yaitu isinya tidak mennyebabkan bangkitnya semangat rakyat, tidak membangkitkan kesadaran nasional sebagai bangsa yang dijajah.
Adapun tugas Komisi Bacaan rakyat Rakyat ialah:
1)      Membendung karangan-karangan cabul/liar (bersifat politik) yang diedarkan pihak partikulir atau penerbit swasta.
2)      Mencegah adanya bacaan yang membahayakan kedudukan pemerintah Belanda
3)      Menjual buku-buku bacaan tersebut dengan harga yang semurah-murahnya supaya usaha partikulir itu bangkrut.
4)      Menerbitkan buku bacaan yang bermanfaat bagi rakyat dan kepentingan pemerintah Belanda di Indonesia.
Pada tanggal 22 september 1917 Komisi Bacaan Rakyat diganti namanya menjadi Balai Pustaka (BP) sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan usahanya. Balai Pustaka berada di bawah kepemimpinan Dr. D.A. Rinkes, Dr. K.A. Hidding, dan  Dr. G.J.W. Drewes. Sedangkan tokoh-tokoh sastrawan Indonesia yang menjadi pegawai Balai Pustaka antara lain: S.T. Alisyahbana, Adinegoro, Nur Sutan Iskandar, H.B. Jassin, Idrus, W.J.S. Purwadarminta, Armyn Pane.
Adapun tugas-tugas Balai Pustaka adalah:
1)      Mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita rakyat asli dan  dongeng-dongeng yang tersebar di masyarakat untuk dijadikan bacaan rakyat.
2)      Menerjemahkan sastra Eropa yang dipandang bermutu dari segi sastra, dengan demikian kita dapat berkenalan dengan sastra asing
3)      Menerbitkan buku-buku bacaan yang sehat bagi rakyat Indonesia (tentu saja ditinjau dari segi kepentingan penjajah), juga buku-buku yang dapat menambah ilmu pengetahuan dan kecerdasan rakyat.
Tujuan utama didirikannya Balai Pustaka adalah untuk memberi konsumsi bacaan kepada rakyat yang isinya cocok dengan garis politik pemerintah kolonial. Jadi, bukan untuk mendorong perkembangan sastra Indonesia. Oleh karena itu, karya-karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka harus memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Nota Rinkes yang dikeluarkan oleh Dr. D.A. Rinkes.  Adapun isi Nota Rinkes sebagai berikut:
1)      Karangan tidak boleh mengandung unsur politik.
2)      Karangan harus dapat memberikan pendidikan budi pekerti dan membawa kecerdasan.
3)      Karangan harus netral terhadap agama .
Karangan-karangan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut, pastilah tidak akan diterbitkan oleh Balai Pustaka, kecuali jika pengarang mau menerima pengubahan-pengubahan yang dilakukan oleh Dewan Redaksi Balai Pustaka. Sedangkan bila pengarang keberatan menerima pengubahan-pengubahan itu, pastilah karangan tersebut ditolaknya.

B.       KARAKTERISTIK
Adapun karakteristik yang muncul pada sastra periode 1920-antara lain:
1.      Dikeluarkannya Nota Rinkes yang akhirnya dapat membatasi ide dan gagasan para pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra.
2.      Muncul nama angkatan Balai Pustaka, yang mempunyai konsepsi/ide ingin mendirikan pendidikan budi pekerti dan mencerdaskan kehidupan bangsanya melalui bacaan.
3.      Isi karya sastranya:
a.   Bertemakan masalah kawin paksa.
b. Mengungkapkan masalah pertentangan adat antara golongan tua dan golongan muda. Golongan tua cenderung untuk lebih mempertahankan adat sedangkan golongan muda         menentang adat karena menurut mereka adat dapat membawa kemunduran.
c.  Tidak boleh melanggar ketentuan Balai Pustaka (Nota Rinkes)
4.   Bahasa yang digunakan dalam karya-karya sastranya adalah bahasa Melayu, Bahasa Indonesia, dan bahasa daerah.
5.      Jenis sastranya:
a.    Prosa yang umumnya berbentuk roman bertendens.
b.    Puisi yang masih memakai bentuk-bentuk puisi lama.
6.      Aliran sastranya: Romantisme sentimental

C.       PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Tokoh / pengarangnya yaitu:
Siti Nurbaya (1922)
La Hami (1924)
Salah Pilih (1928)
Karena Mentua (1932)
Cinta Tanah Air
Pengalaman Masa Kecil (kumpulan cerita)
Tak Disangka (1923)
Darah Muda (1927)
Asmara Jaya (1928)
Melawat ke Barat (1928)
Falsafat Ratu Dunia
Revolusi dan Kebudayaan (esai)
Pertemuan (1927)
Dengan Melarat (1926)
Salah Asuhan (1928)
Surapati
Robert Anak Surapati
Menebus Dosa (1932)

SASTRA DI LUAR BALAI PUSTAKA
            Sastra pada tahun 1920-an tidak terbatas pada kegiatan dan usaha Balai Pustaka saja. Pada periode yang sama, muncul sastra di luar Balai Pustaka. Periode sastra di luar Balai Pustaka sama dengan periode sastra Angkatan Balai Pustaka, yaitu antara tahun 1920-an sampai dengan tahun 1930-an, namun kriteria-kriteria yang ada pada sastra di luar Balai Pustaka berbeda dengan angkatan Balai Pustaka. Hal itu terjadi sebagai wujud penentangan terhadap keberadaan Nota Rinkes yang dianggap membatasi ide pengarang.  Berdasarkan hal di atas banyak pengaruh yang terjadi dimana banyak pengarang yang tidak memasukkan karyanya ke dalam Balai Pustaka. Di samping untuk tetap mempertahankan kandungan politik, mereka juga ingin mempertahankan keutuhan naskah.
            Sastra di luar Balai Pustaka dibedakan  menjadi dua, yaitu:
1.    Sastra yang bersifat politik.
            Maksudnya, karya-karya sastra yang dihasilkan isinya bertujuan untuk menghasut rakyat dan ingin memberontak melawan penjajah. Karena sifat dan isi karangannya yang seperti itu, maka karangan-karangan yang dihasilkan disebut dengan ”karangan liar” dan pengarangnya pun disebut ” pengarang liar”. Adapun semboyan yang dimiliki adalah ”Politik adalah Panglima” yang berarti bahwa segala sesuatu itu berdasarkan politik dan ditujukan kepada politik, dan hal ini juga berlaku pada hasil-hasil karya sastranya.
Karakteristik sastra yang memiliki tujuan politik, antara lain:
a.       Sastra digunakan sebagai media perantara untuk menyampaikan tujuan politiknya
b.      Berisikan tentang kritik terhadap feodalisme dan kolonialisme
c.       Bahasa yang dipergunakan sangat kacau, baik ejaan dan tata bahasanya
Tokoh-tokohnya:
a.       Mas Marco Kartodikromo, karyanya:
    (1) Mata Gelap (1914)
    (2) Syair Rempah-Rempah (1919)
    (3) Student Hidjo (1919)
    (4) Rasa Merdeka (1924)
b.      Semaun, karyanya:
                (1) Hikayat Kadirun (1924)
2.    Sastra yang bersifat sastra.
            Maksudnya, karya-karya sastra yang dihasilkan isinya sesuai dan mematuhi kaidah sastra. Adapula yang menyebutnya dengan sastra pra Pujangga Baru, karena para pengurusnya nanti aktif dalam Pujangga Baru dan karakteristik karya-karya sastranya mendekati karaktertistik karya sastra angkatan Pujangga Baru.
Karakteristik sastra yang bersifat sastra, antara lain:
a.       Memiliki unsur-unsur nasionalisme
b.      Banyak mengeluarkan puisi-puisi modern dimana sudah terdapat pemisahan dari karya sastra masa silam, yaitu telah meninggalkan tradisi pantun dan syair. Hal tersebut banyak terdapat dalam puisi-puisi Muh.Yamin.
c.       Adapula yang mempertahankan bentuk tradisi pantun dan syair. Hal itu masih terlihat dalam puisi-puisi Rustam Efendi.
     Tokoh-tokohnya:
a)      Moh. Yamin
Beliau adalah tokoh yang mengadakan pembaharuan sastra, khususnya di bidang puisi yang berbentuk Soneta, dan sekaligus sebagai perintis berdirinya satra Pujangga Baru. Adapun karya-karyanya:
(1)     Tanah Air (kumpulan puisi)
(2)     Indonesia Tumpah Darahku (puisi)
(3)     Ken Arok dan Ken Dedes (drama)
(4)     Gajah Mada (roman sejarah)
(5)     Tan Malaka (biografi)
(6)     Menantikan Surat dari Raja (prosa terjemahan), dsb.
b)      Rustam Efendi, karya-karyanya:
(1)     Bebasari (drama bersajak)
(2)     Percikan Permenungan (kumpulan puisi)
(3)     Air Mata Seni (roman)
c)      Sanusi Pane, karya-karyanya:
(1)     Puspa Mega (kumpulan puisi)
(2)     Pancaran Cinta (prosa berirama)
(3)     Airlangga (drama)
(4)     Madah Kelana (kumpulan puisi)
(5)     Manusia Baru (drama)
SASTRA PERIODE 1930-AN
A.      LATAR BELAKANG
            Balai Pustaka mengadakan sensor terhadap karangan-karangan yang dicetak dan diedarkan menjadi bacaan masyarakat. Hal-hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan, yang berhubungan dengan penderitaan rakyat Indonesia atau hal-hal yang mungkin membahayakan politik kolonial pemerintah Belanda di Indonesia tidak boleh diterbitkan. Karena beberapa kekangan ketidakbebasan itu, maka berkumpullah pengarang-pengarang muda untuk memperbaharui sastra Indonesia, yaitu: Sutan takdir Alisyahbana, Sanusi Pane dan Armyn Pane. Mereka berusaha memperbaharui sastra dan kebudayan Indonesia menuju yang ’baru’. Mereka bersama-sama berusaha memajukan kebudayaan dan sastra Indonesia.
            Angkatan mereka disebut Angkatan Pujangga Baru atau angkatan 33 dan mempunyai Badan Penerbit sendiri pada tanggal 29 Juli 1933 dan majalahnya dinamakan ’Pujangga Baru’. Maka dari itu, tahun 1933 dijadikan tahun permulaan berdirinya ”Angkatan Pujangga Baru”. Angkatan Pujangga Baru lebih dapat memenuhi hasrat pujangga-pujangga, bebas dari sensor dan pengaruh-pengaruh luar yang mengikat.
Ada 3 semangat yang mendorong lahirnya sastra Pujangga Baru :
1.      Semangat persatuan dan kesadaran nasional yang hendak mempersatukan bangsa dan membentuk bahasa persatuan..
2.      Adanya keinginan untuk bebas dari segala ketentuan ikatan serta kekangan-kekangan dalam melahirkan perasaan, gagasan, dan kehendak menurut cetusan rasa dan kedinamisan jiwa masing-masing.
3.      Tujuan hendak mengadakan pembaharuan dan memajukan bahasa, sastra dan kebudayaan Indonesia.

Bersama dengan lahirnya Pujangga Baru ada dua pengertian nama Pujangga Baru, yaitu:
1.      Pujangga Baru sebagai nama majalah
a.       Terbitan pertama kali pada Juli 1933 – Maret 1942
Majalah Pujangga Baru sebelum perang bersifat homogen yaitu majalah Pujangga Baru merupakan pembawa semangat dan satu cita-cita. Pujangga Baru bertujuan sebagai wadah sikap apresiasi, ide, maupun gagasan dari sekelompok pengarang. Majalah ini berakhir pada 1942 karena pada saat itu Jepang datang dan melarang penerbitan Pujangga Baru.
b.      Terbitan kedua pada Maret 1948 – Maret 1953
Majalah Pujangga baru telah diijinkan lagi untuk terbit. Majalah Pujangga Baru sesudah perang bersifat heterogen, yaitu membawa semangat Angkatan Pujangga Baru dan membawa suara angkatan sesudahnya. Pujangga Baru bertujuan sebagai wadah aspirasi, ide, gagasan, perasaan dari berbagai pengarang.
                Adapun tujuan penerbitan majalah Pujangga Baru adalah:
(1)    Sebagai wadah berkumpulnya para sastrawan yag sebelumnya tercerai-berai menulis dalam beberapa majalah.
(2)    Sebagai terompet dalam melahirkan perasaan, pikiran, dan pandangan mereka sesuai dengan zamannya.
(3)    Untuk memberikan apresiasi/penghargaan terhadap kesusastraan.
(4)    Untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi para pengarang-pengarang muda.
(5)    Untuk memberikan pandangan mengenai kesusastraan
(6)    Untuk memberikan kritik-kritik yang membangun.
2.      Pujangga Baru sebagai nama angkatan dalam sastra Indonesia.
Pujangga Baru sebagai nama sebuah angkatan merupakan tempat berkumpulnya sekelompok pengarang yang memiliki berbagai keanekaragaman. Walaupun para pengarang Pujangga Baru memiliki keanekaragaman, namun mereka memiliki, yaitu cita-cita mewujudkan kebudayaan baru, yakni kebudayaan persatuan Indonesia.
Dalam menentukan arah kebudayaan Indonesia yang baru nantinya muncul perbedaan pendapat diantara para sastrawan. Pengertian Kebudayan Baru menurut masing-masing tokoh Pujangga Baru sebagai berikut :
a.       Sutan Takdir Alisyahbana
            Menurut STA, sejarah Indonesia dibedakan antara zaman pra Indonesia (sebelum tahun 1926) yang disebut zaman jahiliah Indonesia, yang ditandai dengan kebudayan ekspresif, yang didasarkan pada perasaan, intuisi, dan tradisi sehingga cenderung bersifat statis, lamban tradisional. Kebudayaan ekspresif ini kaya rohani tetapi terbelakang teknologi dan materi. Adapun zaman Indonesia (setelah tahun 1926) STA mulai berpikir mengapa bangsa Barat dapat maju dan berhasil? Menurut STA, hal itu disebabkan oleh adanya kebudayaan yang progresif/dinamis yang ditandai sifat-sifat individualistis, materialistis, dan intelektualistis, yang disebut juga kebudayaan modern.
            Berdasarkan pemikiran itu, STA menganalogikan bahwa bangsa Indonesia harus berani mengambil unsur-unsur kebudayaan Barat jika ingin maju. Pemikiran itu oleh STA disebut dengan membentuk Kebudayaan Baru, yaitu memajukan kebudayaan ekspresif dan kebudayaan progresif.
b.      Sanusi Pane
                  Yang dimaksud kebudayaan Baru oleh Sanusi Pane adalah perpaduan kebudayaan Barat dan Timur, yaitu mempertemukan Faust (seorang tokoh mitologi sastra Barat yang rela berkorban demi materi) dan Arjuna (seorang tokoh yang rela berkorban demi kebaikan ). Unsur-unsur kebudayaan Barat yang dilambangkan Faust ini memiliki unsur individualistis, materialistis, dan intelektual. Adapun unsur-unsur budaya Timur yang dilambangkan dengan Arjuna adalah rela mengorbankan diri sendiri untuk keluhuran budi, perasaan, kolektivitas, dan spiritualisme.
c.       Armyn Pane
            Menurut Armyn Pane, sifat dinamis itu bukan hanya milik bangsa Barat saja, tetapi dapat dimiliki oleh setiap bangsa. Setiap bangsa mempunyai garis pertumbuhan kebudayaan masing-masing dan memiliki unsur-unsur kebudayaan sendiri yang belum tentu dapat diambil oleh bangsa lain. Sehingga Armyn Pane lebih cenderung mempertahankan kebudayan sendiri . Kita hanya dapat mengambil unsur kebudayaan bangsa lain yang sesuai dengan garis pertumbuhan kebudayaan sendiri, baik dari Barat, dari Timur, maupun dari mana saja.
                        Pertentangan antara yang pro Barat dan yang pro Timur ini terus berkembang dan meluas di lingkungan Pujangga Baru. Polemik itu kemudian oleh Achdiat Kartamihardja pada tahun 1948 dikumpulkan dan dibukukan menjadi sebuah buku yang diberi judul ”Polemik Kebudayaan”.

PAHAM SENI ATAU ASAS SENI PUJANGGA BARU
            Paham seni atau sering disebut sebagai asas seni. Paham seni yang terkenal adalah seni bertendens dan seni untuk seni. Asas Seni Bertendens adalah suatu paham yang berpendapat bahwa penciptaan seni harus mempunyai tujuan tertentu. Keindahan merupakan alat semata supaya isi seni lebih menarik dan mudah dimengerti. Asas ini lebih megutamakan isi dan kegunaan daripada bentuk. Sedangkan Asas Seni untuk Seni adalah suatu paham yang berpendapat bahwa setiap penciptaan seni bertujuan untuk keindahan. Asas ini lebih mengutamakan bentuk daripada isi. Keindahan  merupakan tujuan dalam penciptaan seni. Dalam mengungkapkan  asas seni ini, para pengarang Pujangga Baru mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Pendapat- pendapat mereka dapat dilihat pada uraian berikut ini:
1.      Sutan Takdir Alisyahbana
Pedoman  yang digunakan oleh STA adalah seni bertendens. Hal ini didasarkan pada realita yang pada masa itu Indonesia masih dalam perjuangan untuk membentuk kebudayaan baru maka setiap seniman harus terlibat dalam perjuangan itu. Menurut STA, perjuangan bangsa lebih penting nilainya daripada cita-cita seni yang hanya mengabdi keindahan. Keindahan dalam seni hanya digunakan sebagai alat agar isi lebih menarik dan mudah dipahami oleh pembaca. Oleh sebab itu, STA lebih suka menghasilkan seni-seni bertendens dengan tujuan memberikan manfaat bagi masyarakat dan bangsanya. Lebih mengutamakan isi dan kegunaan daripada bentuk.Contoh: Layar Terkembang.
2.      Sanusi Pane
Pendapatnya cenderung ke asas seni untuk seni. Ia menegaskan bahwa seni itu bersifat otonom. Dalam menciptakan seni, seorang pujangga harus bersatu dengan alam dan kemanusiaan. Seniman tidak mempedulikan moral dan kegunaan hasil ciptanya karena ia merasa menyatu dengan alam dan kemanusiaan.  Sanusi Pane dipengaruhi oleh faham filsafat unio mistika, yakni filsafat yang menghendaki adanya kemanunggalan yang mesra antara manusia dengan seluruh alam semesta ini. Pada mulanya Sanusi Pane mementingkan masalah keindahan bentuk, tetapi pada perkembangannya ia mengutamakan kesesuaian/keserasian antara bentuk dan isi. Contoh: Sajak Puspa Mega dan drama Manusia Baru.
3.      Armyn Pane
Dalam menciptakan seni, ia tidak semata-mata mengabdi pada keindahan, tetapi keindahan itu sendiri yang harus bermanfaat bagi masyarakat. Selaras dengan pernyataannya tersebut, ia menganut asas seni bertendens yang lebih mengutamakan isi daripada bentuk. Bentuk hanya sebagai penolong untuk menyatakan dan menarik perhatian pada isinya, karena isi itu tidak akan berharga apabila rupa atau bentuk tidak sepadan. Pendapat Armyn Pane ini lebih dekat dengan pendapat STA. Contohnya: Roman Belenggu.
4.      J.E Tetangkeng
Y.E Tetangkeng lebih condong pada asas seni untuk seni. Seni harus tinggal seni karena dalam menciptakan seni itu lahir dan tumbuh dalam masyarakat dan alam. Pendapat ini lebih dekat dengan Sanusi Pane yang lebih mengutamakan bentuk daripada isi. Contoh: Buah Rindu (kumpulan puisi).

Uraian di atas merupakan penjabaran dari aliran kebudayaan dan paham seni dalam Angkatan Pujangga Baru. Pujangga Baru pada perkembangannya dipengaruhi oleh sastra angkatan ’80 (De Tachtiger Beweging) yang berada di Belanda. Penamaan angkatan/gerakan ’80 disebabkan karena angkatan tersebut munculnya pada tahun 1880. Angkatan ’80  merupakan suatu gerakan yang berkembang di Belanda pada tahun 1880 yang hendak mengadakan pembaharuan di bidang kebudayaan. Gerakan ini ingin mengubah berlakunya kebudayaan  yang dipelopori oleh pendeta. Dalam penciptaan seni, pikiran harus berkembang bukan hanya fisiknya saja. Gerakan ini dimotori oleh W. Kloos, Herman Gorter, Lodewijk van Deysel, Albert Verwey, dan F. Van Eiden. Mereka mendobrak pemikiran pendeta yang dianggap lamban. Angkatan ’80 ini memunculkan majalah yang diberi nama De Nieuwe Gids yang artinya Pandu Baru dan terbit pada tahun 1885. Sebelumnya  sudah terbit majalah dengan nama De Gids yang artinya Pandu. De Gids dipandang sebagai jembatan antara sastra pendeta (sastra domine) dengan sastra angkatan ’80. Gerakan ’80 bertentangan dengan sastra pendeta yang pada waktu itu dinilai lamban/statis. Tokoh-tokoh angkatn ’80 mencari ilmu untuk mengembangkan karyanya dan mereka mendapat pengaruh dari Inggris dan Perancis. Hasil karya berupa prosa mendapat pengaruh dri Perancis, yaitu aliran Naturalisme, sedangkan puisinya mendapat pengaruh dari Inggris, yaitu aliran Romantik-Inggris. Begitu pula dengan angkatan Pujangga Baru yang mendapat pengaruh dari angkatan ’80. Dalam  perkembangannya angkatan ’80 terjadi perpecahan antara golongan W. Kloos dengan golongan A. Verwey. Golongan Albert Verwey menganggap seni harus sesuai dengan tujuan kehidupan, tidak memisahkan diri dari masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Van Eiden bahwa seorang penyair yang tidak berbicara kepada orang banyak dia bukan apa-apa. Sedangkan golongan W. Kloos menganggap seni merupakan ungkapan yang paling individual. Dalam penciptaan seni harus bersifat individual, objektif, dan asosial.
Dari uraian di atas, maka tampak persamaan dan perbedaan angkatan ’80 dan angkatan Pujangga Baru. Persamaan angkatan Pujangga Baru dengan angkatan ’80: (1) sama-sama ingin mencari bentuk pengucapan yang baru dalam karya sastra dan menentang angkatan sebelumnya. Pujangga Baru ingin menentang sastra Balai Pustaka yang dinilai statis dan terikat oleh Nota Rinkes, sedangkan angkatan ’80 ingin menentang keberadaan sastra pendeta yang dianggap statis. (2) Kedua angkatan tersebut sama-sama mendapat pengaruh,yaitu angkatan ’80 dipengaruhi oleh Naturalis Perancis dan Romantik Inggris, sedangkan angkatan Pujangga Baru dipengaruhi oleh angkatan ’80. Perbedaan keduanya, yakni: (1) angkatan Pujangga Baru bertujuan lebih menekankan pada persoalan kemasyarakatan dan mengutamakan unsur tujuan sosial yang jelas. Sedangkan angkatan’80 bertujuan pada seni itu sendiri, dan mengutamakan  estetis murni. (2) angkatan Pujangga Baru mempunyai keinginan bahwa seni harus diabdikan pada masyarakat dan mengubah sastra yang bersifat statis menjadi dinamis, sedangkan angkatan ’80 bersifat individualisme dan naturalisme.

B.     KARAKTERISTIK
Karya sastra Pujangga Baru mempunyai karakteristik sebagai berikut;
  1. Semangat nasionalisme sudah mulai menggelora. Dalam karya sastra sudah mulai mengangkat unsur nasionalisme. Contohnya: karya Asmara Hadi yang berjudul Penyair Api.
  2. Tema yang diangkat lebih beragam daripada angkatan Balai Pustaka. Contohnya: Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana yang mengangkat tema persoalan emansipasi wanita. Belenggu karya Armyn Pane yang mengangkat tema tentang persoalan suami istri.
  3. Bentuk karya sastranya sudah lebih luas karena merasa sudah tidak terikat oleh adanya Nota Rinkes dan pengarang bebas mengungkapkan ide atau gagasannya. Karya sastra yang muncul diantaranya: esai, kritik sastra, roman, cerpen, drama, dan puisi. Muncul puisi Soneta yang berasal dari Italia, yang dipelopori oleh Muh. Yamin.
4. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
  1. Prosa / puisinya bersifat romantik. Contohnya: Madah Kelana, Puspa Mega, Nyanyi Sunyi (ketiga karya ini berbentuk puisi) dan drama yang berorientasi pada masa silam, seperti cerita Ken Arok dan Ken Dedes, Erlangga, dan Singosari.
  2. Pengarang berasal dari daerah yang berbeda, misalnya; I Gusti Nyoman Putu Tisna (Bali), Marius Ramis Dayoh (Sangihe), dll. Pengarang berasal dari kepercayaan yang berlainan. Misalnya, Amir Hamzah (Islam), J.E Tetangkeng (Kristen), dll.
  3. Angkatan  Pujangga Baru dipengaruhi oleh angkatan ’80 karena pada waktu itu Indonesia dijajah oleh Belanda.
C.      PENGARANG DAN HASIL KARYANYA
Tebaran Mega - kumpulan sajak (1935)
Belenggu (1940)
Jiwa Berjiwa (1939)
Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960)
Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)
Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)
Puspa Mega (1927)
Madah Kelana (1931)
Amir Hamzah
         Nyanyi sunyi (kumpulan puisi 1937)
         Setanggi Timur (1939)
         Buah Rindu ( Kumpulan puisi 1941)
Kertajaya (1932)
Nyanyi Sunyi (1937)
Begawat Gita (1933)
Rindoe Dendam (1934)
Palawija (1944)
Hamidah
         Kehilangan Mustika (1935)
Suman Hasibuan
         Percobaan Setia (1931)
         Mencari Pencuri Anak Perawan (1932)
         Kasih tersesat (1932)
         Tebusan Darah (1939)
M.R. Dayoh
         Pahlawan Minahasa (1935)
         Syair untuk ASIB (1935

SASTRA DI LUAR PUJANGGA BARU
a.        Roman Picisan
         Sastra di luar Pujangga Baru ini umumnya berupa cerita seri, cerita-cerita roman yang diterbitkan di kota-kota besar, seperti Semarang, Padang, Solo, dan Surabaya. Penerbitan yang  paling banyak ada di kota Medan, sehingga sering disebut sebagai sastra Medan. Seri cerita roman ini banyak yang menyebutnya sebagai roman picisan dan menganggap rendah. Jika dilihat dari pengertiannya, roman picisan adalah jenis bacaan dalam bentuk buku-buku kecil yang berisi cerita roman yang dipandang dari sudut sastra mempunyai nilai rendah. Selama ini memang ada anggapan bahwa seri cerita roman picisan itu rendah, tetapi kenyataannya tidak  semua roman picisan itu bernilai rendah karena tidak semua pengarang menulis cerita yang tidak bernilai. Diantaranya ada Matu Mona yang menulis cerita roman picisan yang bernilai sastra dengan judul Panggilan Tanah Air.
            Penerbitan roman berbentuk buku-buku kecil yang berjilid-jilid dengan judul yang bermacam-macam, antara lain: Seri Roman di Padang, Dunia Pengalaman, Lukisan Pujangga di Medan, Seri Suasana Baru, Seri Kejora, Seri Cerita Roman Indonesia di Padang. Roman picisan ini mengandung kelemahan dari sudut penceritaan dan hanya terbit di kota-kota besar sehingga yang dapat menikmati hanya masyarakat di kota.
            Dr. R. Roolvink menulis tentang Roman Picisan Bahasa Indonesia yang dimuat dalam lampiran Pokok dan Tokoh Kesusastraan Indonesia Baru karangan Prof. Dr. A. Teeuw adalah sebagai berikut:
(1)    Penerbitan roman picisan umumnya bersifat perdagangan sehingga isi dan sifat cerita lebih diarahkan pada selera pembaca.
(2)    Lukisan watak tokohnya kurang mendalam dan tidak cocok dengan kenyataan hidup. Seakan-akan hanya menampilkan dua sifat tokoh, yaitu baik dan buruk saja.
(3)    Isi cerita berupa pertentangan antara budaya modern dan budaya lama.
(4)    Dalam cerita sering disisipkan reklame atau propaganda suatu badan usaha.
(5)    Komposisi cerita kurang terpelihara.
            Para pengarang sastra di luar Pujangga Baru mempunyai visi dan misi yang berbeda dengan pengarang di luar Balai Pustaka. Telah diuraikan sebelumnya mengenai sastra di luar Balai Pustaka dan para pengarangnya yang mempunyai tujuan untuk mendobrak aturan Belanda yang tidak boleh memasukkan politik dalam karya-karyanya serta ingin menentang adanya Nota Rinkes yang dianggap membatasi ide atau gagasan para pengarang. Sedangkan para pengarang sastra di luar Pujangga Baru ingin memperdagangkan karya-karyanya melalui cerita roman berseri.
            Beberapa pengarang yang sebagian karyanya termasuk roman picisan, yaitu:
1.Matu Mona (nama sebenarnya Hasbullah Parinduri), hasil karyanya:
-          Harta yang Terpendam
-          Spionagendiest
-          Rol Pacar Merah Indonesia
-          Panggilan Tanah Air
-          Ja Umenek Jadi-Jadian
-          Zaman Gemilang ( merupakan karya Matu Mona yang terbaik yang sebenarnya kurang tepat jika disebut roman picisan).
2.A. Damhuri, hasil karyanya:
-          Mayapada
-          Bergelimang dosa
-          Depok Anak Pagai
-          Mencari Jodoh
-          Terompah Usang yang Tak Sudah Dijahit
3.Yusuf Sou’yb, hasil karyanya:
-          Elang Emas ( terdiri atas beberapa jilid)
4.Imam Supardi, hasil karyanya:
-          Kintamani
b.        Hamka ( Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
Dalam sastra di luar Pujangga Baru selain ada karya-karya yang bersifat komersial dan diterbitkan dengan cerita berseri ada pula karya-karya yang  bernilai tinggi dari segi sastranya dan tidak diterbitkan berseri, yaitu karya-karya Hamka. Hamka tidak digolongkan ke dalam salah satu angkatan manapun karena: (1) karya-karyanya memiliki corak dan gaya tersendiri, yaitu bersifat religius (Islam), filosofis, didaktis, dan mengharukan (sehingga ada yang menyebutnya sebagai  ”Pujangga Air Mata”), (2) isi ceritanya memperlihatkan ruang lingkup yang luas dan moden, walau gaya bahasanya masih memperlihatkan gaya lama.
            Hamka lahir di Sungai Batang, Muninjau, 16 Februari 1908, putra seorang ulama besar yang bernama Dr. H. Abdul  Karim Amrullah. Ia sering menggunakan nama samaran: A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki. Adapun karya-karyanya:
-          Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
-          Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939)
-          Laila Majnun (1933)
-          Di dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen)
-          Ayahku (biografi)
-          Kenang-Kenangan Hidup ( autobigrafi)
-          Merantau ke Deli (kisah perjalanan)
-          Mandi Cahaya ke Tanah Suci (kisah perjalanan), dsb.
            Pada tahun 1962, roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dihebohkan oleh masyarakat, terutama oleh Lekra sebagai karya plagiat (jiplakan) dari novel dalam bahasa Perancis yang berjudul Sous Les Tilleuls ( Di Bawah Naungan Pohon Tila) karya Alphonse Karr(1808-1890). Novel A. Karr tersebut sebenarnya pernah disadur dalam bahasa Arab oleh Mustafa Luttfi al-Manfaluthi (1876-1924) dengan judul Majdulin. Al-Manfaluthi adalah seorang pujangga Mesir yang sangat dikagumi oleh Hamka. Karena muncul heboh tersebut, Majdulin kemudian oleh A.S. Alatas ditejemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Magdalena (1963). Akhirnya, H.B. Jassin sebagai kritikus sastra yang terkenal menegaskan bahwa roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah hasil jiplakan karena di dalamnya ada pemikiran, penghayatan, dan pengalaman Hamka sendiri. Adanya pengaruh bukan berarti plagiat.
Tag : ,

- Copyright © ORat-ORét (Ô.ô) - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -