Archive for Maret 2014
SosoK di UJung WAktu
By : alifinunk
Anggrek Biru
Kaulah saksi cintaku
Telah tertanam dalam jiwaku
Sebuah cinta suciku untuk dirimu
JANJI SUCI CINTAAdelia L.K O.o
Tag :
Cem-macem,
Rangkuman Buku Penkajian Puisi
By : alifinunk
PENDAHULUAN
1.
Pengkajian Puisi
Pengkajian
puisi dapat dilakukan dari bermacam-macam aspek. Yaitu, puisi dapat dikaji
struktur dan unsur-unsurnya, jenis-jenisnya, dan sudut kesejarahannya.
Meskipun
demikian, orang tidak akan dapat memahami puisi secara sepenuhnya tanpa
mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna, yang
mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Oleh karena itu,
sebelum pengkajian aspek-aspek yang lain, perlu lebih dahulu puisi dikaji
sebagai sebuah struktur yang bermakna dan bernilai estetis.
2.
Puisi dan pengertiannya
Meskipun
sampai sekarang orang tidak dapat memberikan definisi setepatnya apakah puisi
itu, namun untuk memahaminya perlu diketahui ancar-ancar sekitar pengertian
puisi. Secara intuitif orang dapat mengerti apakah puisi berdasarkan konvensi
wujud puisi, namun sepanjang sejarahnya wujud puisi selalu berubah-ubah sesuai
dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya (Riffaterre, 19978:1).
Saat ini jika
hanya melihat bentuk visualnya antara puisi dan prosa tidak dapat dibedakan
karena sama-sama bentuk bebas. Maka yang menjadi ciri sastra yang utama adalah
niat pembaca, ini mengingat bahwa pembacaan yang memberi makna (Teeuw, 1983:6;
Culler, 1977:138).
Biasanya puisi
didefinisikan sebagai karangan yang terikat, sedangkan prosa ialah bentuk
karangan bebas. Wirjosoedarmo misalnya mengemukakan bahwa puisi itu karangan
yang terikat oleh :
1)
Banyak baris dalam tiap bait
2)
Banyak kata dalam tiap baris
3)
Banyak suku kata dalam tiap baris
4)
Rima, dan
5)
Irama
Ada pengertian
lain menurut beberapa ahli, bahwa puisi adalah :
·
Pendramaan pengalaman yang menafsirkan bahasa
bermetrum. Tapi, apabila dikaitkan dengan hal definisi di atas maka definisi ini
tidak cocok untuk puisi Indonesia, karena puisi Indonesia tidak bermetrum. Bisa
saja penafsiran ini cocok apabila diartikan irama Altenbernd (1970:2).
·
Pemikiran yang
bersifat musikal, kata-katanya di susun sedemikian rupa, sehingga menonjolkan
rangkaian bunyi yang merdu seperti musik (Carlyle).
·
Pernyataan perasaan yang imajinatif (Wordworth).
·
Lebih dari pernyataan perasaan yang
bercampur-baur (Auden).
·
Pemikiran manusia secara konkret dan artistik
dalam bahasa emosional dan berirama (Dunton).
·
Rekaman detik-detik paling indah dalam hidup
(Shelley).
Jadi,
teranglah dari beberapa kutipan di atas ada perbedaan-perbedaan pikiran
mengenai pengertian puisi dan sudah tidak cocok lagi dengan wujud puisi zaman
sekarang, atau cocok namun hanya untuk beberapa jenis puisi saja.
Perbedaan
pokok antara puisi dan prosa :
1.
Kesatuan-kesatuan korespondensi prosa yang pokok
ialah kesatuan sintaksis; kesatuan korespondensi puisi resminya – bukan
kesatuan sintaksis – kesatuan akustis.
2.
Di dalam puisi korespondensi dari corak
tertentu, yang terdiri dari kesatuan-kesatuan tertentu pula, meliputi seluruh
puisi dari semula sampai akhir, yang disebut dengan baris sajak yang di
dalamnya ada periodisitas. (Slametmuljana, 1956:112 yang dikutip dari buku A.W.
de Groot “Algemene Versleer”).
Segala ulangan
susunan baris sajak yang nampak di baris lain dengan tujuan menambah kebagusan
sajak, itulah yang dimaksud dengan korespondensi (Slametmuljana,1956:113). Kumpulan
jumlah periodus itu merupakan baris sajak. Periodus adalah pembentuk baris
sajak menurut sistem, sedangkan periodisitas adalah sistem susunan bagian baris
sajak (Slametmuljana,1956:112,113).
Dalam poetika,
puisi sama dengan karya sastra, baik prosa maupun puisi (cf. Wellek,
1968:142-150). Puisi dan prosa hanya dapat dibedakan berdasarkan kadar
kepadatannya. Berdasarkan hal itu, bila padat karya itu disebut puisi, bila
tidak padat disebut prosa. Puisi adalah ekspresi kreatif (yang mencipta), hasil
aktivitas memadatkan. Sedang prosa itu ekspresi konstruktif. Pada umumnya prosa
bersifat bercerita (epis atau naratif) dan menguraikan. Sedangkan puisi
bersifat pencurahan jiwa yang padat (liris dan ekspresif).
3.
Puisi itu Karya Seni
Puisi sebagai
karya seni yang mengandung nilai keindahan khusus yang disebut puitis
(khususnya dalam karya sastra). Kepuitisan itu dapat dicapai dengan
bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait;
dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan
dan orkestrasi; dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sasana retorika,
unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Antara unsur
pernyataan (ekspresi), sarana kepuitisan, yang satu dengan yang lainnya saling
membantu, saling memperkuat dengan kesejajarannya ataupun pertentangannya, semua
itu untuk mendapatkan kepuitisan seefektif mungkin,seintensif mungkin.
BAB II
ANALISIS PUISI
BERDASARKAN STRATA NORMA
Analisis Strata Norma Roman Ingarden
Puisi (sajak)
merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu
dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara
nyata. Analisis yang bersifat dichotomis,
yaitu pembagian dua bentuk dan isi belumlah dapat memberi gambaran yang nyata
dan tidak memuaskan (Wellek dan Warrren, 1968:140).
Puisi itu
adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman individual yang hanya
sebagian saja dapat melaksanakan puisi. Karena itu, puisi (sajak) sesungguhnya
harus dimengerti sebagai struktur norma-norma (implisit) yang harus ditarik
dari setiap pengalaman individu karya sastra dan bersama-sama merupakan karya
sastra yang murni sebagai keseluruhan (Rena Wallek, 1968:150-151).
Karya sastra
itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa
strata(lapis) norma. Rene Wellek (1968:151) mengemukakan analisis Ingarden,
seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk
(1931) ia menganalisis norma-norma itu sebagai berikut.
Lapis pertama
adalah lapis bunyi (sound
stratum). Berupa satuan-satuan suara : suara suku kata, kata, dan berangkai
merupakan seluruh bunyi (suara) sajak: suara frase dan suara kalimat. Suara itu
bukan hanya suara tak berarti, melainkan bunyi (suara) dalam puisi haruslah
bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek
puitis atau nilai seni.
Lapis kedua
adalah lapis arti (units of
meaning). Satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku
kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab,
dan seluruh cerita.
Lapis ketiga
berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang yang
berupa cerita atau lukisan.
Lapis keempat
adalah lapis dunia yang tak usah dinyatakan, tetapi terkandung dalamnya (implied/implisit).
Lapis kelima
adalah lapis metafisis
yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (renungan). Berupa sifat-sifat
metafisis (yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang
suci). Akan tetapi, tidak setiap karya sastra dalamnya terdapat lapis
metafisis.
Analisis
strata norma Roman Ingarden hanya
menganalisis puisi secara formal, menganalisis fenomena-fenomina, tidak
mengemukakan nilai seni puisi yang dianalisis. Orang tak dapat memahami dan
menganalisis karya seni tanpa menunjukkan penilaian. Analisis yang tanpa
menghubungkan dengan penilaian merupakan kesalahan analisis fenomenologis
(Wellek, 1968:156), karena puisi merupakan karya imajinatif bermedium bahasa
yang unsur seni (estetik)-nya dominan (Wellek, 1968:25). Analisis strata norma
harus ditingkatkan ke analisis semiotik, dimaksudkan untuk menghindari
mengkosongkan makna.
Analisis yang
dihubungkan dengan semiotik dan dan fungsi estetik sebagai berikut.
Bunyi
Orkestrasi bunyi: eufoni dan
kakofoni; kombinasi vokal dan konsonan tertentu: aliterasi dan asonansi.
Simbol bunyi:
onomatope, kiasan suara, lambang rasa.
Sajak: awal,
tengah, dalam, dan akhir.
Termasuk
pembicaraan bunyi juga adalah irama: metrum dan ritme.
Kata
Pembicaraan kata meliputi: kosa
kata, unsur atau aspek ketatabahasaan; masalah denotatif dan konotatif; pilihan
kata (diksi); bahasa kiasan; citraan; sarana retorika; dan gaya kalimat, serta
gaya sajak.
BAB III
BUNYI
Dalam puisi bunyi bersifat
estetik,merupakan unsur untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi
erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya: lagu, melodi, irama, dan
sebagainya. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang
lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa,dan
menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.
Bunyi dalam
kesusastraan berperan penting dan pernah menjadi unsur kepuitisan yang utama
dalam sastra romantik, yang timbul sekitar abad ke-18, 19 di Eropa Barat
(Slametmuljana, 1956:56). Lebih-lebih lagi aliran simbolisme yang dipelopori
oleh Charles Baudelaire (1821-1867). Salah seorang simbolis, Paul Verlaine
(1844-1996) berkata bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi (De la musique
avant tout chose). Para penyair romantic dan simbolis ingin menciptakan puisi
yang mendekati musik: merdu bunyinya dan berirama kuat. Mereka ingin merubah
kata menjadi gaya suara, bahkan mereka menginginkan agar kata-kata puisi adalah
suara belaka.
Dalam
sajak-sajak penyair simbolis kebanyakan karena mementingkan suara, lagu, irama,
dan rasa yang timbul karenanya dan tanggapan-tanggapan yang mungkin
dibangkitkannya, maka kata-katanya sudah melepaskan tugasnya sebagai tanda yang
mewakili pengertian (Slametmuljana, 1956:60) karena dalam puisi pengertian tak
lagi diutamakan. Di Indonesia aliran simbolisme tidak dianut secara nyata.
Hanya unsur-unsur mementingkan bunyi dan lambang-lambang atau simbolik-simbolik
dipergunakan oleh para penyair dalam sajak-sajaknya.
Dalam
kesusastraan Indonesia pernah kemasukan aliran romantik, yaitu Pujangga Baru.
Tampak para penyair ingin mendekati suara musik. Sajak-sajak tampak rapi,
suaranya merdu, berirama karena terjadi ulangan-ulangan bunyi, ulangan kata,
dan ulangan-ulangan kalimat.
Pada
akhir-akhir ini dalam dunia persajakan Indonesia, para penyair muda yang
dipelopori Sutardji Calzoum Bachri dalam kredo puisinya (1981:13-14)
menyatakan ingin kembali kepada mantra, ingin membebaskan kata dari jajahan
pengertian. Misalnya yang berikut ini (1981:87).
SEPISAUPI
Sepisaupi
Sepisau luka sepisau duri
Sepikul dosa sepikan sepi
Sepisau duka serisau diri
Sepisau sepi sepisau nyanyi
Sepisaupa sepisaupi
Sepisapunya sepikau sepi
Sepisaupa sepisaupi
Sepikul diri keranjang duri
Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa sepisaupi
Sampai pisauNya ke dalam nyayi
1973
Dalam
puisi bunyi dipergunakan sebagai orkestrasi, ialah untuk menimbulkan bunyi
musik. Bunyi konsonan dan vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi
yang merdu dan berirama bisanya disebut eufoni (euphony), bunyi yang
indah. Untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang atau cinta, serta
hal-hal yang menggembirakan. Misalnya terlihat dalam sajak W.S. Rendra yang
berjudul “ADA TILGAM TIBA SENJA”.
Sebaliknya,
kombinasi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi k, p, t, s, disebut kakofoni (cacophony).
Cocok untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serba tak
teratur, bahkan memuakkan. Misalnya tampak dalam sajak Subagio Sastrowardojo
yang berjudul “SODOM DAN GOMORRHA”.
Begitulah,
unsur bunyi musik dapat untuk memperdalam arti, memperjelas tanggapan, dan
memperdalam perasaan. Akan tetapi, bagaimanapun pentingnya anasir bunyi/musik
dalam puisi, puisi tetap berbeda dengan musik (Slametmuljana, 1956:61).
Di dalam puisi
bunyi kata itu di samping tugasnya yang pertama sebagai simbol arti dan juga
untuk okestrasi, digunakan juga sebagai:
1)
Peniru bunyi
atau onomatope;
2)
Lambang suara (klanksymboliek);
dan
3)
Kiasan suara (klankmetaphoor)
(Slametmuljana,1956:61).
Lambang yang
paling banyak dipergunakan oleh para penyair adalah dalam sajak adalah lambang
rasa. Unsur kepuitisan yang lain ialah sajak. Menurut Slametmuljana
(1956:75) sajak ialah pola estetika bahasa yang berdasarkan ulangan
suara yang diusahakan dan dialami dengan kesadaran. Sajak disebut pola estetika
karena timbulnya dalam puisi ada hubungannya dengan keindahan yang mempunyai
daya evokasi, yaitu daya kuat untuk menimbulkan pengertian.
Ada
bermacam-macam sajak(rima) yang banyak dipergunakan sebagai unsur kepuitisan
dalam puisi Indonesia adalah sajak akhir, sajak dalam, sajak tengah, aleterasi,
dan asonansi. Asonansi dan aliterasi berfungsi untuk memperdalam rasa,
selain untuk orkestrasi dan mempelancar ucapan. Sajak akhir mempunyai
nilai puitis bila sajak itu mengandung hakikat ekspresi, yaitu bila turut
memberi bantuan melahirkan dan mempelancar pelaksanaan dan penjilmaan angan.
Sajak sebagai
sarana estetika jadi terdesak dengan munculnya aliran ekspresionisme, yang oleh
kaum ekspresionis dianggap menghalangi penjilmaan angan yang harus timbul oleh
ucapan yang spontan keluar dan tepat. Mereka tidak menyukai usaha penyair yang
memperdewa sajak (Slametmuljana, 1956:93).
Aliran
ekspresionisme masuk ke Indonesia dipelopori oleh Chairil Anwar, mengakibatkan
timbulnya sajak-sajak bebas yang tak mementingkan pola sajak (akhir). Namun,
sesudah tahun 1950 pemakaian bunyi dan persajakan dihidupkan kembali. Bunyi
dipergunakan sebagai orketrasi, untuk menimbulkan bunyi musik yang merdu, tetapi
disesuaikan dengan analis-analis kepuitisan yang lain.
BAB IV
IRAMA
Irama
dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan
bunyi bahasa dengan teratur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa irama itu
pengertian berturut-turut secara teratur. Irama dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya
pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Ritme adalah irama yang
disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi
tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema
dendang sukma penyairnya.
Pada umumnya
puisi Eropa mempergunakan dasar metrum. Metrum itu banyak macamnya. Misalnya
metrum jambis. Tiap kaki sajaknya
terdiri dari sebuah suku kata tak bertekan diikuti suku kata yang bertekanan (v
-). Metrum anapest, tiap kaki
sajaknya terdiri dari tiga suku kata yang tak bertekanan diikuti suku kata yang
tak bertekanan,kemudian diikuti suku kata yang bertekanan (v v -). Metrum trochee
atau trocheus, tiap kaki sajaknya terdiri dari suku kata yang bertekanan
diikuti suku kata yang tidak bertekanan.
Dalam
kesusastraan Jawa Kuno, kaki sajaknya terdiri dari kombinasi dua macam suku
yang panjang atau berat disebut guru, sedangkan suku kata yang bertekanan ringan atau pendek disebut laghu.
Dalam puisi
timbulnya timbulnya irama itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan
bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi.
Dalam
puisi Indonesia, puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak ada. Kalau
ada metrum itu bersifat individual, artinya metrum-metrum itu buatan-buatan penyair-penyair
pribadi yang saling berbeda, tanpa aturan dan patokan tertentu. Yang terasa
seperti mempunyai metrum ialah syair dan pantun. Puisi yang merdu bunyinya
dikatakan melodius: berlagu seolah-olah seperti nyanyian yang mempunyai melodi.
Seperti sajak Hartono Andangdjaja ini.
NYANYIAN
KEMBANG LALANG
Putih di pandang-pandang
Putih kembang-kembang lalang
Putih rindu yang memanggil-manggil
dalam dendang
Orang di dangau orang di ladang
Putih jalan yang panjang
Kabut di puncak Singgalang
Sepi yang menyayup di ujung
pandang
Putih bermata sayang
Wajah rawan tanah minang
(Buku Puisi, h.21)
Melodi
adalah paduan susunan deret suara yang teratur dan berirama (Kusbini,1953:62). Melodi
itu timbul karena pergantian nada kata-katanya, tinggi rendah bunyi yang
berturut-turut. Bedanya melodi nyanyian dengan puisi ialah terletak pada macam
bunyi (nada) yang terdapat pada sajak itu tak seberapa banyaknya dan intervalnya
(jarak nada) itu juga terbatas. Dalam berdeklamasi irama dan ketepatan ekspresi
didapatkan dengan mempergunakan tekanan-tekanan pada kata. Ada tiga jenis
tekanan, yaitu tekanan dinamik, tekanan nada, dan tekanan tempo. Tekanan
dinamik ialah tekanan pada kata yang terpenting menjadi sari kalimat dan
bait sajak. Tekanan nada ialah tekanan tinggi (rendah). Tekanan tempo
ialah lambat cepatnya pengucapan suku kata atau kata (atau kalimat).
Dalam
berdeklamasi perlu diperhatikan diksi, yaitu cara mengucapkan sajak (pidato, dan
sebagainya) atau teknik pengucapannya supaya dapat mengucapkan
setepat-tepatnya, dan perlu juga memperhatikan timbre (warna bunyi) suaranya,
yaitu corak bunyi, keadaan pembawaan atau sifat-sifat suara deklamator/tris
yang tertentu, atau bunyi alat musik yang tertentu, yang satu dengan yang lain
sangat berbeda.
BAB V
KATA
Satuan arti
yang menentukan struktur formal linguistik karya sastra adalah kata. Kata-kata
yang telah dipergunakan oleh penyair disebut kata berjiwa (Slametmuljana,
1956:4), yang tidak sama (artinya) dengan kata dalam kamus, yang masih
menggunakan pengolahan. Pengetahuan tentang kata berjiwa disebut stilistika.
Sedangkan pengetahuan tentang kata-kata sebagai kesatuan yang satu lepas
dari yang lain disebut leksikografi. Gramatika yang membicarakan efek
dan kesan yang ditimbulkan oleh pemilihan kata dan penyusunan (penempatan) kata
disebut tata bahasa stilistika, sedang yang lain yang membicarakan
kaidah-kaidah bahasa disebut tata bahasa normatif. Dalam puisi belum
cukup bila hanya ditemukan maksudnya saja,yang dikehendaki penyair ialah supaya
siapa yang membaca dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa yang
dirasakan dan dialami penyair.
1.
Kosa Kata
Bahasa sebagai
sarana untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan. Baik tidaknya
tergantung pada kecakapan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata. Kehalusan
perasaan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata sangat diperlukan. Penggunaan
kata-kata bahasa sehari-hari dapat memberi efek gaya yang realistik, sedang penggunaan
bahasa/kata-kata nan indah dapat memberi efek romantik. Tak jarang seorang penyair seperti W.S.
Rendra, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono, dsb., menggunakan
kata-kata kuna yang sudah mati, kata-kata bahasa daerah, istilah-istilah asing atau
perbandingan-perbandingan asing atau kalimat-kalimat asing, perbandingan Ahasveros
dan Eros, dengan maksud untuk memberi efek universal dan dapat
dimengerti oleh kalangan luas.
2.
Pemilihan Kata
Pemilihan kata
dalam sajak disebut diksi. Bila kata-kata dipilih dan disusun dengan
cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk
menimbulkan imaginasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis (Barfiel,
1952: 41). Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas serta supaya selaras
dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka penyair memilih kata-kata
dengan secermat-cermatnya (Altenbernd,1970:41).
3.
Denotasi dan konotasi
Sebuah kata
itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi, ialah artinya yang
menunjuk, dan konotasi, yaitu arti tambahannya. Denotasi sebuah kata
adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang
diberi nama dengan kata itu, disebutkan, atau diceritakan (Altenbernd,1970:9). Bahasa
yang denotatif adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu
antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk (Wellek,1968:22). Dalam
puisi (karya sastra pada umumnya) masih mengandung arti tambahan yang
ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Kumpulan
asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari
setting yang dilukiskan disebut konotasi.
Jadi, dalam
membaca sajak, selain harus dimengerti arti arti kamusnya atau arti
denotatifnya, juga harus diperhatikan konotasi, atau arti konotatifnya yang
timbul dari asosiasi-asosiasi arti denotatifnya.
4.
Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan (figurative language) juga menjadi unsur
kepuitisan, yang mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain
supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup. Bahasa kiasan ada
bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal (sifat)
yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan
cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Altenbernd, 1970:15).
Jenis-jenis
bahasa kiasan tersebut adalah:
a.
Perbandingan
Perbandingan atau perumpamaan atau simile, ialah
bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan mempergunakan kata-kata
pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana,
sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding yang lain. Tetapi, perumpamaan
ini masih ada bermacam-macam corak.
b.
Metafora
Metafora ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya
tidak mempergunakan kata-kata yang telah disebutkan. Metafora ini menyatakan
sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya
tidak sama (Altenbernd,1970:15). Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok
(principal term) dan term kedua (secondary term). Term pokok disebut
juga tenor, term kedua disebut juga vehicle. Term pokok atau tenor
menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term kedua atau vehicle adalah
hal yang untuk membandingkan. Sering kali penyair langsung menyebutkan term
kedua tanpa menyebutkan term pokok atau tenor. Metafora semacam ini disebut
metafora implisit (implied metaphor).
c.
Perumpamaan Epos
Perumpamaan atau perbandingan epos (epic simile)
ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan
cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat
atau frase-frase yang berturut-turut. Perbandingan epos juga bermacam-macam
variasi. Guna perbandingan epos ini seperti perbandingan juga, yaitu untuk
memberi gambaran yang jelas,hanya saja perbandingan epos dimaksudkan untuk
lebih memperdalam dan menandaskan sifat-sifat pembandingnya, bukan sekedar
memberikan persamaannya saja.
d.
Allegori
Allegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita
kiasan atau lukisan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Allegori ini
banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga baru.
e.
Personifikasi
Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda
mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi
ini banyak dipergunakan para penyair dari dahulu hingga sekarang. Personifikasi
ini membuat hidup lukisan, di samping itu memberi kejelasan beberan, memberikan
bayangan angan yang konkret. Personifikasi juga bermacam-macam variasi.
f.
Metonimi
Metonimi ini dalam bahasa Indonesia sering disebut kisah
pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau
penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan
objek tersebut (Altenbernd,1970:21). Bahasa kiasan yang lebih jarang dijumpai
pemakaiannya dibanding metafora, perbandingan, dan personifikasi ialah metonimi
dan sinekdoke.
g.
Sinekdoke (Synecoche)
Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu
bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri.
(Altenbernd, 1970:22).
Sinekdoki ada dua macam:
1.
Pars pro toto: sebagian untuk keseluruhan.
2.
Totum pro parte: keseluruhan untuk sebagian.
5.
Citraan (Gambaran-gambaran Angan)
Citraan adalah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa
yang menggambarkannya (Alternbernd, !970:12), sedang setiap gambar pikiran
disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat
menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah
objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf, penglihatan, dan daerah-daerah otak
yang berhubungan (yang bersangkutan). Coombes mengemukakan (1980:42-43) dalam
tangan seorang puncak penyair yang bagus, imaji itu segar dan hidup, berada
dalam puncak keindahannya untuk mengintensifkan, menjernihkan, dan memperkaya.
Citraan biasanya lebih mengingatkan kembali daripada membuat baru kesan
pikiran, sehingga pembaca terlibat dalam kreasi puitis (Altenbernd, 1970:13).
Jenis-jenis imaji
Gambaran-gambaran angan itu ada bermacam-macam,
dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecpan, dan
penciuman. Bahkan juga
diciptakan oleh pemikiran dan gerakan. Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citra penglihatan (visual
imagery), yang timbul oleh pendengaran (auditory imagery) dan sebagainya. Citraan penglihatan adalah jenis yang
paling sering dipergunakan oleh penyair dibandingkan dengan citraan yang lain.
Penyair yang banyak menggunakan
citra penglihatan disebut penyair visual, misalnya W.S Rendra. Contohnya dalam
sajak-sajak W.S. Rendra :
Ruang diributi jerit dada (: pendengaran)
Sambal tomat pada mata
Meleh air racun dosa
(1957:34)
Altenbernd (1970:14) mengemukakan bahwa citraan adalah
satu alat kepuitisan yang terutama yang dengan itu kesusastraan mencapai
sifat-sifat konkret, khusus, mengharukan, dan menyaran. Untuk memberi suasana
khusus, kejelasan, dan memberi warna setempat (local colour) yang kuat
penyair mempergunakan kesatuan citra-citra (gambaran-gambaran) yang
selingkungan. Sajak yang menunjukkan adanya kesatuan citraan membuat jelas dan
memberi suasana khusus. Sajak-sajak yang tidak menunjukkan kesatuan citraan
menyebabkan gelap, seperti tidak ada saling hubungan antara kata yang satu
dengan kata yang lain atau antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain.
6.
Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi
karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan
suat perasaan tertentu dalam hati pembaca (Slametmuljana Tt:20). Gaya bahasa
itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu
menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada
pembaca.
Setiap pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam
melahirkan pikiran. Namun, ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang
biasa dipergunakan, sering disebut dengan sarana retorika (rhetorical
devices). Sarana
retorika merupakan sarana kepiutisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd,
1970:22).
Corak-corak atau jenis-jenis sarana retorika tiap
periode itu ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya, alirannya, paham, konversi
dan konsepsi estetikanya. Sarana retorika yang dominan adalah tautologi,
pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan penjumlahan (enumerasi). Corak-corak atau jenis-jenis sarana retorika tiap
periode atau angkatan ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya, aliran,
paham, serta konvensi dan konsepsi estetikanya. Sarana-sarana retorika yang
tidak banyak dipergunakan dalam puisi-puisi Pujangga Baru, diantaranya:
Paradoks, hiperbola, pertanyaan retorik, klimaks, kiasmus.
Tautologi adalah saran
retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata
atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar.
Pleonasme adalah sarana
retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua
sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Sifat atau hal yang
dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar.
Enumerasi adalah saran
retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian
dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau
pendengar (Slametmuljana, Tt:25).
Paralelisme (persejajaran)
adalah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut
hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului
(Slametmuljana, Tt:29).
Retorik retisense adalah sarana mempergunakan titik-titik banyak untuk
mengganti perasaan yang tak terungkapkan.
Hiperbola adalah saran retorika
yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Dengan maksud untuk menyangatkan,
untuk intensitas dan ekspresivitas.
Paradoks adalah sarana
retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya tidak
bila sungguh-sungguh dipikir atau dirasakan. Paradoks yang mempergunakan
penjajaran kata yang berlawanan disebut oksimorom.
Kiasmus adalah sarana
retorika yang menyatakan sesuatu yang diulang, dan salah satu bagian kalimatnya
dibalik posisinya.
7.
Faktor Ketatabahasaan
Penggunaan bahasa seseorang (parole) merupakan
penerapan sistem bahasa (langue) yang ada (Culler, 1977:8), dan
penggunaan bahasa penyair sekaligus penerapan konvensi puisi yang ada (Culler,
1977:116). Namun penerapan ini tidak selalu sesuai dengan sistem bahasa maupun
konvensi puisi yang ada sebab hal ini dipengaruhi situasi penggunaan. Dalam puisi
sering menyebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan dari sistem norma bahasa
yang umum.
Penyimpangan-penyimpangan dari tata bahasa yang dilakukan
oleh Chairil Anwar berupa pendekatan kata (untuk kelancaran ucapan, untuk
mendapatkan irama yang menyebabkan liris); penghilangan imbuhan (untuk
membuat berirama); penyimpangan struktur sintaksis (Untuk mendapatkan
irama yang liris, kepadatan, ekspresivitas, serta membuat bahasa segar dan
menarik karena kebaharuannya). Sedangkan penyimpangan yang dilakukan Sutardji
mencakup penghapusan tanda baca (yang efeknya memberikan kegandaan
tafsir ataupun efek stream of conciousness arus pikiran yang mengalir
tak terkendalikan dari bawah sadar), penggabungan dua kata atau lebih (untuk
memberikan efek penyagatan atau melebih-lebihkan), penghilangan imbuhan
(untuk mendapatkan irama, untuk kelancaran membaca, dan mendapatkan daya
ekspresi yang penuh karena kepadatannya), pemutusan kata (untuk menarik
perhatian dan artinya berubah, ataupun hilang artinya, yang memberi sugesti kesia-siaan
atau arti yang tidak sempurna lagi), pembentukan jenis kata (untukmembentuk
kata-kata benda atau kata kerja menjadi kata keadaan atau sifat dengan diawali
kata yang atau yang paling).
BAB I
ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK
1.
Pendahuluan
Analisis dalam
Bagian I membicarakan unsur-unsur puisi yang berupa lapis-lapis norma
secara sendiri-sendiri, haruslah dilanjutkan kepada tinjauan puisi secara
menyeluruh. Lapis-lapis norma puisi dalam Bagian II ini dilihat hubungan
keseluruhannya dalam sebuah sajak yang utuh. Untuk memahami makna secara
keseluruhan perlulah sajak dianalisis secara struktural. Di samping itu, karena
sajak merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna dan bersistem, maka analisis
juga disatukan dengan analisis semiotik.
2.
Analisis Struktural
Analisis struktural adalah analisis yang melihat bahwa
unsur-unsur struktur sajak itu saling berhubungan secara erat, saling
menentukan artinya sebuah unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya. Struktur
di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang
bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik,
saling menentukan.
Dalam pengertian struktur ini (Piaget via Hawkes, 1978:16) terlihat adanya rangkaian
kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu: pertama, struktur
merupakan keseluruhan yang bulat (ide kesatuan), yaitu bagian yang
bagian bentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua,
struktur berisi gagasan transformasi (ide transformasi) dalam arti bahwa
struktur itu tidak statis. Ketiga, struktur itu mengatur iri sendiri (ide
pengaturan diri sendiri [self-regulation]), dalam arti struktur tidak
memerlukan pertolongan bantuan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur
transformasinya.
Menurut pikiran
strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang)
lebih merupakan susunan hubungan dari pada susunan benda-benda.
3.
Analisis Semiotik
Menganalisis sajak adalah berusaha menangkap dan
memberi makna pada teks sajak. Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan
sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Karena
sastra adalah sistem tanda yang lebih tinggi atas kedudukan dari bahasa, maka
disebut sistem semiotik. Menganalisis sajak adalah usaha menangkap makna sajak.
Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan
struktur sastra menurut konversinya. Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu
penanda (signifer) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan
petanda (signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Berdasarkan
hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon
(adalah tanda hubungan antara penanda dan petandanya bersifat persamaan bentuk alamiah),
indeks (adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara
tanda dan petandanya yang bersifat kausal atau hubungan sebab-akibat), dan simbol
(merupakan tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan
petandanya yang bersifat arbitrer atau semau-maunya, dan berdasarkan konvensi
masyarakat).
4.
Latar Belakang Sejarah dan Sosial Budaya Sastra
Menurut teori struktural murni, karya sastra haruslah
dianalisis struktur unsur intrinsiknya saja. Unsur-unsurnya dilihat dari
kaitannya dengan unsur lainnya yang terjalin dalam struktur itu sendiri. Analisis
struktural murni memiliki keberatan-keberatan yaitu di antaranya mengasingkan
karya sastra dari kerangka kesejarahannya dan latar belakang sosial budayanya. Bagaimanapun
keberatannya, analisis struktural ini merupakan prioritas pertama sebelum yang
lain-lain (Teeuw, 1983:61). Tanpa analisis yang demikian, kebulatan makna
intrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra itu sendiri tidak akan
tertangkap. Usaha untuk mengatasinya yaitu dengan strukturalisme dinamik,
adalah strukturalisme dalam rangka semiotik, yaitu dengan memperhatikan karya
sastra sebagai sistem tanda.
Sebuah karya sastra tidak lahir dalam kekosongan
sastra, tidak lepas dari hubungannya dengan karya-karya sastra sebelumnya.
Semua hubungan itu sangat menentukan makna dan pemahaman sebuah karya sastra
(sajak). Oleh karena itu, untuk mendapatkan makna sajak secara sepenuhnya, maka
analisis sajak tidak dapat dilepaskan dari kerangka sejarah sastranya.
Begitu juga karya sastra tidak dapat dilepaskan dari
kerangka sosial-budaya masyarakat di tempat karya sastra itu dituliskan. Maka
untuk mendapatkan makna penuh karya sastra, latar belakang sosial-budaya yang
melatarinya yang tercermin dalam sistem tanda-tanda sastra dalam karya sastra
(sajak) yang dianalisis haruslah diberi pertimbangan. Untuk dapat memberikan
makna sepenuhnya kepada sebuah sajak, maka karya sastra perlu dianalisis dengan
intertekstualitas.
BAB II
ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK-SAJAK AMIR
HAMZAH
Strukturalisme dapat paling tuntas dilaksanakan bila yang
dianalisis adalah sajak yang merupakan keseluruhan, yang unsur atau
bagian-bagiannya saling erat berjalin (Hawkes, 1978: 18). Sajak merupakan
kesatuan yang utuh atau bulat, maka perlu dipahami secara utuh dan bulat pula.
Untuk memudahkan pemahaman seperti itu, maka perlulah di sini diberikan
parafrase setiap sajak sebelum dianalisis secara nyata lebih lanjut.
Sajak-sajak yang dianalisis secara khusus di sini : Padamu Jua, Barangkali,
Hanya satu, Tetapi Aku, Sebab Dikau, Turun Kembali, Insaf dan Astana Rela.
1.
Padamu Jua
Sajak ini merupakan monolog si aku kepada kekasihnya.
Tuhan dalam sajak ini diantropomorfkan, diwujudkan sebagai manusia, dikiaskan
sebagai dara, sebagai kekasih, adalah salah satu cara untuk membuat pathos,
yaitu menimbulkan simpati dan empati kepada pembaca sehingga ia bersatu mesra
dengan obyeknya (Budi Darma, 1982: 112). Penggunaan citraan yang berhubungan
erat dengan bahasa kiasan, dalam sajak ini dipergunakan untuk membuat gambaran
segar da hidup, dipergunakan secara sepenuhnya untuk memperjelas dan
memperkaya, seperti dikemukakan oleh Coombes (1980: 43), yaitu citraan yang
berhasil menolong kita untuk merasakan apa yang dirasakan penyair terhadap
obyek atau situasi yang dialami dengan tepat, hidup dan ekonomis.
Citra gerak (kinaesthetik image): segala cintaku hilang terbang/
pulang kembali aku padamu/ seperti dahulu: gerak itu ditandai dengan bunyi
konsonan l diperkuat bunyi r, seolah tampak gerak burung terbang yang
mengiaskan cinta yang hilang, begitu pula tampak gerak si aku yang lunglai.
Citra rabaan (tactile/thermal image) dan penglihatan yang merangsang
indera dipergunakan dalam: Aku manusia/Rindu rasa/Rindu rupa (bait 4). Untuk
merangsang pendengaran digunakan citra pendengaran (sound image) Suara
sayup/ Hanya kata merangkai hati. Unsur-unsur ketatabahasaan dipergunakan dalam
sajak ini untuk ekspresivitas, membuat hidup, dan liris karena kepadatan dan
kesejajaran/keselarasan bunyi dan arti meski menyimpang dari kaidah kata bahasa
formatif.
2.
Barangkali
Secara semiotik yang mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan bahasa sebagai tanda
mempunyai arti (Preminger, 1974:980), pilihan kata-katanya dalam sajak ini
menandai suasana percintaan yang romantis, sesuai dengan khayalan si aku tentang
kekasihnya. Metafora dalam sajak ini selain untuk membuat konkret tanggapan,
juga dipergunakan untuk kesejajaran bunyi yang membuat ritmis: akasa swarga;
nipis-tipis; di lengan lagu; selendang dendang; mata-mutiara-mu; dara asmara;
swara swarna; pantai hati; gelombang kenang. Dalam sajak ini sarana-sarana
kepuitisan yang telah terurai di atas dikombinasikan dengan fungsi bunyi. Irama
dan ulangan-ulangan bunyi membuat liris dan menambah intensitas kegembiraan.
3.
Hanya Satu
Dalam sajak ini digambarkan betapa hebat kekuasaan
Tuhan. Ia menurunkan hujan lebat dan membangkitkan badai untuk menenggelamkan
bumi serta merusak, menghancurkan taman dunia yang indah. Sajak “Hanya Satu”
terdiri dari dua bagian yaitu bagian I adalah bait 1-4, bagian II bait 5-7.
bagian I dipergunakan untuk menunjukkan badai, hujan, dan banjir besar yang
menenggelamkan bumi, serta menghancurkan umat manusia yang tidak percaya
kepada-Nya. Secara ringkasnya oleh penyair ditunjukkan pada bagian I bahwa
manusia hanya dapat mengetahui (mengenal) tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Karena
itu, pada bagian II penyair mengemukakan kerinduannya dan hasratnya untuk dapat
dekat rapat dengan Tuhan seperti ketika Nabi Musa di puncak di puncak bukit
Tursina.
Dalam sajak ini, koherensi antara arti kata, suasana kegemuruhan, ketakutan, kedasyatan itu tampak dalam bagian I, 1-4, ditunjukkan dengan kata-kata yang mengandung arti kedasyatan, yang berekuevalensi dengan bunyi berat vokal a dan u, serta o: timbul ,kalbumu, terbang hujan, ungkai badai, membelah gelap. Pada bagian I digambarkan kedasyatan yang menunjukkan tanda-tanda kebesaran Tuhan, maka citraanpun sesuai dengan itu yaitu citra gerak, visual, dan auditif (pendengaran). Pada bagian II, karena yang dikemukakan bersifat pemikiran, maka citra-citra yang dominan adalah citra-citra intelektual, yaitu hal-hal itu dapat dimengerti dengan berpikir.
Dalam sajak ini, koherensi antara arti kata, suasana kegemuruhan, ketakutan, kedasyatan itu tampak dalam bagian I, 1-4, ditunjukkan dengan kata-kata yang mengandung arti kedasyatan, yang berekuevalensi dengan bunyi berat vokal a dan u, serta o: timbul ,kalbumu, terbang hujan, ungkai badai, membelah gelap. Pada bagian I digambarkan kedasyatan yang menunjukkan tanda-tanda kebesaran Tuhan, maka citraanpun sesuai dengan itu yaitu citra gerak, visual, dan auditif (pendengaran). Pada bagian II, karena yang dikemukakan bersifat pemikiran, maka citra-citra yang dominan adalah citra-citra intelektual, yaitu hal-hal itu dapat dimengerti dengan berpikir.
4.
Tetapi Aku
Dalam sajak ini dikemukakan oleh si aku bahwa ia
tiba-tiba sekejap ditemui Tuhan, tetapi si aku tiada merasa, tiada sadar akan
hal itu, meskipun mutiara-jiwa si aku telah lama dicari-carinya. Sajak ini
untuk membangkitkan perasaan dan tanggapan dipergunakan kiasan-kiasan berupa
metafora yang juga berupa citraan. Dalam bait kedua, untuk kepadatan digunakan
sinekdoki totum pro parte. Dalam sajak ini untuk pothos, yaitu rasa untuk
meleburkan diri dengan obyeknya, dipergunakan citra-citra gadis, dara yang
cantik bagai bidadari. Dalam sajak ini ekspresivitas dan intensitas arti
dicapai selain dengan pilihan kata yang artinya sangat (menyangatkan) juga
dengan unsur bunyinya yang selaras dengan pilihan katanya tersebut.
5.
Sebab Dikau
Dalam sajak ini dikemukakan bahwa meskipun manusia
hidup senang dengan kekasih dunianya, namun sesungguhnya manusia ini tak
ubahnya hanyalah boneka yang dipermainkan oleh Tuhan sebagai dalangnya. Pada
bait 1 dipergunakan metafora-metafora implisit. Bait 2, -3, -4, dan -5
merupakan perbandingan epos (epit simile) yaitu, perbandingan yang diteruskan
secara panjang lebar. Bait -5 menjadi pengeras artinya, menjadi memperjelas
sifat ironi, hal ini disebabkan juga oleh bunyi kakofoni, bunyi yang jelek,
yang parau pada baris ke-2, -3, -4 yaitu bunyi k berturut-turut.
6.
Turun Kembali
Dalam sajak ini dikemukakan ide bahwa manusia itu
tidak bersatu dengan Tuhan. Manusia itu hamba, sedangkan Tuhan itu penghulu,
maharaja. Manusia itu hidup di bawah lindungan Tuhan. Manusia itu dapat hidup
senang berkat karunia Tuhan. Dalam sajak ini penyair mempergunakan
bahasa-bahasa kiasan untuk mengkonkretkan ide yang abstrak, di samping untuk
membuat ucapannya hidup dan menarik. Kiasan yang ada di dalam sajak ini pada
umumnya berupa metafora, yang vehiclenya (term perbandingannya)
sekaligus merupakan citraan.
7.
Insyaf
Dalam sajak ini dikemukakan bahwa si aku mendapati
jalan buntu karena semua permintaan dan pertanyaan tidak dijawab oleh Tuhan.
Dalam sajak ini penyair mempergunakan kata-kata yang tidak biasa lagi
dipergunakan pada waktu sekarang: astana = istana, ripuk: pecah-pecah (remuk),
hancur, dewala: dinding, tembok; sempana: restu; sapur: kesedihan (kesamaran?);
melipur: melenyap. Dalam sajak ini juga terdapat penyimpangan tata bahasa
normatif untuk mendapatkan ekspresivitas dengan kepadatan, yaitu hanya intinya
saja yang diucapkan.
8.
Astana Rela
Pokok pikiran sajak ini bahwa tiadalah mengapa si aku
dengan kekasihnya tidak berjumpa (hidup bersama) di dunia sebab si aku yakin
bahwa nanti mereka akan bersua di surga. Dalam sajak ini tergambar adanya pertentangan
antara dua hal, yaitu dunia dan akhirat. Sarana-sarana kepuitisan dalam sajak
ini terutama berupa metafora dan citraan (imagery). Pada umumnya
ekspresivitas, menimbulkan kegandaan tafsir yang harus diisi oleh pembaca, yang
seperti ini merupakan open plek (Iser Segers, 1980:39).
BAB III
ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK-SAJAK CHAIRIL
ANWAR
Proses analisis dan parafrase sajak-sajak Chairil
Anwar adalah seperti analisis dan parafrase sajak-sajak Amir Hamzah dalam bab
2, sebagai berikut.
1.
Aku
Secara struktural, dengan melihat hubungan antar
unsur-unsur dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat di
dalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukakan ide
kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan pemilihan
kata yang menunjukkan ketegasan : ‘ku mau, aku tetap meradang, dsb. Dalam sajak
ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa
hiperbola, dikombinasi dengan ulangan (tautologi), serta diperkuat oleh ulangan
bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir.
2.
Selamat Tinggal
Sajak ini merupakan penggalian masalah pribadi dan
kesadaran kepada kejelekan dan kekurangan diri manusia sebagai pribadi.
Sesungguhnya kata-kata dalam sajak ini adalah kata-kata biasa. Hanya saja
karena konvensi puisi seperti dikemukakan oleh Preminger (1974:980-2), yaitu
konvensi ekstrapolasi simbolik (mencari makan simbolik) dan konvensi makana,
yaitu lirik yang kosong sebagai sesuatu yang mulia, maka kata-kata tersebut
mempunyai kemampuan untuk ditafsirkan sebagai kata kiasan yang luas artinya.
3.
Doa
Dalam sajak ini Chairil Anwar menyatakan pengertian
itu dengan cara yang tidak langsung, dengan kiasan, dan gambaran yang artinya
membias. Dengan demikian, sajak ini disebut bergaya prismatis atau sajak
prismatis. Secara semiotik, sajak ini dikontraskan bunyi vokal u yang dominan
dengan bunyi i yang juga berturut-turut. Dalam sajak “Doa” tampak adanya
pertentangan, seperti antara keraguan dan kepercayaan. Hal ini secara semiotik
tergambar dalam penggunaan bahasanya: pemilihan kata serta bunyinya.
4.
Kepada Peminta-minta
Mengenai arti kata ‘peminta-minta’, kata ini dapat
berarti peminta-minta dalam arti harfiah, arti kamusnya yaitu orang yang
meminta sedekah atau pengemis. Bahasa puisi adalah polyinterpretable
(banyak tafsir) dan sangat konotatif (penuh arti tambahan) (Wellek, 1968:25),
maka kata ‘peminta-minta’ dapat berarti kiasan yaitu orang yang meminta si aku
untuk ingat kepada Tuhan, untuk menyembah Tuhan (Dia), sebab manusia itu
ciptaan dan hamba Tuhan. Ide atau pengertian sifatnya abstrak, maka untuk
memahaminya, supaya dapat dirasakan oleh pembaca, ide atau pengertian tersebut
dikonkretkan dengan kiasan-kiasan dan citra-citra. Selain dikonkretkan dengan
citra-citra serta kiasan seperti di atas, untuk menyatakan betapa tersiksanya
si aku juga dipergunakan dalam sajak tersebut sarana retorika hiperbola.
5.
Sajak Putih
Dalam sajak ini penyair mengiaskan suara hatinya
menggunakan tanda-tanda semiotik untuk kegembiraan dan kebahagiaan. Untuk
ekspresivitas dan kepadatan dipergunakan penyimpangan dari tata bahasa normatif.
6.
Sebuah Kamar
Dalam sajak ini penyair mengemukakan sebuah ironi
kehidupan (di Indonesia), yaitu pertama orang luar itu selalu ingin mengetahui
rahasia orang lain, atau mencampuri urusan orang lain. Kedua, dalam keadaan
sangat menderita orang hanya berdoa, seperti si ayah si aku; ketiga, orang
masih menambah anak lagi, padahal anaknnya sudah banyak dan dalam keadaan yang
sangat menderita. Kehidupan tersebut dinyatakan dengan bahasa yang
ironik-hiperbolik, yaitu sindiran yang dilebih-lebihkan. Ironi itu dinyatakan
dengan pertentangan keadaan dan paradoks menggunakan bahasa kiasan yang
menyatakan sesuatu secara tak langsung.
7.
Catetan Th. 1946
Dalam sajak ini, untuk mengemukakan ide abstrak
dipergunakan bahasa-bahasa kiasan dan citraan untuk mengkonkretkan tanggapan
dan menarik karena memberikan gambaran yang jelas dan terpusat. Dalam sajak ini
kelihatan koherensi yang kuat antara pokok yang dikemukakan kenangan akan
perang dan Kematian, kesia-siaan, dengan suasana murung, pilihan kata, dan
bunyinya yang berat; ada koherensi struktural antara unsur-unsurnya.
8.
Cerita buat Dien Tamaela
Yang paling menonjol dalam sajak ini adalah
ulangan-ulangan, baik ulangan kata, kalimat, maupun ulangan bait. Di antaranya
berupa paralelisme, yaitu penjajaran kalimat-kalimat yang artinya sama
atau hampir sama dengan mengganti sebagian katanya. Ulangan-ulangan tersebut
untuk memperkuat arti dan untuk membuat pikiran terkonsentrasi dalam
berkontemplasi atau merenung, untuk menimbulkan ‘kekuatan gaib’ yaitu daya pesona.
Dalam sajak ini tampak pemunculan ciri-ciri sastra lama (yang disebut atavisme).
Sajak ini bergaya mantra. Namun, sajak ini sesungguhnya alegori.
Dalam hal bunyi sajak ini tampak adanya kesejajaran
dengan arti kata-kata dan kombinasi kata-katanya secara sintaksis. Bunyi vokal
yang dominan adalah a dan u yang cocok untuk menggambarkan kebesaran dan
kegagahan tokoh Pattirajawane.
9.
Tuti Artic
Sajak ini mengemukakan pokok pikiran bahwa orang itu
tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi antara kebahagiaan sekarang dan
nanti. Bentuk sajak ini sendiri adalah soneta, dengan persajakan akhir yang
rapi: a b a b ; a c a c ; d – e – d ; e – d – d .
BAB IV
KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI PUISI
Analisis struktural yang digabungkan dengan semiotik
disebut strukturalisme dinamik (Teeuw, 1983:62). Sastra terikat arti
bahasa dan konvensi bahasa. Dipandang dari konvensi bahasa, konvensi sastra itu
merupakan konvensi tambahan, yaitu konvensi tambahan di samping atau di luar konvensi
bahasa. Konvensi tambahan dalam sastra di antaranya konvensi bahasa kiasan,
persajakan, pembagian bait, bahkan juga enjambement (perloncatan baris)
dan tipografi (susunan tulisan). Hal ini memanfaatkan bentuk visual untuk
memberi arti tambahan.
Puisi itu menyatakan pengertian-pengertian atau
hal-hal secara tidak langsung (Riffaterre, 1978:1), yaitu menyatakan sesuatu
hal dan berarti yang lain. Dengan demikian, bahasa puisi memberikan makna lain
dari pada bahasa biasa.
Ketidaklangsungan pernyataan puisi disebabkan oleh
tiga hal (Riffaterre, 1978:2) :
1.
Penggantian Arti (displacing)
Pada umumnnya kata-kata kiasan menggantikan arti
sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre : 1978:2).
Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut
arti sesungguhnnya).
2.
Penyimpangan Arti (distoring)
Dikemukakan Rifatterre (1978:2) penyimpangan arti
terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas (artinya dalam puisi kata-kata,
frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir), kontradiksi
(artinya dalam sajak modern banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan
maksud secara berlawanan atau berbalikan), ataupun nonsense (merupakan
bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak
terdapat dalam kosakata).
3.
Penciptaan Arti (creating of meaning)
Terjadi penciptaan arti (Riffaterre : 1978:2) bila
ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda
keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak
ada artinnya, misalnya simetri (persejajaran arti antara bait-bait atau antara
baris-baris dalam bait), rima, enjembement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik)
di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait (homologues). Misalnya
sajak Subagio Sastrowardojo (1975:33).
KEHARUAN
Aku aku tak terharu lagi
Sejak bapak tak menciumku di ubun.
Aku tak terharu lagi
Sejak perselisihan tak selesai dengan ampun.
Keharuan menawan
Ketika Bung Karno bersama rakyat
teriak “Merdeka” 17 kali.
Keharuan menawan
Ketika pasukan gerilya masuk Jokja
Sudah kita rebut kembali.
Aku rindu keharuan
Waktu hujan membasahi bumi
Sehabis kering
sebulan.
Aku rindu keharuan
Waktu bendera Dwiwarna
Berkibar di
taman pahlawan.
Aku ingin terharu
Melihat garis lengkung bertemu ujung
Aku ingin terharu
Melihat dua tangan damai berhubung.
Kita manusia perasa yang lekas terharu.
BAB V
HUBUNGAN INTERTEKSTUAL
Untuk mendapatkan makna sepenuhnya sebuah sajak,
selain sajak harus diinsafi ciri khasnya sebagai tanda (sign), tidak
boleh pula dilupakan hubungan
kesejarahannya. Ini berarti bahwa karya sastra itu sesungguhnya merupakan
konvensi masyarakat dan ada aturan yang ketat. Konvensi isi pernyataan pantun
dan syair biasanya berupa nasihat. Sebagai contoh, sebelum ada puisi Pujangga
Baru sudah ada puisi Melayu, yang utama pantun dan syair.
Aturan-aturan pantun yang ketat yang telah menjadi
konvensi itu yang utama ialah:
1. Tiap bait terdiri atas 4 baris
2. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, baris
ketiga dan keempat merupakan isinya
3. Sajak akhirnya berpola a b a b
4. Tiap baris terdiri atas dua periodus, tiap periodus
terdiri atas dua kata
Aturan syair yang utama adalah:
1. Tiap bait terdiri atas 4 baris
2. Keempat baris merupakan isi
3. Syair untuk menguraikan cerita hingga biasanya tidak
cukup hanya satu bait, melainkan memerlukan beberapa bait
4. Pola sajak akhirnya a a a a
5. Tiap baris terdiri atas dua periodus seperti pantun dan
terdiri atas dua kata pada umumnya.
Akan tetapi, para penyair Pujangga Baru menentang aturan
dan konvensi puisi dan pantun itu, baik mengenai konvensi bentuk formal maupun
konvensi isi pikiran yang dikandungnya. Misalnya, seorang di antaranya adalah
Rustam Effendi. Ia membuat sajak pemberontakan yang berjudul “BUKAN BETA BIJAK
BERPERI”. Menurut bentuknya adalah syair, yaitu kelima bait berisi isi
pernyataan yang bersambungan, tetapi sajak akhirnya berpola a b a b bukan
a a a a. Pola sajak akhirnya adalah pola sajak pantun. Isinya berupa
pernyataan perasaan pribadi, pernyataan perasaan dan pikiran. Hal seperti ini
tidak dikenal dalam puisi Melayu. Akan tetapi, pola-pola bentuk yang teratur
itu sesungguhnya masih merupakan konvensi sajak Melayu. Jadi sajak Rustam
Effendi merupakan transformasi puisi Melayu dengan tradisi baru.
Jadi, teranglah bahwa sajak-sajak itu ditulis dalam
hubungannya dengan zaman penyair menulis maupun dalam pertentangannya dengan
sajak-sajak zaman sebelumnya.
Memahami sajak adalah usaha menangkap maknanya ataupun
usaha memberi makna sajak. Untuk itu perlulah konteks kesejarahan sajak itu
diperhatikan. Dalam kaitannya dengan konteks kesejarahan ini, perlu
diperhatikan prinsip intertekstualitas, yaitu hubungan antara satu teks dengan
teks yang lain.
Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan intertekstual
antara suatu karya sastra dengan karya lain, baik antara karya karya sezaman
ataupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Misalnya dapat dilihat antara
karya-karya pujangga baru, dengan karya angkatan 45, ataupun dengan karya lain.
1.
Hubungan Intertekstual Sajak Kusangka dengan Penerimaan
Sajak Chairil Anwar itu merupakan
tantangan/penyimpangan terhadap konsep estetik Amir Hamzah yang masih
meneruskan konsep estetik sastra lama. Juga, pandangan romantik Amir Hamzah
ditentang dengan pandangan realistisnya.
2.
Hubungan Intertekstual Padamu Jua dengan Doa
Secara intertekstual “Doa” Chairil Anwar menunjukkan adanya persamaan dan
pertalian dengan sajak “Padamu Jua”. Ada gagasan dan ungkapan Chairil Anwar
yang dapat dirunut kembali dalam sajak Amir Hamzah tersebut. Begitu juga idenya
meskipun dalam pengolahannya ada perbedaan yang menyebabkan tiap-tiap sajak
tersebut menunjukkan kepribadiannya masing-masing dalam menanggapi masalah yang
dihadapi.
3.
Intertekstualitas Dalam Matamu dengan Sajak Putih
Sajak Chairil Anwar “sajak Putih” dalam beberapa hal menunjukkan
persamaan dengan sajak Amir Hamzah “Dalam Matamu”. Rupanya sajak Amir Hamzah
itu merupakan hipogram sajak Chairil. Sajak Chairil Anwar merupakan
transformasi sajak Amir Hamzah. Namun kelihatan perbedaan dalam cara
mengekspresikan gagasan dan menunjukkan perbedaan sikap dalam menanggapi
masalah. Sajak-sajak tersebut juga menunjukkan adanya persamaan tema, cerita,
dan situasi.
Kedua sajak tersebut juga sama-sama romantis, namun
sajak Amir Hamzah menunjukkan sifat romantis yang murni, tercermin dalam
pemakaian bahasanya yang berisi objek-objek alam murni dengan citra lama,
dengan bahasa nan indah. Sedangkan keromantikan sajak Chairil Anwar tampak
dalam kosakata, yaitu berupa katasehari-hari.
4.
Hubungan Intertekstual Sajak Chairil Anwar dengan Sajak-sajak Para Penyair Sesudahnya
Chairil Anwar sebagai penyair pelopor Angkatan 45,
sajak-sajaknya banyak mempengaruhi sajak-sajak penyair sezaman dan sesudahnya.
Oleh karena itu, seringkali untuk untuk memahami sajak-sajak penyair sesudahnya
perlu dilihat hubungan intertekstualnya dengan sajak Chairil Anwar. Yang dibicarakan
yaitu hypogramnya.
BAB VI
LATAR BELAKANG SOSIAL - BUDAYA
Pemahaman puisi tidak dapat dilepaskan dari latar
belakang kemasyarakatan dan kebudayaan. Untuk dapat memberikan makna sepenuhnya
kepada sebuah sajak, selain sajak dianalisis struktur intrinsiknya dan
dihubungkan dengan kerangka kesejarahannya, di antarannya dengan
intertektualitas, maka analisis tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosial - budayanya
( Teeuw, 1983 : 61, 62). Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara
tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan
pada zamannya (Abrams, 1981:178). Penyair Indonesia berasal dari bermacam-macam
masyarakat, sesuai dengan jumlah suku bangsa Indonesia. Untuk memahami dan
memberi makna sajak yang ditulis oleh penyair sesuai dengan jumlah suku bangsa
Indonesia, diperlukan pengetahuan tentang latar sosial - budayanya yang
melatarinya.
SKEMA
1.
Penggantian
Arti
2.
Penyimpangan
Arti
3.
Penciptaan
Arti
4.
|
I. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi
|
·
Aku
·
Selamat Tinggal
·
Doa
·
Kepada Peminta-minta
·
Sajak Putih
·
Sebuah Kamar
·
Catetan Th. 1946
·
Cerita Buat Dien Tamaela
·
Tuti Artic
|
II. Analisis Struktural & Semiotik Sajak-sajak
Chairil Anwar
|
· Padamu Jua
· Barang kali
· Hanya Satu
· Tetapi Aku
· Sebab Dikau
· Turun Kembali
· Insyaf
· Astana Rela
|
III.Analisis Struktural & Semiotik Sajak-sajak
Amir Hamzah
|
IV.
Analisis
Struktural & Semiotik
|
V. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi
|
VI.
Ketidaklangsungan
Ekspresi Puisi
|
Bagian II
Analisis Struktural & Semiotik
|
Pengkajian Puisi
|
Bagian I
Analisis Strata Norma Puisi
|
I. Pendahuluan
|
II. Analisis Puisi Berdasarkan Strata Norma
|
III. BUNYI
|
IV. IRAMA
|
V. KATA
|
· Pengkajian Puisi
· Puisi & Pengertiannya
· Puisi itu Karya Seni
|
Kosakata
|
Pemilihan Kata
|
Denotasi & Konotasi
|
Bahasa Kiasan
|
Citraan
|
Gaya Bahasa & Sarana Retorika
|
Faktor ketatabahasaan
|
· Perbandingan
· Metafora
· Perumpamaan epos
· Allegori
· Personifikasi
· Metonimi
· Sinekdoke
|
Tag :
Makalah,